Minggu, 31 Maret 2013

Terkecoh.



Ngunandiko. 43


Terkecoh, pernyataannya sendiri?

Markas Gerilyawan di desa
Pada awal tahun 1950 ada lima orang  pemuda  mengunjungi bekas markas mereka waktu bergerilya melawan tentara Belanda, yaitu di sebuah desa di daerah Sleman (Yogyakarta) yang letaknya lk  18 km barat-daya  puncak Gn Merapi. Dalam perjalanan pulang ke kota Yogya mereka beristirahat di tepi  sebuah sungai kecil.  Tiga  orang  diantara mereka mandi dan membersihkan badan  disebuah sumber- air (bhs Jawa; belik atau sendang) yang ada  ditepi  sungai tersebut.  Belik atau sendang  tersebut airnya melimpah dan sangat jernih.

Setelah  selesai mandi dan membersihkan badan, ketiga pemuda tersebut merasa segar dan sehat kembali, dan hal itu diceritakan  kepada  kedua kawannya  yang tidak mandi.  Bahkan sesampai di rumahnya di kota Yogya,  salah seorang  dari tiga pemuda tersebut (Parto),   masih  bercerita  bagaimana ia merasa segar dan sehat kembali setelah mandi di sumber air di daerah Sleman itu  kepada saudara dan  kawan-kawannya dirumah.

Saudara dan kawan-kawannya menceritakan kembali pengalaman Parto tersebut ke sejumlah orang lain.  Cerita      itu  (tanpa disadari oleh Parto) ternyata  berkembang dari mulut-mulut   – sudah barang tentu disertai bumbu dan ditambah tambah   dan kemudian menjadi  berita bahwa  ada  sumber-air di daerah Sleman yang dapat menyembuhkan  berbagai penyakit.  Beberapa waktu kemudian – kira-kira pada awal tahun  1952 – adanya  sumber-air  yang dapat menyembuhkan  berbagai  penyakit   itu di  kenal oleh hampir  seluruh penduduk kabupaten Sleman  bahkan sampai ke penduduk  kota Yogyakarta. Sumber-air tersebut dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang dokter  tidak mampu mengobatinya . Dan setiap hari orang berbondong-bondong berobat ke sumber-air tersebut.

Sumber-air
Berita adanya  sumber-air yang dapat menyembuhkan penyakit di Sleman tersebut  akhirnya  sampai di telinga Parto.  Sudah lama Parto  menderita penyakit kulit (exeem) yang tak  kunjung sembuh, maka  dia  ingin mencoba berobat ke sumber-air tersebut. Pada suatu hari  Parto bersama dengan adiknya      pergi ke  sumber-air   di Sleman tersebut dengan tujuan menyembuhkan sakitnya.  Parto dan adiknya tiba di sumber-air tersebut sekitar jam  17.30  sore,  jadi  hari sudah mulai gelap,  namun masih ada beberapa orang yang ber-obat (mandi)   di sumber-air itu. Setelah menunggu beberapa saat Parto pun  mandi  di sumber-air tersebut dengan tujuan menyembuhkan sakit kulit (exeem) yang  telah lama dideritanya.
  
Kira-kira satu minggu kemudian – karena merasa sakitnya belum berkurang - Parto datang lagi ke sumber air tersebut.  Pada waktu Parto sampai di sumber-air itu  hari masih pagi, sehingga sempat melihat-lihat disekitarnya. Parto pun lalu  ingat kembali dan sadar bahwa  sumber-air tersebut  adalah tempat dia dan teman-temannya dahulu (tahun 1950)  mandi setelah  mengadakan kunjungan ke sebuah desa di daerah Sleman.

Dalam perjalanan pulang  dari berobat di sumber-air tersebut Parto berpikir bukankah sumber-air  itu adalah sumber-air yang beberapa waktu lalu (tahun 1950) dia kunjungi bersama-sama teman-temannya . Dan  sumber-air  itu adalah sumber-air biasa yang banyak terdapat ditepi sebuah  sungai.  Menurut apa yang dia ingat  pada tahun 1950 tidak  ada yang  istimewa dari  sumber-air itu kecuali airnya yang melimpah dan jernih,  bahkan nyaris tidak ada yang menggunakannya karena letaknya yang terpencil, jauh dari rumah penduduk ; hanya  sekali-kali digunakan mandi   oleh penduduk  desa atau orang  yang   kebetulan lewat seperti Parto dan kawan-kawannya dahulu. 

Yang masih menjadi pertanyaan dalam hati  Parto ; Apakah  pernyataannya  dan teman-temannya  yang dahulu pernah bercerita  bahwa mereka  menjadi sehat dan segar  setelah mandi di sumber air tersebut,  yang menjadi sebab  mengapa sumber-air  itu dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit ? Atau psikologi masyarakat setelah Perang Kemerdekaan  RI 1945 (sebagaimana diketahui perang kemerdekaan RI berakhir pada akhir tahun 1949) yang mencekam yang menyebabkannya ? Ataukah karena keduanya ? 

Semua  itu  masih  merupakan misteri, namun kenyataannya pada waktu itu  (1952)  banyak orang yang percaya   bahwa sumber-air   itu  memiliki “kesaktian” dapat menyembuhkan penyakit. Apakah ia (Parto)  dan kawan-kawannya terkecoh oleh pernyataannya sendiri? Wallahualam !

Tdak berapa lama kemudian, kira-kira pada tahun 1953, kepercayaan orang akan “kesaktian” sumber-air tersebut  mulai surut, orang tidak lagi berbondong-bondong untuk berobat ketempat itu. 

*
He with whom neither slander that gradually soaks into the mind, nor statements that startle like a wound in the flesh, are successful may be called intelligent indeed
(Cofucious)
*

Jumat, 01 Maret 2013

Mis-komunikasi



Ngunandiko.41

Mis-komunikasi
Pada akhir Januari 2013 saya berada di Yogyakarta, seperti biasa kalau sedang berada di Yogya saya selalu menyempatkan diri makan pagi (sarapan) di warung soto Kadipiro. Letak warung soto Kadipiro tersebut lk 4 km dari Kantor Pos Yogya (Yogya km : 0) ke arah barat di jalan-raya menuju Purworejo, berada disebelah kanan jalan beberapa puluh meter di arah barat tapal batas kota Yogyakarta.
Saya diantar oleh adik saya dengan mobil Renault tua-nya, pada kira-kira jam 7.30 pagi kami sudah ditengah perjalanan menuju Kadipiro. Jalan pada waktu itu tidak terlalu ramai, kecepatan mobil kami kira-kira 40 km per jam.
Vespa
Beberapa saat setelah jembatan Kali Winongo dari arah timur ada sebuah scooter Vespa (rupanya Vespa terbaru) menyalip mobil kami, tiba-tiba dimukanya ada gerobak sampah memotong jalan. Rupa-rupanya penarik gerobak sampah tidak mendengar bunyi klakson  dan terus saja memotong jalan, maka Vespa-pun menabrak gerobak tersebut dan Vespa roboh bersama penumpangnya. Untung pada peristiwa itu tidak ada yang mengalami luka-luka yang berarti.
Gerobak sampah yang memotong jalan secara mendadak tanpa memperhatikan bunyi klakson, dan pengendara yang  belum mahir betul mengendalikan Vespa-nya rupanya menjadi  penyebab kecelakaan tersebut. Kecelakaan  ini mengingatkan saya pada kejadian serupa pada tahun 1960, lebih dari 50 tahun yang lalu, pada waktu saya masih sekolah di Yogya.
Pada saat itu, hari Minggu bulan Pebruari 1960, saya diajak paman saya mencoba mobil-nya (kalau tidak salah merk Chevrolet Impalla) yang baru dibawanya dari Amerika, sehabis tugas belajar disana. Sekitar jam 7.00 kami sudah berada di daerah Kotabaru dijalan menuju ke stadion Kridosono dari arah utara (sekarang dari arah Kampus UGM).
Paman saya mengemudikan mobil tersebut pelan-pelan dengan kecepatan tidak lebih dari 40 km per jam. Lalu lintas masih terlihat sepi. Sewaktu kami asyik ngobrol ada sepeda motor Harley Davitson yang dikendarai oleh seorang pemuda menyusul dari sebelah kanan mobil, pemuda tersebut berteriak-teriak sambil menunjuk-nujuk kearah sepeda motornya.
Paman saya, karena ada disebelah kiri (Impalla tersebut stir kiri), tidak mendengar dengan jelas apa yang diteriakkan  pemuda tersebut.
Paman bertanya ke saya          : Teriak apa pemuda itu?
Saya                       : Apa sudah pernah naik Harley Davitson (teriak pemuda itu sambil menunjuk-nujuk kearah sepeda motornya).
Paman                              :  Sombong amat dia, mentang-mentang naik Harley Davitson baru ( paman pun lalu mempercepat laju mobilnya).
Setelah kami mengelilingi stadion Kridosono dan akan kembali ke arah Terban Taman (sekarang Kampus UGM) ; terlihat ada kerumunan orang yang sedang menolong suatu kecelakaan. Kecelakaan tersebut ternyata adalah Harley Davitson yang menabrak seorang pengendara sepeda. Keduanya (pengendara sepeda dan pengendara Harley Davitson) tersungkur di jalan serta mengalami luka-luka.
Harley Davitson
Harley Davitson tersebut adalah Harley Davitson yang dikendarai pemuda yang tadi berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke sepeda motornya. Pemuda itu pada waktu berteriak ternyata bukan menyombongkan sepeda motornya tetapi bertanya bagaimana mengerem Harley Davitson ; sebaliknya kami mengira si pemuda itu memamerkan Harley Davitson-nya yang pada waktu itu masih jarang yang memilikinya.
Wah wah . . . . . gara-gara mis-komunikasi maka terjadilah  kecelakaan tersebut. Untung tidak sampai ada korban jiwa.

*
Say as much as you need to get your points through. Saying too little causes misinterpretations and unintended consequences since there isn’t enough information for informed decisions to be made (Peter Saysomphane, American , Consultant and Author)
*