Gerakan Bawah Tanah
(The Underground)
Ngunandiko.4
Underground : The, a secret network of civilians – usually including former soldiers – of a defeated and occupied nation dedicated to maintaining resistance against the enemy until liberation is achieved ........................ The term is used also to describe revolutionary organizations, established clandestinely with aim of overturning a civil government and seizing power (Encyclopedia Americana).
Menurut Encyclopedia Americana, “Gerakan Bawah Tanah” (The Underground) adalah suatu jaringan perlawanan rahasia dan terorganisasi dari orang-orang sipil suatu bangsa terhadap bangsa lain yang mendudukinya, seperti misalnya perlawanan bawah tanah bangsa-bangsa Eropa terhadap tentara pendudukan Jerman pada Perang Dunia Pertama maupun pada Perang Dunia Kedua. Pengertian “Gerakan Bawah Tanah” tersebut kemudian meluas ; yaitu termasuk gerakan organisasi revolusioner yang dibentuk secara rahasia dengan tujuan menjatuhkan pemerintahan sipil serta merebut kekuasaannya.
Ke-anggota-an gerakan bawah tanah ini bersifat sukarela, mereka pada umumnya memiliki sifat cerdas & berani, serta idealis. Sukarela artinya atas kemauannya sendiri, tidak dibayar, bahkan untuk menjalankan operasinya seringkali harus keluar biaya dari kantongnya sendiri. Cerdas & berani karena dalam menjalankan tugasnya tidak ada yang dapat diandalkan mampu menolongnya jika menjumpai marabahaya (mis: ditangkap musuh), hanya kecerdasan dan keberanianlah yang dapat menolongnya. Dan idealisme menjadi daya dorong yang utama bagi para anggota gerakan bawah tanah tersebut, idealisme dapat berupa kecintaannya yang besar terhadap negaranya (nasionalisme), maupun terhadap fahamnya (agama, kepercayaan, atau ideologi) serta terhadap kebenaran tujuan gerakannya atau organisasinya.
Sesuai dengan namanya ; “Gerakan Bawah Tanah” harus bekerja secara rahasia dan tertutup. Musuh utamanya adalah pengkhianatan dari dalam diri gerakan itu sendiri, serta organisasi-organisasi atau badan-badan kontra gerakan bawah tanah, baik yang dibentuk oleh tentara pendudukan maupun yang dibentuk oleh negara dimana gerakan bawah tanah tersebut beroperasi.
Gerakan bawah tanah sesungguhnya telah ada sejak dahulu ; ada di Eropa, di China, di Indonesia sendiri maupun ditempat-tempat lain. Keberadaannya tampak dalam berbagai cerita seperti “Monte Cristo” di Perancis, “Perang Tiga Negeri atau Samkok” di China, “Ken Arok” dan “Pacar Merah Indonesia” di Indonesia. Dalam keadaan yang lebih nyata, adanya gerakan bawah tanah tersebut terlihat pada waktu tentara Napoleon Bonaparte (Perancis) menghadapi rakyat Spanyol dan pasukan Inggris dibawah Jendral Wellington di Spanyol pada tahun 1814, gerakan rakyat Perancis di Perancis pada tahun 1870 dalam menghadapi tentara Bismarck (Jerman), maupun keberadaan organisasi gelap kaum Yahudi bernama Waada. Di Slovakia pada tahun 1942 Waada berhasil menyelamatkan 25.000 orang Yahudi dari pembantaian Nazi, dengan cara membayar kepada SS sebesar £ 50,000 atau £ 2.0 per 1 jiwa. Waada bertujuan menyelamatkan orang-orang Yahudi dari penindasan Nazi Jerman di Eropa pada masa Perang Dunia II.
Gerakan bawah tanah tersebut bekerja secara rahasia dan tertutup, maka keberadaannya tidak dikenal oleh masyarakat secara luas, mereka bekerja dibawah tanah dalam kegelapan. Walaupun demikian adanya gerakan bawah tanah tersebut dapat dirasakan dan cukup dikenal, terlebih lebih gerakan bawah tanah pada masa Perang Dunia II.
Pada masa Perang Dunia II hampir di seluruh negara yang di duduki oleh tentara facist Jerman, Italia, maupun Jepang telah terjadi sejumlah aksi yang patriotik dari gerakan bawah tanah, atau lebih dikenal sebagai gerakan perlawanan (resistance). Pada dasarnya mereka bekerja untuk melumpuhkan musuh – tentara pendudukan – dengan cara memata-matai instalasi-2 yang dikuasai musuh atau memata-matai pergerakan dan rencana operasinya. Disamping itu juga melakukan sabotage, menyebarkan berita/isu (dengan radio, pamflet dll) yang dapat menurunkan moral musuh disatu fihak dan yang dapat meningkatkan semangat perlawanan rakyat dan pejuang dilain fihak. Gerakan bawah tanah tersebut juga membantu para pejuang yang melarikan diri, dan membantu para pejuang menyusup ke daerah pendudukan. Tujuan gerakan bawah tanah tersebut – melumpuhkan, mengusir tentara pendudukan – sudah barang tentu merupakan suatu tujuan yang mulia dan patriotis.
Sementara itu gerakan bawah tanah yang merupakan suatu organisasi revolusioner bertujuan membebaskan dari penjajahan dan tindakan sewenang-wenang, pada umumnya gerakan bawah tanah seperti itu dibentuk secara rahasia. Organisasi ini berusaha menjatuhkan pemerintahan penjajah atau pemerintahan yang sewenang-wenang serta merebut kekuasaannya.
Dalam perjuangannya kedua gerakan bawah tanah tersebut – resistance maupun kaum revolusioner – menggunakan cara-cara yang sama yaitu ; memata-matai, sabotage, melakukan perlawanan bersenjata dll. Sejumlah organisasi tersebut pada awalnya adalah gerakan terbuka dan bukan gerakan bawah tanah, namun kemudian berubah menjadi suatu gerakan bawah tanah karena berbagai sebab, seperti Jamaah al Islami dan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin didirikan di Mesir tahun 1928, semula adalah gerakan terbuka namun setelah anggotanya terlibat dalam usaha pembunuhan terhadap Presiden Nasser 26 Oktober 1964, kemudian menjadi gerakan bawah tanah.
Gerakan bawah tanah dapat dipimpin dari dalam negeri maupun dari luar negeri ; misalnya pada masa Perang Dunia II: Jend Charles de Gaulle memimpin gerakan bawah tanah melawan tentara pendudukan Jerman di Perancis dari London ; Jend Wladislaw Sikorski memimpin gerakan bawah tanah melawan tentara pendudukan Jerman di Polandia juga dari London; sedangkan Ayatollah Khomeini memimpin perlawanan terhadap rezim Sjah Reza Pahlevi di Iran pada tahun 1970-an dari Irak; dan Aristide memimpin perlawanan terhadap resim militer Haiti dari Amerika Serikat. Gerakan bawah tanah tersebut di luar negerinya sendiri boleh jadi merupakan gerakan yang terbuka, bahkan dapat pula dibantu oleh negara dimana kedudukan pimpinan gerakan tersebut berada maupun dibantu oleh negara-negara lain.
Marsekal Tito dari Yugoslavia dan Mayor Jenderal Aung Sang dari Burma pada masa Perang Dunia II memimpin gerakan bawah tanah dari negaranya sendiri, masing-masing melawan tentara pendudukan Jerman dan Jepang Aung Sang semula membantu tentara Jepang yang menyerbu Burma (sekarang Myanmar), namun kemudian bergabung dan memimpin gerakan bawah tanah Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL) yang dimotori oleh partai Thakin melawan tentara pendudukan Jepang. Hal yang sama juga dilakukan oleh sejumlah pemimpin gerakan bawah tanah di Pilipina, Norwegia dll.
Gerakan bawah tanah tersebut, baik yang dipimpin dari dalam negeri maupun dari luar negeri, perintah atau komando ke jajarannya dan informasi dari para anggotanya dilakukan dengan berbagai alat komunikasi seperti radio. Jend de Gaulle misalnya pada masa Perang Dunia II memimpin gerakan bawah tanah Perancis dgn menggunakan radio BBC dari London. Tiap hari de Gaulle berbicara dua kali lima menit untuk para pengikutnya pada khususnya dan rakyat Perancis pada umumnya. Pada waktu ini sudah barang tentu dapat digunakan alat-alat komunikasi yang lebih beragam seperti internet, faksimili,telepon genggam maupun kurir dan lain-lain. Komunikasi pada umumnya dilakukan dengan bahasa sandi.
Dalam perkembangannya gerakan bawah tanah sebagai wadah perjuangan kemerdekaan yang patriotik seringkali secara taktis perlu melakukan kerjasama – untuk mendapatkan dana bagi perjuangannya – dengan organisasi-organisasi kejahatan seperti sindikat narkotika Kartel Cali yang dipimpin oleh Gilberto dan Miguel Rodriguez di Kolombia ; sindikat kejahatan Mafia di Italia, ataupun Yakuza di Jepang ; serta beragam organisasi penyelundup, pemalsuan uang, prostitusi, perdagangan manusia dsb-nya. Cara-cara kekerasan dan tidak terukur seringkali pula digunakannya, sehingga membawa korban orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan gerakan bawah tanah dapat terjerumus pada keyakinan bahwa cara apapun dapat digunakannya, termasuk tindakan teror, asal tujuan tercapai. Tindakan-tindakan teror serta tindakan-tindakan tidak terpuji-pun terpaksa dilakukannya.
Pada awalnya teror atau terorisme yang dilakukannya itu masih dipandang sebagai ekses dari tindakan revolusioner dan patriotis, misalnya tindakan teror yang dilakukan oleh kaum nasionalis militan Armenia di Turki melawan kekuasaan Ottoman pada tahun 1880-an dan 1890-an, maupun teror dan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah gerakan anti-kolonialis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada tahun 1940-an dan 1950-an. Tindakan yang mereka lakukan itu masih dipandang sebagai ekses dari perjuangan revolusioner. Bahkan tindakan teror sejumlah kelompok separatis etnis dan organisasi ideologis radikal seperti kelompok Kurdi dalam Partai Pekerja Kurdistan (PKK), dan kaum radikal Tamil yang tergabung dalam Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) masih sering dipandang sebagai tindakan revolusioner dan patriotis.
Kerja sama dengan sindikat kejahatan dan narkotika (Misalnya ; Liberation Tigers of Tamil Eelam atau LTTE telah terlibat dalam berbagai kegiatan illegal, termasuk bermitra dengan para pembuat dan penyelundup heroin Pakistan, lihat : Kompas 23/8/2006 ), serta digunakannya cara-cara teror ahkirnya menimbulkan masalah. Mereka yang anti terhadap gerakan kemerdekaan menjadi memiliki alasan untuk memberi stigma buruk “ terorisme “ pada setiap gerakan bawah tanah meskipun mereka berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan. Tindakan para pejuang dan kaum revolusioner dipandang sama dengan tindakan terorist ataupun tindakan sindikat kejahatan dan narkotika lainnya.
Sesungguhnya resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) No.42/159 tahun 1974 mengakui sahnya perjuangan gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah tersebut, namun dalam praktek resolusi tersebut menghadapi sejumlah kendala. Negara-negara penjajah atau pemerintahan yang sewenang-wenang sering memiliki legalitas yang diakui oleh PBB, yang dapat dengan mudah men-cap gerakan bawah tanah yang melawannya sebagai terorist.
The difference between the revolutionary and the terrorist lies in the reason for which each fights. For whoever stands by a just cause and fights for the freedom and liberation of his land from the invaders, the settlers and colonialists, cannot possibly be called terrorist ( Yasser Arafat, United Nations General Assembly, November 1974)
Gerakan bawah tanah yang berjuang untuk bangsa dan negerinya melawan penindas, pencaplok, dan kolonialis sudah barang tentu tidak dapat dipandang sebagai teroris. Namun berbagai kalangan sering tidak berpendapat demikian, tergantung dari sudut pandangnya, misalnya organisasi seperti : Palestanian Leberation Organization (PLO), Front de Liberation du Quebec (FLQ), ataupun ETA ( Euskadi ta Askatasuna atau Kemerdekaan bagi Negeri Basque) oleh sejumlah kalangan disebutnya sebagai organisasi teroris, dan oleh sejumlah kalangan yang lain disebutnya sebagai gerakan pejuang revolusioner.
Di Indonesia ada pula sejumlah organisasi yang dapat di katagorikan sebagai gerakan bawah tanah baik pada masa penjajahan Belanda, pada masa pendudukan Jepang, pada masa Revolusi Kemerdekaan, maupun pada masa setelah itu.
Gerakan bawah tanah pada masa penjajahan Belanda pada umumnya terdiri dari orang-orang yang dipengaruhi oleh faham Marxis (komunis). Orang-orang tersebut seringkali memiliki dasar faham Islam ataupun faham nasionalis. Gerakan bawah tanah yang menonjol masa penjajahan Belanda adalah Persatuan Rakyat Indonesia (PARI) yang didirikan oleh Tan Malaka dkk pada tanggal 2 Juni 1927 di Bangkok dan Darul Islam (DI). Darul Islam dapat dikatakan mulai terbentuk pada tahun 1930-an, pada saat Kartosuwiryo menentang politik partainya yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang melakukan politik kooperasi dengan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan-gerakan tersebut, terutama PARI, telah menarik perhatian dinas rahasia pemerintahan kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II tenaga-tenaga revolusioner di Indonesia, seperti halnya di Burma, Indochina, Pilipina dll-nya, bergabung membentuk gerakan bawah tanah dan melakukan perlawanan terhadap tentara pendudukan Jepang. Pada waktu itu gerakan bawah tanah tersebut masih merupakan kelompok-kelompok atau gerombolan, yang menonjol adalah gerombolan Sukarni, gerombolan Syahrir, gerombolan Pelajar, dan gerombolan Kaigun. Gerombolan Sukarni a.l terdiri dari Adam Malik, Pandu Karta Wiguna, dan M Nitimihardjo ; gerombolan Syahrir a.l terdiri dari Hatta, Sudarsono, dan Hamdani; gerombolan Pelajar a.l terdiri dari Khairul Saleh, Subadio Sastrosatomo dan E.Sudewo ; dan gerombolan Kaigun a.l terdiri dari Wikana, Mr Subardjo dan Sudiro (lihat tulisan Adam Malik, “ Riwayat Proklamasi Agustus 1945 ”)
Kegiatan gerombolan-gerombolan tersebut pada dasarnya adalah sama dengan gerakan bawah pada umumnya, namun pada waktu itu kegiatannya lebih banyak dalam hal menyebarkan cita-cita kemerdekaan, baik dengan cara menyusun sel diberbagai tempat, maupun penyebaran siaran dan bacaan yang berguna bagi perjuangan menuju ke kemerdekaan Indonesia.
Gerombolan Sukarni selama pendudukan Jepang, secara diam-diam berusaha mengumpulkan informasi yang dipandang perlu untuk dipakai sebagai alat pembuka kedok kepalsuan, kebohongan dan kecurangan Jepang, diantaranya dengan menyebarkan berita-berita tentang kekalahan tentara Jepang diberbagai pertempuran dalam perang Pacifik, siaran Potsdam dan lain-lain. Gerombolan Sukarni inilah yang pertama-tama menyiarkan pengumuman resmi menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Tenaga-tenaga yang aktip dalam gerombolan ini antara lain adalah Adam Malik, Armunanto, Maruto Nitimihardjo dan Pandu Kartawiguna.
Gerakan bawah tanah pada masa pendudukan Jepang tersebut, terutama gerombolan Sukarni, gerombolan Pelajar dan dibantu gerombolan Kaigun, adalah yang menjadi pendorong lahirnya proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada masa setelah Revolusi Agustus 1945 sampai saat ini gerakan bawah tanah dengan latar belakang agama, ideologi, maupun kedaerahan (sparatisme) dll diperkirakan masih ada di Indonesia, namun hal tersebut tidak dibahas disini.
. . . . . . . Every nation in every region now has a decision to make. Either you are with us, or you are with terrorists . . . . . ( George W Bush,September 2004)
Seperti telah dijelaskan dimuka bahwa kerjasama dengan sindikat-sindikat kejahatan narkotika dan cara-cara teror yang digunakan oleh gerakan bawah tanah telah menimbulkan masalah. Hal itu bertambah berat setelah Presiden George W Bush dari Amerika Serikat – beberapa saat setelah peristiwa runtuhnya menara kembar di New York 11 September tahun 2004 – menyatakan perang terhadap terorisme (war on terrorisme), maka dengan mudah setiap setiap gerakan bawah tanah dapat diberi “label” oleh lawan-lawannya sebagai gerakan terrorist dan akan langsung berhadapan dengan kekuatan negara adidaya Amerika Serikat . Keadaan seperti ini merugikan perjuangan rakyat tertindas di negara-negara yang pemerintahannya buruk dan menindas rakyatnya. Disatu fihak setiap perlawanan rakyat dapat dengan mudah dituduh sebagai terorist, sementara itu setiap pemerintahan dengan berdalih melawan terorisme dapat melakukan kekerasan tanpa kecaman, bahkan sering kali memperoleh bantuan dari negara adidaya Amerika Serikat dalam rangka “war on terrorisme” .
Organisasi-organisasi perjuangan rakyat tertindas yang sering dipandang sebagai gerakan bawah tanah di sementara wilayah antara lain adalah ; Palestanian Leberation Organization (PLO), Front de Liberation du Quebec (FLQ), Euskadi ta Askatasuna atau Kemerdekaan bagi Negeri Basque (ETA), Kurdistan Liberation Front (KLF), dan Irish Revolutionary Army (IRA). Oleh media massa International diberitakan dengan gencar bahwa mereka mendapatkan dana melalui kerja sama dengan kelompok-kelompok kriminal, berita seperti itu sangat merugikan perjuangan rakyat tertindas dan mengakibatkan perjuangannya bertambah sulit. Pemberitaan semacam itu boleh jadi sengaja dibuat dalam rangka menghancurkan gerakan-gerakan tersebut, seperti halnya pada masa Perang Dingin berlangsung, aksi para pejuang kemerdekaan seringkali diberitakan sebagai aksi yang disponsori oleh kaum komunis. Menurut Clutterbuck ; “Teroris bagi seseorang adalah pejuang kemerdekaan bagi orang lain”. “Sayap kanan” melihat ada aktor-aktor komunis di balik setiap gerilya yg mereka perangi, begitu pula “sayap kiri” akan memandang ada CIA dg kacamata yg serupa.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa gerakan bawah tanah sesungguhnya telah ada sejak lama, dari waktu ke waktu sifat, karakter, dan tantangan dari gerakan tersebut berubah sesuai dengan keadaan jamannya. Gerakan bawah tanah menjadi menonjol pada masa bangsa-bangsa yang dijajah oleh kolonialisme barat bangkit melakukan perlawanan untuk mencapai kemerdekaannya, dan disejumlah tempat mencapai kemenangan bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia II.
Perlawanan terhadap “pemerintahan buruk” – pemerintahan oleh bangsa sendiri ataupun bangsa lain yang merampas hak rakyat secara sewenang-wenang – dimasa mendatang akan menjadi lebih berat, perlawanan secara terbuka mudah dipatahkan, sedangkan perlawanan melalui “gerakan bawah tanah” menghadapi sejumlah kendala antara lain :
- Untuk dapat membiayai “gerakan bawah tanah” seringkali harus bekerjasama dengan sindikat-sindikat kejahatan, sehingga dengan mudah dapat diberi “label” sebagai terorist oleh lawan-lawannya.
- “Pemerintahan buruk” sering berada pada kedudukan yang mapan dan mendapat pengakuan internasional, sehingga dengan legalitasnya mudah memperoleh dukungan dari Amerika Serikat, bahkan dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dalam menindas setiap “gerakan bawah tanah”.
- Media massa dunia yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan mapan juga mempersulit perlawanan terhadap “pemerintahan buruk” karena pemberitaannya yang tidak seimbang dan cenderung memojokkan “gerakan bawah tanah”, memojokkan rakyat tertindas.
Pada masa mendatang perjuangan rakyat tertindas bukan lebih ringan, untuk dapat memenangkan perjuangannya perlu kecerdasan dan keberanian lebih daripada kecerdasan dan keberanian pada masa-masa yang lalu.
*
Keunggulan paling tinggi terjadi ketika kita mampu melumpuhkan perlawanan musuh tanpa pertarungan (Sun Tzu).
*