Tampilkan postingan dengan label Humor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humor. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Maret 2012

Rumah kost


Ngunandiko.26

Tinggal di rumah pondokan

(rumah kost)

Ruang makan
Pada tahun 1950-an saya tinggal di rumah pondokan (rumah-kost) di kota Yogyakarta. Penghuni rumah-kost tersebut terdiri dari pemilik rumah suami & isteri, seorang anak bungsu-nya, dua orang pembantu,  dan kami anak kost sebanyak 5 (lima) orang. Keadaan rumah kost di Yogyakarta pada waktu itu berbeda dengan waktu sekarang (tahun 2000-an). Pada waktu itu kami anak pondokan (anak kost) dianggap oleh pemilik rumah sebagai keluarga  ;  makan, minum, cuci pakaian lain-lain diperlakukan-nya sebagai bagian dari keluarga.

Rumah kost kami terletak dijalan besar di suatu wilayah di kota Yogyakarta, kami masing-masing anak kost tinggal di kamar yang cukup luas lk 3.5 x 3 m2  ;  makan, minum, dan cucian telah termasuk dalam biaya kost. Kami membayar biaya kost setiap bulan Rp 25.00 – umumnya hanya Rp 15.00 s/d Rp 20.00 – harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 10 pada bulan yang bersangkutan. Seperti diketahui pada waktu ini (2010) biaya kost di Yogya sekitar  Rp 150.000 s/d Rp 250.000 per bulan per orang per kamar, dan harus dibayar setidaknya per tiga bulan sekaligus dimuka. Makan, minum, cucian dan lain-lain harus ditanggung oleh anak kost itu sendiri.

Saya dan putra bungsu pemilik kost masih duduk di kelas tiga SMA ; anak kost yang lain adalah mahasiswa, salah seorang diantaranya sudah ditingkat akhir (doktoral). Biasanya hanya putra bungsu pemilik rumah kost yang makan bersama kami anak-anak kost. Bapak & ibu pemilik kost sekali-kali juga makan bersama kami,  diikuti dengan  memberi petuah-petuah layaknya orang tua.

Sebagai anak kost kami memperoleh makan malam, makan siang dan makan pagi (sarapan). Sarapan biasanya nasi goreng atau roti berlapis dengan isi daging (sandwich), minumam (air putih, teh manis, dll) . Setiap hari Senen pagi kami memperoleh tambahan minuman satu gelas “susu sapi murni” yang telah tersedia di meja makan sejak jam 6.15 sampai jam 8.00 pagi ditempat  biasanya kami duduk ; putra bungsu dan anak kost mendapatkan jatah yang sama masing-masing satu gelas.

Umumnya kami – termasuk putera bungsu – sarapan pagi bersama-sama, karena jam pelajaran atau jam kuliah kami sama. Namun seringkali kakak kami yang sudah ditingkat doktoral tersebut terlambat makan pagi, karena jam kuliahnya tidak selalu pagi. Jika “si doktoral” terlambat makan pagi (sarapan), maka ia selalu tidak kebagian “susu sapi murni” lagi karena di-sikat (diminum) oleh teman-teman – maklum kami masih muda-muda sedang doyan-doyannya makan – yang sering  jahil.

Pada suatu hari Senen pagi  – entah karena apa – “si doktoral” tergesa-gesa pergi dan tidak sempat sarapan dan minum , namun rupanya ia ingin “jatah susu sapi murni” untuknya tidak disikat oleh teman lain, maka dibawah gelas susu tersebut  diletakkannya kertas dengan tulisan sudah saya ludahi (mungkin maksud-nya agar jangan disikat seperti biasanya).  Setelah beberapa lama “si doktoral” pun kembali ke rumah kost dan hendak minum susu sapi murni yang menjadi jatahnya. Namun ternyata kertas dengan tulisan  sudah saya ludahi tersebut ada tambahan tulisan sudah saya ludahi juga. “Si doktoral” pun terpaksa membatalkan maksudnya minum susu murni yang menjadi jatahnya. Dan untuk di hari Senen pagi itu segelas susu sapi murni tidak ada yang meminumnya.

*
Ke-tidakadil-an yang sama-sama dirasakan adalah sama dengan setengah keadilan 
(Nietzsche)
*

Jumat, 30 Desember 2011

Askes


Ngunandiko. 24



Duduklah dengan tenang sampai
di panggil

RS. Persahabatan
Sudah lebih dari 10 tahun, hampir setiap bulan, saya memeriksakan (kontrol) kesehatan  di RS Persahabatan - Jakarta, karena sejak tahun 90-an saya menderita tekanan darah tinggi (hypertensi). Saya memilih RS Persahabatan karena beberapa alasan ;  pertama karena RS Persahabatan melayani asuransi PT. Asuransi Kesehatan Indonesia (melayani ASKES), kedua sewaktu saya masih aktip sebagai pegawai negeri sipil (PNS) kalau melakukan pemeriksaan (check-up) tahunan sering di RS Persahabatan, dan ketiga saya pandang pelayanannya cukup baik.

Berobat menggunakan fasilitas ASKES  banyak suka dan juga banyak dukanya ; sukanya karena boleh dikatakan gratis khususnya untuk penyakit-penyakit seperti malaria, tbc, asma, thyphus dan lain-lain, sedangkan dukanya pelayanannya panjang (lama) dan berbelit , maka orang sering mengartikan ASKES dengan Aku Sering Kesel.

Semula yaitu pada akhir tahun 90-an belum begitu banyak PNS yang berobat di di RS Persahabatan dengan menggunakan fasilitas ASKES, saya rasa kurang dari 100 orang setiap harinya.  Saya datang di RS. Persahabatan biasanya sekitar jam 7.00 pagi – loket pelayanan belum dibuka, namun ada sekitar 10 orang yang telah antri –  selesai diperiksa oleh dokter dan keluar dari rumah sakit pada waktu itu lk jam 10.00 pagi untuk terus ambil obat di apotek yang ditunjuk yaitu Apotek Sana Medika lk 500 meter dari rumah sakit. Pelayanan di apotek cukup lama tergantung dari jenis obatnya, antara jam 12.00 - 13.00 siang saya telah dapat pulang dengan membawa obatnya.

Sejak tahun 2000-an,  jika saya datang jam 7.00 pagi, maka sekitar jam 11.30 siang – bahkan sering lebih –  saya baru keluar dari ruang dokter pemeriksa. Hal ini karena banyaknya orang yang berobat dengan fasilitas ASKES dan dengan fasilitas GAKIN, Gakin adalah singkatan dari keluarga miskin ( nama fasilitas yang mengerikan ya? ). Fasilitas Gakin tsb pada waktu ini saya dengar sudah ganti nama dengan "Jamkesmas".

Lebih dari 300 orang setiap hari yang berobat di RS Persahabatan yang menggunakan fasilitas ASKES dan GAKIN, mereka banyak yang sejak subuh telah meng-antri. Namun sekarang proses pendaftarannya lebih praktis, karena di bantu alat komputer – tapi komputernya sering mati –  kami tidak perlu lagi membuat foto-copy dokumen-dokumen (surat rujukan dari Puskesmas, resep dokter, hasil laboratorium dll).

Seperti telah saya kemukakan saya menderita hipertensi, saya diperiksa di Poli Penyakit Dalam. Jika saya datang jam 7.00 sekitar jam 11.30 siang baru keluar dari ruang dokter pemeriksa. Pertama-tama saya harus menunggu  (lk 2.00 jam ) di ruang tunggu  RS Persahabatan untuk mendapat SJP (SJP adalah singkatan dari Surat Jaminan Pengobatan), lalu saya ke ruang tunggu Poli Penyakit Dalam untuk menunggu (lk 0.50 jam) diukur tekanan darah (tensi) saya oleh paramedis, setelah itu kembali  ke ruang tunggu menunggu (lk 2.00 jam) di panggil ke ruang dokter untuk di periksa oleh dokter specialis penyakit dalam. Waktu menunggu tersebut kalau dijumlahkan lebih dari 5.00 jam, hampir sama dengan waktu yang ditempuh KA-Ekspres Argo Muria dari Jakarta ke Semarang. Proses membuat SJP, mengukur tekanan darah, dan dokter memeriksa sesungguhnya cepat, bahkan sangat cepat – terutama waktu dokter memeriksa –  saya rasa kurang dari satu menit. Waktu menunggu itulah yang panjang.

Ruang tunggu Poli Penyakit Dalam RS Persahabatan cukup luas (cukup untuk lk 100) orang, dengan sejumlah tempat duduk kayu, beberapa kipas angin besar, TV , dan didingnya ada papan pemberitahuan, papan iklan obat-obatan, dan lain-lain. Ruang tunggu Poli Penyakit Dalam RS Persahabatan sejak tahun 90-an sudah beberapa kali pindah.

Pada suatu hari saat saya datang di ruang tunggu tersebut disitu sudah ada seorang Bapak, sebaya dengan saya, sedang menunggu didampingi seorang wanita mungkin putrinya. Saya mengambil tempat duduk yang kosong  disebelahnya. Saya mengangguk dan tersenyum dan dibalasnya dengan mengangguk dan tersenyum pula. Setelah beberapa saat kami terdiam,  Bapak tersebut mengatakan bahwa dia adalah pensiunan PNS, dan menggunakan fasilitas ASKES untuk berobat, kemudian ia bertanya ; Apakah sampeyan dengan ASKES juga ?, Tanyanya !. Sambil tersenyum, saya jawab singkat “ya” !

Kami berdua kemudian terdiam kembali, karena ada pengumuman panggilan untuk di-tensi. Setelah yakin bahwa kami berdua tidak dipanggil, maka kami ngobrol kembali membicarakan penyakit kami masing-masing (hypertensi yang saya derita, dan sakit lever yang diderita-nya). Selagi kami asyik ngobrol tiba-tiba beberapa meter dari tempat kami duduk ada seorang Ibu berteriak minta tolong ; rupa-rupanya seorang Bapak (yang diantarnya !) jatuh pingsan. Mungkin karena lamanya menunggu.  Kira-kira 10 menit kemudian terlihat paramedis RS Persahabatan membawanya pergi dengan kereta dorong, entah kemana.

Kami hanya diam melihat dari tempat duduk, terkejut dan sedih. Beberapa saat kemudian . . . . . dengan tidak saya duga  Bapak disamping saya tersebut berkata (tampak dengan sungguh-sungguh) . . . . .  bahwa dia ngeri dan takut kalau menunggu diruang tunggu Poli Penyakit Dalam ini.

Kemudian terjadi dialog antara saya dan Bapak tersebut lebih kurang sbb :

  • Saya                               : Lho kok ngeri . . . . . bagaimana Pak?
  • Bapak tsb                  : Ya ! Saya ngeri dan takut kalau nunggu disini ! (sambil menunjuk papan pemberitahuan di ruang tunggu Poli Penyakit Dalam)


  • Saya                                   :  “Ngeri dan takut” karena apa Pak ?
  • Bapak tsb                            :  Kita harus menunggu . . . . . sampai dipanggil . . . . . . . kan artinya sampai mati (sambil tersenyum !). Dan sekali lagi di tujuknya papan pemberitahuan di dinding Poli Penyakit Dalam !
     

Setelah saya baca sekali lagi papan pemberitahuan di dinding ruang tunggu "Poli Penyakit Dalam" tersebut memang tertulis  “ . . . . . duduklah dengan tenang sampai dipanggil,  ah memang . . . " sampai dipanggil" . . . . . sering diartikan orang sebagai . . . . . . ."sampai mati".
Saya mengangguk-angguk tanda setuju, itulah ekspresi orang yang kesal menunggu ! Dan dalam hati saya tersenyum geli, bisa saja Bapak ini. 

Catatan : Ruang Tunggu Poli Penyakit Dalam di renovasi sejak Nov 2011.

*
Dalam kesehatan terdapat kebebasan. Kesehatan adalah hal paling pertama dalam semua kebebasan. (Henri Frederic Amiel ;1821 – 1881 , Penulis, Swiss)
*

Selasa, 27 Desember 2011

P. Samosir


Ngunandiko.23

Pulau Samosir


Danau Toba & Pulau Samosir
Pada tahun 1970-an  saya sering  melakukan perjalanan Jakarta - Medan dengan pesawat udara pergi pulang, hampir setiap bulan. Biasanya saya ke Medan pagi hari dengan menggunakan pesawat Garuda dari bandara Kemayoran, dan kembalinya dari Medan kadang-kadang menggunakan pesawat Mandala dari bandara Polonia. Seingat saya pada waktu itu Jakarta – Medan dilayani oleh 3 (tiga) maskapai penerbangan yaitu : Garuda, Merpati Nusantara, dan Mandala.

Bandara Polonia  berada di dalam kota Medan, seperti halnya bandara Kemayoran ada di dalam kota Jakarta. Lokasi bandara Polonia sesungguhnya sangat dekat dengan  “Hotel Natour Dharma Deli” d/h “Hotel De Boer” dimana saya biasa menginap. Jarak antara hotel dan bandara Polonia lk 3 km , tetapi pada waktu itu rasanya cukup jauh. Jalan-jalan di kota Medan  (tahun 1970-an) relatip sepi, masih belum tampak adanya kemacetan
Manajemen bandar Polonia pada waktu itu dipegang bersama oleh manajemen  Pangkalan Udara AURI dan Pelabuhan Udara Sipil. Di beberapa tempat masih terlihat ada orang berseragam AURI yang berjaga-jaga. Fasilitas bandara seperti tempat parkir kendaraan, ruang kedatangan, ruang pemberangkatan, tempat pembelian tiket, kantin  dan lain-lain masih sangat sederhana.
Pada suatu hari, kalau tidak salah pada bulan Agustus tahun 1976, sekitar pukul 12.00 wib siang saya sudah menunggu di ruang tunggu bandara Polonia, udara sangat panas dan ruang tunggu pada waktu itu belum dilengkapi dengan penyejuk ruangan (AC). Tidak berapa lama datanglah seorang Bapak berumur lk 50-an bersama seorang putrinya. Mereka berdua mengambil tempat duduk tepat di depan saya duduk, di sebuah kursi panjang dari kayu yang masih kosong.
Boarding pesawat Garuda ke Jakarta menurut jadwal jam 14.00 wib, jadi masih cukup lama. Tampaknya Bapak tadi merasa ke-panas-an, karena selalu  mengkipas-kipaskan surat kabar yang di bawanya dan sebentar-sebentar mengeluh (dengan logat Batak yang kental !) :  “Panas kali Pulau Sumatra ini” !
Mendengar keluhan Bapak tersebut – wajah dan logatnya saya kira  Bapak tersebut berasal dari pulau Sumatra juga – maka saya memberanikan diri bertanya kepadanya :   Bapak berasal dari mana ?
Jawab Bapak itu       :  Saya dari Pulau Samosir !
Mendengar jawaban Bapak tersebut dalam hati saya tersenyum, bukankah pulau Samosir adalah pulau Sumatra juga ?
*
Ketika berhadapan dengan orang, ingatlah Anda tidak sedang berurusan dengan makluk logika, tetapi makluk yang berperasaan (Dale Carnegie ; Pengajar, Amerika Serikat).

*


Jumat, 28 Januari 2011

BUS MAL PRAKTEK

Ngunandiko.5

Akhir tahun yang lalu saya berkunjung ke Yogyakarta. Pada suatu sore kira-kira jam 17.00 saya diajak oleh adik saya keliling kota untuk melihat-lihat suasana di sore hari dengan mobilnya Renault buatan Perancis yang sudah tua. Yogyakarta sudah tidak seperti satu atau dua dasawarsa yang lalu, jalan-jalan di kota tidak lagi dipenuhi oleh sepeda tetapi sekarang dipenuhi oleh kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) bahkan juga oleh kendaraaan bermotor roda empat.
Sebagian besar kendaraan bermotor tersebut adalah buatan Jepang yang tampak dari merk-nya seperti Honda, Suzuki, Yamaha, Toyota, dllnya. Beberapa kendaraan bermotor buatan Eropa seperti Mercedes dan Renault ataupun Amerika seperti Ford dan Chevrolet dan bahkan buatan Korea seperti Hunday dan Daewo juga tampak walaupun sangat jarang.
Kami menyusuri jalan-jalan yang sangat ramai selama lk 40 menit. Kami antara lain melewati jalan Malioboro, jalan Solo, jalan Kaliurang , jalan ring-road yang melewati “Monumen Jogya Kembali” dan beberapa ruas jalan lainnya.
Pada waktu kami sampai di jalan Magelang saya melihat sebuah bus berhenti – rupa-rupanya sedang menunggu penumpang – di suatu tempat yang dengan jelas ada tanda dilarang parkir. Ada polisi dengan sepeda motor melewatinya dan tidak jauh dari tempat itu ada pula polisi lalu lintas yang sedang jaga, polisi-polisi tersebut tidak melarangnya dan seolah-olah tidak melihatnya.
Saya minta adik saya memperlambat mobilnya, setelah dekat dengan bus tersebut saya dapat mengamatinya dengan lebih jelas. Bus tersebut ternyata angkutan umum tetapi saya tidak dapat mengetahui trayeknya, hanya di bus tersebut terpampang tulisan : “MAL PRAKTEK”. Melihat hal itu saya tersenyum ! Rupa-rupanya pemilik bus itu memiliki rasa humor yang tinggi, dengan memberi nama bus miliknya dengan “MAL PRAKTEK”(malpraktek), maka ia merasa busnya boleh berhenti disembarang tempat. Inilah humornya orang Yogya !

*
Berpikir Anda tahu, ketika faktanya Anda tidak tahu adalah kesalahan fatal. Dan itulah kecenderungan yang kita lakukan (Bertrand-Russell)

*

Jumat, 14 Januari 2011

Lurah yang pandai

Ngunandiko.3

Ada seorang “Lurah” terkenal pandai. Pada suatu hari dia ingin kelapa muda, maka diajaknya pembantunya ke kebun untuk memetik sebuah kelapa muda dari tandan di pohonnya. Setelah sampai di kebun terjadilah dialog sbb :


  • Pembantu   : Kelapa muda mana yang pak Lurah ingin-kan?
  • Lurah         : Kelapa pada pohon itu . . . . sambil ditunjuknya pohon kelapa dengan tandan yang penuh buah. Pembantu pun segera memanjat pohon kelapa tersebut, dan pada saat ia telah diatas pohon ia berteriak : Ini-kah ? .... sambil dipegangnya sebuah kelapa pada tandan yang penuh buah tersebut.


  • Lurah         : Bukan ! . . . itu disebelahnya !
  • Pembantu   : Ini-kah ? .... sambil dipegangnya sebuah kelapa yang lain tepat disebelahnya . . .


  • Lurah         : Bukan ! . . . disebelah lagi . . .


Demikianlah dialog antara pak Lurah (dibawah) dan Pembantunya (diatas) berkali-kali, tetapi pembantunya selalu salah.

Buah kelapa


Akhirnya pak Lurah kesal, pembantu disuruhnya turun, lalu pak Lurah pun memanjat sendiri pohon kelapa tersebut. Buah kelapa yang diinginkannya diberinya tanda dengan kapur, pak Lurah pun kembali turun, dan pembantunya disuruhnya memanjat lagi memetik kelapa yang telah diberinya tanda.

(sumber : Anonim)


*
Memberi contoh dengan perbuatan lebih baik daripada memberi contoh dengan perkataan (NA).
*