Senin, 09 Desember 2013

Sabotase



Ngunandiko.57


Sabotase
(sabotage)
                                          
Pada masa perang, seperti  PD II (1939 – 1945), sabotase seringkali digunakan sebagai senjata oleh fihak-fihak yang berperang, Intelijen masing-masing negara mencoba menempatkan agen-nya di fasilitas-fasilitas perang musuh dengan tujuan melakukan sabotase.

Gangguan (disruption), pembongkaran (demolition),  penggulingan (overthrow), pengkhianatan (treason), perusakan (destruction),  subversion, subversiveness,   vandalisme, dan sabotase (sabotage) adalah tindakan yang sering dilakukan dalam suatu perjuangan politik.. Tulisan ini merupakan renungan dan bahasan tentang  “sabotase”. Sabotase—terutama dalam politik adalah suatu tindakan menghalangi ;   suatu praktek yang dengan sengaja mengganggu, menunda atau mencegah berlangsung-nya proses atau perubahan.
Sebagaimana umum mengetahui bahwa kata "sabotase" berasal dari bahasa Perancis sabot atau  dalam bahasa Indonesia bakiak (alas kaki yang terbuat dari kayu). Pada awal mekanisasi di abad ke-19,  mesin-pabrik yang semula digerakkan oleh tenaga manusia mulai digantikan oleh tenaga listrik, hal itu kemudian dianggap oleh para pekerja sebagai merugikan para pekerja (buruh). Kata “sabotase” dipakai untuk menggambarkan pekerja pabrik menghalangi penggantian tersebut dengan memasukkan bakiak  kedalam mesin-pabrik agar mesin tersebut tidak berfungsi. Tindakan itu dilakukan oleh pekerja pabrik  karena para pekerja  takut akan  menjadi usang—tidak berguna lagi
Lebih dari satu abad setelah terciptanya kata "sabotase", Perancis memberi contoh yang luar-biasa mengenai makna  sabotase  pada skala nasional.  Seperti diketahui  selama Perancis diduduki oleh  tentara nazi Jerman pada masa Perang Dunia II, gerakan bawah tanah Perancis (Maquis) telah merusak jalan kereta-api, jembatan, gedung dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan agar fasilitas-fasilitas  tersebut tidak dapat digunakan oleh tentara nazi Jerman, yang bermaksud menaklukkan Perancis. Bandingkan aksi Maquis  tersebut dengan aksi “bumi hangus” yang dilakukan oleh para pejuang Indonesia semasa Revolusi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Merusak rel Kereta Api
Tampak bahwa sabotase adalah tindakan menghalangi atau mencegah berlangsung-nya proses atau perubahan dengan merusak secara sengaja, terencana, dan diam-diam  suatu sasaran tertentu untuk tujuan tertentu. Dengan demikian suatu sabotase selain memiliki “sasaran” yang akan dirusak, sabotase juga mempunyai “tujuan” yang hendak dicapai yaitu keadaan setelah rusaknya sasaran, yang lebih baik atau lebih menguntungkan.. 

Sabotase dapat terjadi pada masa perang atau pada masa damai, seperti telah dijelaskan suatu aksi sabotase memiliki :
  • "sasaran"—obyek yang harus dirusak ; dan
  • "tujuan"—keadaan  yang lebih baik (lebih menguntungkan) setelah rusaknya sasaran. 
Jika aksi sabotase hanya memiliki “sasaran” tanpa memiliki “tujuan”, maka aksi sabotase tersebut merupakan aksi anarkis. 

Sementara itu  sabotase  dalam renungan dan bahasan ini  dibagi sebagai berikut :

 (1). Sabotase pada masa perang.

Sebagai contoh dari aksi sabotase pada masa perang dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa seperti berikut ini.
  • Pada masa Perang Dunia II (1939 – 1945), gerakan dibawah tanah (resistance) di Eropa seperti di Perancis, Polandia, Norwegia dan lain-lain telah merusak jalan, jembatan, gedung dan lain-lain agar tidak dapat digunakan oleh tentara musuh (Nazi Jerman). Aksi  merusak  yang dilakukan oleh gerakan dibawah tanah (resistance) di negara-negara yang di duduki oleh Nazi Jerman tersebut adalah merupakan aksi sabotase.
  • Di Indonesia selama Revolusi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pejuang kemerdekaan Indonesia merusak fasilitas-fasilitas  jalan, jembatan, pabrik dan lain-lain –  dikenal sebagai aksi bumi hangus  agar fasilitas-fasilitas  itu tidak digunakan oleh tentara agresor Belanda, yang akan menjajah Indonesia kembali. Aksi “bumi hangus” tersebut tergolong sebagai “sabotase”

(2). Sabotase pada masa damai (bukan masa perang).

Sedangkan sebagai contoh dari aksi sabotase pada masa damai (bukan masa perang) dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa berikut ini.
  • Pada awal Revolusi Industri (1750 – 1850), para pekerja pabrik tenun Inggris melihat bahwa mata pencaharian mereka terancam oleh penggunaan mesin-listrik (mesin dengan penggerak listrik) pada sistem produksi pada pabrik tenun, maka para pekerja merusak mesin-listrik di pabrik-pabrik tersebut. Aksi merusak tersebut, karena para pekerja menduga mesin-listrik akan menggantikan mereka. Aksi merusak seperti itu dapat disebut sebagai sabotase.
  • Di sekitar tahun 1910  Bill Haywood –  William Dudley Haywood (1869 – 1928), better known as "Big Bill" Haywood, was a founding member and leader of the Industrial Workers of the World (IWW), and a member of the Executive Committee of the Socialist Party of America. –   menyaksikan buruh angkutan Perancis meninggalkan tempat kerjanya (mogok) memperjuangkan hak-haknya. Pemerintah Perancis mencoba menggantikan para buruh  tersebut dengan tentara. Kemudian ternyata buruh kembali ke tempat kerja mereka, namun  hanya duduk-duduk saja. Hal itu menyebabkan angkutan ke Paris menjadi kacau, baik  dari Marseille ataupun dari Lion. Cara atau taktik buruh angkutan seperti itu mengakibatkan sarana angkutan di Perancis tidak ber fungsi dengan baik. Cara atau taktik buruh tersebut dapat disebut sebagai sabotase.
  • Pada tahun 1974 di lokasi pembangunan proyek “Pembangkit Tenaga Listrik Robert-Bourassa” di Quebec, Kanada ; para pekerja menggulingkan generator listrik dan tangki bahan bakar dengan buldoser, serta membakar bangunan proyek. Proyek ini sempat tertunda selama satu tahun, dan terjadi kerugian sebesar lk $ 2.000.000. Penyebab tindakan merusak tersebut tidak jelas, diperkirakan sebagai akibat persaingan antar serikat-pekerja, kondisi kerja yang buruk, atau arogansi pimpinan kontraktor (Bechtel Corporation, America). Apapun penyebabnya aksi pekerja tersebut dapat disebut sebagai “sabotase”.
  • Pada Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia tahun 1999 dan 2004 ada sejumlah orang yang  beranggapan Pemilu tersebut tidak jur-dil (jujur dan adil) dan ingin agar  Pemilu tidak berlangsung, maka sejumlah orang tersebut menganjurkan penduduk Indonesia  tidak ikut serta memilih atau menjadi “golongan-putih (Golput)”. Para penganjur Golput tersebut dapat disebut sebagai melakukan “sabotase”. 
Seperti telah diterangkan di muka  aksi sabotase adalah kegiatan mencegah, menghalangi, menggangu  dllnya terhadap berlangsung-nya proses atau perubahan dengan cara merusak suatu sasaran tertentu   ( perhatikan contoh-contoh diatas !).    Berhasil atau tidaknya merusak sasaran, utamanya dipengaruhi oleh  faktor–faktor sbb : (1) golongan (jenis) sasaran ;   (2)  prioritas sasaran;   (3) pelaksana sabotase;  (4) informasi sasaran, dan ;  (5) saat (waktu) merusak sasaran (pelaksanaan sabotase).
  
(1)   Golongan (jenis).

Golongan (jenis) sasaran perlu untuk menentukan cara pelaksanaan, pelaksana, dan sarana pendukung  suatu aksi sabotase. Misalnya suatu aksi sabotase harus merusak sasaran (jembatan), maka cara merusak harus sesuai sifat fisik sasaran (jembatan yang harus dirusak), demikian pula pelaksana dan sarananya.. Untuk hal itu sasaran suatu sabotase dibagi dalam 4 golongan (jenis) sasaran sbb :
  • Golongan (jenis)sasaran  yang berupa benda, misalnya : gudang senjata ; gudang makanan, jembatan kereta api, pabrik pesawat terbang dan lain-lain
  • Golongan (jenis)sasaran  yang berupa orang (personel) misalnya : ilmuwan ; peneliti ; ahli persenjataan ; pasukan ; penjaga ; dan lain-lain. ;
  • Golongan (jenis) sasaran  yang berupa aktivitas atau kegiatan, misalnya : kegiatan penelitian ; kegiatan pelatihan ; kegiatan percobaan ;  kegiatan propaganda, pertemuan, seminar, dan lain-lain.
  • Golongan (jenis) sasaran yang berupa informasi (data), misalnya : informasi tentang sandi, informasi tentang instruksi, informasi tentang lokasi, dan lain-lain.
(2)  Prioritas.

Sedangkan prioritas sabotase adalah untuk menentukan golongan sasaran mana yang penting dan mana yang kurang penting untuk dirusak dalam kerangka tujuan dan strategi sabotase secara keseluruhan. Dalam menentukan prioritas sabotase perlu diperhatikan hal-hal sbb :
  • Penting  tidaknya (cruciality)  sasaran ;
  • Besar kecilnya penjagaan (security) sasaran ;
  • Mudah tidaknya sasaran di hancurkan ;
 (3) Pelaksana.  

Prof. Ir. Herman Yohannes
Suatu aksi sabotase harus dilakukan oleh pelaksana (executor)  yang handal serta dengan peralatan yang memadai. Disamping itu pelaksana juga harus pula dibantu oleh ahli-ahli sesuai dengan golongan sasaran. Ahli-ahli tersebut tersebut terdiri dari ahli-ahli dari berbagai bidang (disiplin keahlian) seperti keahlian tentang bahan, konstruksi, listrik, komunikasi dan lain-lain. Sebagai gambaran pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, para pejuang Indonesia kalau akan melakukan sabotase (mis : menghancurkan jembatan), maka para pejuang tersebut meminta bantuan ahli antara lain Prof. Ir. Yohannes (1912 – 1992) dari Universitas Gadjah Mada. Pelaksana  sabotase tersebut pada umumnya adalah tenaga (orang) hasil rekruitmen :
  • Tenaga baru ;
  • Tenaga berpengalaman ;
  • Tenaga dari kalangan pembelot (musuh) dan lain-lain ;
Tenaga-tenaga pelaksana sabotase tersebut sebelum melakukan tugasnya menjalani suatu seleksi yang ketat dan pelatihan khusus (special training), berbagai negara memiliki pusat latihan sabotase.

(4) Informasi. 
  
Disamping pelaksana yang handal,  pelaksana sabotase dalam menjalankan tugasnya juga harus dilengkapi dengan informasi mengenai sasaran. Informasi (misalnya ; lokasi, penjagaan, iklim, keadaan sekitarnya dll) yang lengkap akan memudahkan pelaksanaan sabotase. Pada umumnya informasi berasal dari informasi (data) intelijen dan sumber-sumber lainnya. Informasi-informasi tersebut  di analisa dan di evaluasi sebelum digunakan dalam suatu operasi sabotase (liha pula : Ngunandiko.54. Spy) . Untuk memperlancar jalannya sabotase, agen-agen intelijen seringkali telah ditempatkan di sasaran sabotase terlebih dahulu, baik untuk mengumpulkan informasi maupun untuk membantu pelaksanaan sabotase itu sendiri.

(5) Saat pelaksanaan sabotase.

Saat (waktu) pelaksanaan suatu sabotase merupakan faktor yang sangat penting, pada umumnya saat pelaksanaan sabotase dipilih saat dimana musuh tidak menduga atau tidak siap.  Hal itu ditentukan oleh kesiapan pelaksana (orang dan peralatan) serta keadaan (kewaspadaan) sasaran. Kesiapan pelaksanaan dapat dikendalikan sedang keadaan sasaran hanya dapat diperkirakan. Beberapa hal yang dapat dipakai untuk memperkirakan keadaan sasaran selain informasi yang lengkap  adalah  keadaan cuaca (mis : siang atau malam, hujan atau terang, ada badai atau tidak dan lain-lain) dan  dan suasana psychology sasaran (misalnya : sedang ada pergantian pimpinan dan bersemangat tinggi lain-lain). 

Jika faktor-faktor tersebut diatas diperhatikan secara sungguh-sungguh, maka suatu aksi sabotase akan dapat berlangsung dengan sukses  seperti yang diharapkan.  

Perlu dijelaskan bahwa sabotase tidak semata-mata merusak sasaran, namun harus  mempunyai tujuan—dengan  rusaknya sasaran (sasaran tidak lagi berfungsi), tercipta keadaan baru yang yang lebih baik atau lebih menguntungkan. Suatu sabotase yang semata-mata untuk menghancurkan sasaran adalah suatu kejahatan. Para pekerja merusak mesin—pada  awal mekanisasi di abad ke-19, bukan semata-mata ingin mesin itu rusak dan tidak berfungsi, namun terciptanya keadaan baru dimana keberadaan mesin tersebut  tidak mengakibatkan pekerja merugi.

Sultan Agung dari Mataram (memerintah 1813 – 1645) pada abad ke-17 berusaha mengusir  kompeni Belanda (VOC) dari Batavia  (sekarang Jakarta), namun orang-orang yang membelot terhadap Sultan Agung, karena dihasut oleh Belanda, membakar sawah-sawah di Kerawang, Jawa Barat yang menjadi sumber bahan makanan bagi para prajurit Sultan Agung.

Aksi sabotase dilakukan dengan cara merusak atau menghancurkan "sasaran" ( misalnya : jembatan, gedung, kereta api dll) untuk melumpuhkan atau mengurangi kekuatan musuh, dengan  "tujuan" agar peperangan segera berakhir dan tercapai perdamaian.(misalnya sabotase pada PD I dan PD II). 
Dalam suatu perang (perjuangan), sabotase haruslah merupakan salah satu unsur dari strategi memenangkan perang (perjuangan), yang kemudian harus diikuti oleh suatu strategi membangun reruntuhan akibat perang tersebut.  Jika suatu sabotase ada dalam satu rangkaian dari dua strategi  tersebut (strategi menghancurkan yang diikuti oleh strategi membangun), maka sabotase itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan.

Sebagai bahan renungan  berikut ini disajikan beberapa aksi sabotase yang telah pernah terjadi di berbagai kurun waktu sbb:
  • Pada abad ke-17 Sultan Agung dari Mataram (memerintah 1813 – 1645) berusaha mengusir  kompeni Belanda (VOC) dari Batavia  (sekarang Jakarta), namun orang-orang yang membelot terhadap Sultan Agung karena dihasut oleh Belanda, membakar sawah-sawah di Kerawang, Jawa Barat yang menjadi sumber bahan makanan bagi para prajurit Sultan Agung. Oleh karena adanya sabotase yang dilakukan atas hasutan Belanda tersebut, maka usaha Sultan Agung mengusir VOC dari Jakarta gagal..  
  • Pada bulan Desember 1944, pasukan komando Jerman—yang mendapat latihan khusus, dibawah komando Otto Skorzeny menyamar sebagai tentara Amerika Serikat, menyusup ke belakang garis pertempuran untuk  menghancurkan jembatan, menanam peledak dan membakar bangunan pasukan. Tujuan pasukan komando Jerman tersebut adalah melakukan sabotase untuk menahan laju pasukan sekutu Amerika Serikat) dalam pertempuran Bulge (front Eropa Barat di wilayah hutan Ardenne, Belgia). Namun sabotase tersebut gagal menahan laju pasukan sekutu, banyak pasukan komando Jerman dapat ditangkap oleh pasukan Amerika dan di eksekusi sebagai mata-mata.
  • Selama perang Vietnam (1957 – 1975) pasukan  Viet Cong menggunakan perenang (pasukan penyelam yang khusus dilatih di suatu pusat latihan) dalam melakukan aksi sabotase dengan sasaran merusak aset-aset Amerika Serikat seperti : kapal, alat transport, bangunan dermaga dan lain-lain. Aksi sabotase tersebut berlangsung antara tahun 1969 s/d 1970,  lebih dari 75 aset milik pasukan Amerika Serikat dan sekutunya hancur atau rusak. Dan kemudian Vietnam memenangkan perang.
Jembatan hancur

  • Pada masa perang-dingin, FMLN (Farabundo Marti National Liberation Front ) yang dibentuk di El Salvador (1980) adalah front dari empat organisasi gerilyawan sayap kiri dan Partai Komunis El Salvador melakukan perang melawan pemerintah. Pada tanggal 1 Januari 1984, para saboteur sayap kiri. FMLN  menghancurkan jembatan Cuscatlan (Cuscatlán is a department of El Salvador, located in the center of the country. With a surface area of 756.19 square kilometres, it is El Salvador's smallest department. It is inhabited by over 200,000 people) di atas sungai Lempa di El Salvador. Jembatan tersebut penting bagi lalu lintas ekonomi, perdagangan dan militer, akibat sabotase tersebut terjadi kerugian sekitar USD 3,700,000, dan  berdampak negatip terhadap keamanan  serta kegiatan bisnis El Salvador.
Jembatan  sungai .Lempa
  • Dalam dua serangan (29/11/2013) terhadap Iran, seorang pakar atom Iran tewas dan seorang lainnya mengalami luka-luka. Tidak ada kelompok yang menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu, namun pemerintah di Teheran menyatakan bahwa dinas rahasia negara Barat (Amerika Serikat & Co)—memanfaatkan para saboteur pro Israel, yang bertanggung jawab dalam serangan tersebut; diduga sebagai sabotase  guna menghambat program pengembangan nuklir Iran.

Keberhasilan suatu sabotase bukan semata-mata diukur dari besarnya  kerusakan dan kehancuran sasaran, tetapi harus pula diukur dari besarnya sumbangan  terhadap hapus - nya ketidakadilan dan ke sewenang-wenangan.

Sebagai penutup dari renungan ini perlu dikemukakan bahwa aksi sabotase  telah lama dikenal, dan pernah dilakukan di hampir semua negara di muka bumi ini. Aksi sabotase  adalah suatu tindakan menghalangi—terutama dalam politik ; suatu praktek yang dengan sengaja mengganggu, menunda atau mencegah berlangsung-nya proses atau perubahan. Sabotase umumnya dilakukan dengan merusak  sasaran, dimana  keberadaan sasaran itu mempunyai potensi merugikan pelaku sabotase.

Aksi sabotase  akan berhasil merusak sasaran, jika faktor : golongan sasaran ;  prioritas ; pelaksana ; informasi ; dan saat  pelaksanaan-nya  dipilih secara tepat. Keberhasilan suatu sabotase bukan semata-mata diukur dari kerusakan atau kehancuran sasaran, namun juga harus pula diukur dari tercapainya tujuan, yaitu besarnya sumbangan terhadap hapus nya ketidakadilan dan ke sewenang-wenang-an setelah rusak atau hancurnya sasaran. 

Seorang pemimpin yang berpandangan jauh, dalam  menyusun suatu aksi sabotase tidak hanya memikirkan hancurnya sasaran yang dapat membawa kemenangan, namun juga memikirkan tujuan yaitu bagaimana dengan hancurnya sasaran tersebut dapat membawa dampak positip bagi perjuangannya.

Aksi sabotase kiranya  di masa mendatang masih akan terjadi, baik di masa damai maupun di masa perang.

Semoga renungan ini bermanfaat !
*
I do not deny that I planned sabotage. I did not plan it in a spirit of reklessness nor because I have any love of violence . I planned it as a result of a calm and sober assessment of the political situation that had arisen after many years of tyranny, exploitation and oppression of my people by the whites (Nelson Mandela)


*