Kamis, 10 Agustus 2017

BUKU

 Ngunandiko 131





Buku



Buku telah lama dikenal  oleh manusia.  Sejak zaman purbakala, buku digunakan oleh manusia sebagai sarana untuk menyebarkan faham, ilmu pengetahuan . . . . . .


Buku
Buku menurut “Ensiklopedi Umum” adalah lembaran kertas yang  dicetak, dilipat, dan diikat bersama pada punggungnya. Pada zaman purbakala bahan yang digunakan untuk buku bukan kertas, melainkan bermacam-macam lain, antara lain kulit kayu.
Seperti diketahui buku telah dikenal sejak zaman purbakala, dan  digunakan oleh manusia sebagai sarana untuk menyebarkan faham, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Misalnya kita mengenal buku  Mahabarata atau Ramayana, kita mengenal buku suci Injil atau Al’Quran, kita mengenal buku Kalatidha atau Wedhatama, dan sebagainya.
Namun pada waktu ini, buku  mendapatkan saingan dari produk teknologi digital, dimana  memungkinkan orang menyebarkan informasi (faham, ilmu pengetahuan, dan lain-lain) dalam beragam jenis dan dalam jumlah yang sangat besar kesegenap penjuru angin secara bersamaan,
Pada kesempatan ini, “Ngunandiko” ingin, secara singkat membahas dan merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan buku.


Pada mulanya manusia hanya membuat satu   tulisan atau gambar, dengan berjalannya waktu, tumbuh kemampuan manusia   melipat  gandakan (memperbanyak) tulisan dan gambar itu.

Pada zaman purbakala atau zaman dahulu kala, buku adalah untuk menjaga  hilangnya  kisah atau dongeng-dongeng,  doa-doa, upacara-upacara pemujaan, sisilah keluarga raja-raja, hukum atau aturan-aturan, formula pembuatan obat-obatan, hasil-hasil pengamatan alam dan lain-lain yang bersifat lesan; dimana dengan berjalannya waktu manusia tidak mampu mengingatnya lagi. Hal-hal seperti kisah atau dongeng-dongeng lisan tersebut diatas, kemudian ditulis atau digambar oleh manusia dalam apa yang kemudian disebut sebagai bukubuku. Kisah atau dongeng-dongeng lisan  itu, merupakan isi dari buku-buku itu. 
Pada mulanya manusia hanya mampu membuat satu   tulisan atau  gambar,  Kemudian manusia  manpu melipat gandakan (memperbanyak) tulisan dan gambar, sehingga tulisan dan gambar itu disalin dan dibuat sesuai kebutuhan. Kemampuan manusia melipat gandakan tulisan dan gambar itu berpengaruh  signifikan terhadap sejarah perkembangan budaya, utamanya di Barat. Di Roma kuno   ratusan  karya penulis yang populer bisa dilipat gandakan  dalam waktu yang relatif singkat. Bahkan kemudian  suatu alat cetak (printer) bisa menghasilkan ribuan eksemplar tulisan dan gambar, bahkan jutaan.
Kemampuan manusia menulis dan menggambar adalah jauh lebih tua dari pada kemampuan manusia membuat  buku. Manusia pada awalnya menulis dan menggambar pada permukaan benda-benda yang mudah rusak (daun dll),  kayu (kulit-bambu dll), tanah lempengan tanah liat, batu, dan logam. Kumpulan Undang-undang dan Gilgamesh Epic (Epik Gilgames sebuah puisi epik dari Mesopotamia dan merupakan salah satu di antara karya sastra paling awal yang dikenal; Wikipedia) mula-mula ditulis pada benda yang mudah rusak; demikian juga naskah-naskah kuno Mesir, Yunani, Roma ; dan lain-lain. Tulisan-tulisan itu disebut "volume" dari bahasa Latin columen  (roll), dipeliharanya tulisan-tulisan itu menunjukkan adanya kontinuitas dari tradisi. Kumpulan tulisan itu yang semula berupa roll (gulungan), dan terbatas sifatnya, kemudian menjadi bersifat permanen dan diterima secara universal. Roll (gulungan) diproduksi dan disebarkan (dijual) dalam berbagai standar ukuran, dibaca dan dikumpulkan seperti halnya buku sekarang. 
Di Eropa mula-mula orang menggunakan “papyrus”, semacam kulit pohon yang dikeringkan, disambung dengan perekat, dan digulung dalam wadah berbentuk silender. Seperti di jelaskan  dimuka, silender ini disebut dalam bahasa Yunani “volume” sampai sekarang masih digunakan dalam bahasa Inggris dan Perancis. Papyrus terdapat di negeri-negeri di sekitar Laut Tengah, terutama di  Mesir. Dalam abad ketujuh orang Arab di  Mesir mempersulit ekspor papyrus ke Eropa, sehingga kemudian di Eropa  yang dipakai adalah  “perkamen” (kulit domba, anak sapi, keledai) yang dimasak menjadi tipis dan licin. Perkamen ditulis, dilipat dan disusun dengan  tangan dalam bentuk buku seperti sekarang. Karena perkamen itu mahal sekali pembuatannya, maka lembaran buku lama sering kali digosok sampai  bersih  dan ditulisi kembali (palimpaset). Di India, China, dan Indonesia  digunakan daun pohon tal atau “lontar” ; di Babylon dan Assiria digunakan tanah liat yang dibuat persegi datar (lempengan). China mula-mula menggunakan kain sutera untuk ditulisi dan diberi gambar,  kemudian menggunakan kertas yang dibuat dari potongan-potongan kain. Cara membuat  kertas ini kemudian dibawa oleh orang China ke Eropa dalam abad ke-empat belas. 
Sekitar 1300 tahun sebelum  Masehi  (BC), di China telah ada buku. Buku-buku itu dari daun palem (lontar) atau strip batang bamboo yang diukir (tulisi). China disekitar  200 tahun setelah Masehi (AC), dapat membuat kertas, mula-mula kertas itu dibuat gulungan kertas yang ditulisi dengan sejenis tinta. Kemudian pada tahun 500 Masehi, China menggunakan gulungan kertas itu untuk membuat buku (yang selain ada tulisan juga ada gambar kaligrafi) seperti buku dari daun palem atau strip batang bambu sebelumnya.
Dalam masa kebesaran  Yunani  dan  Romawi, banyak budak diharuskan menyalin buku dengan tangan. Di abad pertengahan di Eropa,   pekerjaan  itu  dilakukan oleh para biarawan.  Sedangkan di Negara-negara  lain, dilakukan oleh kaum cendekiawan dan ulama.
Di abad kelimabelas ditemukan dasar-dasar pencetakan oleh Johann Guntenberg (died February 3, 1468—aged 70) di Mainz (Jerman) dan Laurens Janszoon  Koster (1370 - 1440)   di  Harleem (Nederland). Kemudian  pembuatan  buku itu berkembang dengan sangat pesat.


Penemuan mesin cetak adalah  peristiwa  terbesar sepanjang sejarah   buku. Peristiwa   itu, terjadi pada awal era modern—Abad ke-15,  buku jadi sarana penting bagi perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan lain-lain.

Penemuan mesin  cetak  atau alat percetakan dari logam adalah awal   adanya buku   (Printed Book). Penemuan   itu   menyebabkan buku dapat dicetak (diproduksi)  dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatip singkat (mass production). Penemuan mesin cetak dikatakan  sebagai  peristiwa terbesar sepanjang sejarah buku. Peristiwa penemuan mesin cetak itu terjadi pada awal era modern—Abad ke-15, yang memungkinkan buku sebagai sarana penting bagi :

  • transmisi budaya ;
  • penemuan ilmiah dan kemajuan teknologi;
  • perkembangan social;
  • perkembangan  komunikasi ; dan
  • Lain-lain.    
Pada abad ke-15, buku cetak   disebut incunalbe atau incunabulum dari kata Latin (Inggris : band swaddling atau cradle). Buku produksi, pada masa  awal pencetakan adalah tebal dengan ukuran quarto, dan dibungkus (cover) kayu. Buku itu,  tidak  memiliki halaman judul, namun halaman pertama sering dihiasi  teks surat-surat awal; dengan batas yang terang dan seringkali berwarna. Warna hiasan awal itu, paling sering merah dan biru, namun hiasan lainnya juga sering muncul   sepanjang   teks.


Gutenberg
Johann Gutenberg is nearly universally credited with being the inventor of the printing press, and the father of the modern printed book. Gutenberg was an early communications catalyst who invention of the printed book opened up the world to the quick and efficient spread of knowledge and ideas ( Encyclopedia Britannica).          .

Pada 1456, sekitar dimulainya masa pencerahan (Renaissance),  Johann Gutenberg memproduksi buku di Jerman, yang mungkin merupakan buku pertama yang dicetak dengan mesin cetak. Buku itu adalah Alkitab,  mesin cetak Gutenberg itu membuka jalan menuju produksi massal (mass production), dan juga buku yang diproduksi dengan bentuk yang indah (beautiful book). Pada  awalnya,   “cetakan popular”   ditulis dengan tangan. Beberapa waktu setelah itu, muncul “cetakan    lain” . Penemuan mesin cetak telah mengubah buku, begitu pula dunia,  makin banyak orang bisa  membaca.
Seperti telah dijelaskan dimuka, buku yang dicetak sebelum 1500 disebut incunabula (“cradle”),  periode ini merupakan masa awal pembuatan buku.
Ahli-ahli Taurat, pada abad pertengahan,   merubah  warna buku dengan mewarnai buku dengan pena. Buku cetak,  membutuhkan   cetakan bagi setiap warna, oleh karena itu pencetak segera berhenti    meniru manuskrip kuno. Tulisan dan gambar   hitam-putih   paling sering digunakan, meski beberapa diwarnai dengan tangan.
Pada masa itu, mengukir kayu (wood cutting) adalah sistem pencetakan gambar yang paling  cocok. Gambar diukir di papan kayu dan  di media dengan teksnya. Gambar dan teks dapat dicetak  bersama-sama.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan, Florence (Italia)  adalah  pusat pencetakan dan penerbitan. Hasil   cetakannya ; antara ilustrasi, tipe,  dan ukuran margin menjadi serasi. Buku-buku Florentine sangat  menyenangkan, karena para perancang (designer) tidak meniru tampilan manuskrip kuno, tetapi mengembangkan ilustrasi sesuai dengan mesin cetak. Bentuk buku saku  ditemukan  di Venesia. Pada tahun 1501,  Aldus Manutius (1450 - 1515) menerbitkan buku-buku (buku saku) Yunani klasik. 
Ketika buku masih dibuat dengan tangan, hanya orang  kaya  saja  yang  membeli beberapa jilid, orang kebanyakan hanya dapat melihatnya. Seiring dengan bertambah panjangnya tulisan-tulisan didalam buku, maka   perlu antara lain  adanya :

  • judul ;
  • nama  penulis ;
  • pencetak (printer);
  • penjual  buku ;
  • illustrator, dan lain  sebagainya.
Bentuk dan tata letak buku berkembang pada tahun 1550,  dengan  sedikit perubahan tata letak masih digunakan sampai sekarang. Pada waktu itu seperti yang telah diterangkan dimuka,  halaman  pertama buku adalah judul yang pendek, kemudian  judul lengkap , penulis, penerbit, tanggal penerbitan dan kota dimana buku itu diterbitkan. Jika penerbitnya  berbeda, dibalik halaman judul ada informasi tentang hak cipta dan  pencetak (printer). Selanjutnya adalah halaman untuk dedikasi, daftar isi, daftar ilustrasi atau pengantar, dan teks yang dibagi menjadi beberapa  bab, catatan (sering ditemukan di kaki setiap halaman dalam teks), lampiran, biblilografi digunakan sebagai referensi, dan indeks.
Tipe huruf cetakan yang dipakai ada tiga gaya (corak) : gothic, roman, dan italic. Huruf gothic menyerupai huruf pada manuskrip,  populer di Inggris dan Jerman. Orang-orang di Jerman saat ini menggunakan huruf gothic, sedangkan di Inggris,  setelah abad ke-17, tidak  lagi digunakan, kecuali pada Alkitab. Huruf Roman adalah paling populer di mana artikel dicetak, sementara itu kata-kata dicetak miring.
Sampai kira-kira abad ke-20, mengikat atau menjilid buku  diatur oleh para pembeli, Pada akhir abad ke-15, buku mulai dicap dengan nama si pencetak (printer), namun mengikat atau menjilid sering dirancang oleh sang kolektor dengan memakai nama dan gaya mereka. Pada abad ke-16,  Thomas Mahieu dan Jean Grolier de Servieres (1479 - 1565) adalah orang Prancis, mereka adalah salah satu kolektor buku-buku bagus yang terkenal.
Dalam 5 ratus tahun terakhir, mengikat (menjilid) buku  pelan-pelan berubah Setiap bagian dilipat (dijahit) disatukan pada papan atau kulit. Penutup dihias dengan garis polos,  warna emas, atau warna dicap dengan stempel kuningan.
Tepi buku dilapisi emas, perak,  atau  warna  sesuai dengan ikatannya. Semula pelapisan itu dilakukan oleh  tangan manusia. Selama abad ke-17 Samuel Mearne (orang Inggris) menghasilkan suatu tipuan untuk bukunya, jika buku itu tertutup rapat akan tampak memiliki tepi bersepuh biasa, tetapi saat halamannya sedikit dibuka,  tampak  pemandangan  potret; atau desain dekoratif lain-nya.


Secara bertahap, aktivitas pencetakan menjadi lebih cepat dan mudah, hal itu berakibat pembuatan buku yang dilakukan dengan tangan menjadi lebih sedikit.   
      
Selama berabad-abad buku dicetak dengan tangan seperti pada zaman percetakan ala  Guntenberg . Secara bertahap mencetak dengan mesin menjadi lebih cepat dan mudah, oleh karena itu sedikit pekerjaan (memperbanyak tulisan atau gambar) yang dilakukan dengan tangan, mencetak dilakukan dengan phototypesetting (a method of setting type, rendered obsolete with the popularity of the personal computer and desktop publishing software), dan metode lainnya. Proses ini bergantung pada film fotografi (bukan  pencetak logam). Sampul dibuat dengan mesin,  kayu diganti dengan kardus, dan buku edisi dengan sampul kertas yang keras (hard cover). Sedangkan tata letak buku belum banyak berubah sampai  sekarang.
Abad ke 19, membawa beberapa perubahan pada wajah dan ornamen  buku. Ukiran yang digunakan lebih kecil, karena sulit mencetak ukuran besar, dan buku dibuat  dengan wajah dan ornamen tipe baru.
Di abad ke-19 ini, orang mulai  mengurangi  kualitas artistik buku berkaitan dengan penghematan biaya pada produksi buku secara massal. Namun di Inggris, seniman William Morris (1834 - 1896) dengan para pencetak (typographers)  bersama-sama  penjilid mendirikan “Gerakan Pencinta Seni”. William Morris dan  kawan-kawan berusaha menciptakan kembali keindahan buku abad pertengahan, mereka menerbitkan buku-buku yang menggunakan bahan terbaik. Banyak orang merasa bahwa buku yang dimilikinya  berpenambilan kuno, namun ternyata penampilan kuno itu dapat mengilhami dan membuka jalan bagi tendensi baru dalam mendesain buku.
Di Amerika Serikat perkembangan modernisasi penerbitan berjalan lamban, bisnis lain berkembang lebih cepat. Praktek perpajakan dalam perdagangan dan penerbitan  buku  tidak dapat diterima oleh bisnis lain. Seperti diketahui, bisnis buku tidak mengenal uji produk sebelum dan sesudah penjualan, padahal uji itu adalah suatu  prosedur standar dari sebagian besar operasi komersil di Amerika Serikat. Tidak ada kemungkinan mengembalikan  biaya, sebelum buku dipublikasikan. Banyak  penerbit  buku tidak menerima kembali biaya yang telah dikeluarkan.  Di Amerika buku “Novel”,  pada umumnya   penjualan pertama  tidak lebih dari 750 eksemplar. Banyak buku lain yang pada penjualan pertamanya  5.000 eksemplar, dan pada saat penjualan  terbaik  adalah 15.000 atau 20.000 eksemplar.   
Penerbit juga tidak mengetahui dengan pasti mengapa sebuah buku  terjual, umumnya mereka percaya karena kombinasi  promosi (iklan) dan publikasi dari mulut ke mulut. Banyak buku penjualannya menjadi lebih baik, karena semangat (enthusiasm) para penjual,  Pengarang  populer atau  bukunya sangat diminati bisa terjual dengan harga wajar sesuai dengan yang apa diharapkan, namun tidak ada jaminan.
Publikasi buku sangat  spekulatif. Misalnya sebuah “novel” dengan harga $ 5 per eksemplar dan cetakan pertamanya   5.000 eksemplar, maka  maksimum  biaya iklan (promosi) akan $ 1,250 per eksemplar (dihitung berdasarkan harga buku). Buku yang terjual, buku dengan iklan paling banyak (mendekati $ 1,250 per eksemplar), hal itu dibuktikan oleh perilaku pembeli dan   penerbit  yang memanfaatkannya.
Proses penjualan buku yang sebenarnya tidak berubah secara substansial dalam waktu satu abad ini. Penjual setelah mendapat  pengarahan  dari  editor dan eksekutif tentang  buku yang akan dijual, pergi  menampilkan contoh buku (sampel)  dan melakukan persuasi pribadi kepada  calon penjual buku (pemilik toko buku dll). Calon penjual buku (pemilik toko buku dll) itu, lalu  menduga  berapa banyak  setiap judul buku tertentu yang bisa dijualnya, karena sebagian besar penerbit mengizinkan mengembalikan buku yang tidak dapat dijual. Ini kemudian sering menyebabkan buku dapat dijual dengan harga murah
Ada konflik tradisional antara penerbit, di Amerika Serikat dan juga di Indonesia, dengan penjual   buku  a.l mengenai :

  • diskon ; .
  • pengembalian ;
  • pengiriman ;
  • promosi. dan
  • klub buku
Alasan utama konflik adalah kebijakan seragam di antara penerbit, dan  fakta bahwa penerbitan adalah usaha yang sangat individualistik. Meskipun demikian, ada beberapa kesepakatan antara penerbit dan penjual buku bahwa  sistem distribusi lama memerlukan perubahan radikal. Selain praktik komputerisasi,  pengiriman, dan penagihan ;  ada sedikit kesepakatan tentang perubahan distribusi buku dengan sistem wholesaling model Eropa. Wholesaling adalah aktifitas-aktifitas seseorang yang menjual ke Retailer dan penjual lain atau ke industri, institusional, dan pengguna komersial, tetapi tidak menjual ke konsumen akhir dalam jumlah besar yang dipandang lebih efisien. Tidak jelas apakah sistem Eropa itu  dapat  berhasil atau tidak.
Kunci   sukses  distribusi pada dasarnya  adalah pada toko buku. Sejak awal, penerbitan menghadapi situasi yang sangat sulit  (cq. dalam nenetapkan harga) karena :

  • meningkatnya   biaya ;
  • persaingan harga (a.l karena pemberian diskon)  ; dan
  • ketidakpedulian   Pemerintah  atas masalah yang dihadapi oleh penerbit.
Pengusaha buku di Amerika Serikat, dan juga Indonesia, beroperasi  pada tingkat keuntungan yang rendah.  Tidak jarang hanya 4% yang mendapatkan keuntungan, 36% impas (breakeven), dan 60%  rugi (kehilangan uang). Namun toko  buku juga menjual komoditi pelengkap seperti kartu ucapan selamat, hadiah dll, dari mana keuntungannya bisa besar.


. . . . .menjual    buku  pelajaran (textbook) harus disetujui oleh Pemerintah (panitya negara atau panitya sekolah setempat). Persaingan ketat, karena  sejumlah  besar  uang terlibat.

Penerbitan dan perdagangan (distribusi) buku pelajaran (textbook) berbeda dengan  buku  pada umumnya, dalam beberapa hal tidak kalah sulitnya. Jual buku pelajaran (textbook)  harus disetujui oleh Pemerintah (panitya negara atau panitya sekolah setempat). Persaingan ketat, karena  sejumlah besar uang terlibat. Panitya negara tidak hanya menentukan aspek fisik seperti ukuran, pengikatan, dan penampilan buku, tetapi sering juga  konten.  Sensor langsung maupun  tidak langsung (halus), selalu hadir. Namun     ijin (disetujuinya) buku pelajaran dalam sistem sekolah negeri  dapat menguntungkan penerbit. Penerbit   tidak berkeberatan jika   harus mendapatkan persetujuan  semacam  itu.
Di Amerika Serikat, buku pelajaran (textbook) telah berubah secara dramatis, bahkan sejak tahun 1930-an. Desainnya telah sangat berubah, lebih banyak menggunakan warna, karya seni, dan tulisan yang lebih baik  ;  sekarang  juga harus bersaing dengan materi dan metode pengajaran lainnya. Beberapa penerbit percaya bahwa kompetisi ini memacu perubahan lebih lanjut dalam penerbitan buku pelajaran  (textbook).
Distribusi textbook di  perguruan  tinggi   berbeda. Di sini baik dosen atau pengurus dosen, bukan panitya sekolah atau panitya pendidikan negara, yang  memutuskan  textbook  yang  digunakan. Penerbit mengundang para dosen (professor) dan berbicara dengan para dosen tentang  penjualan  buku-buku  (textbook). Penerbit bekerja diwilayah  geografis tertentu, tugasnya adalah menyediakan manuskrip dan juga menjual buku.   Kebanyakan kasus, seorang  professor memberi informasi ke toko buku di perguruan tinggi dan toko buku lainnya tentang buku yang digunakan di kelasnya, dan mereka memesannya dari penerbit.
Keuntungan besar penjualan buku di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat (misalnya  di beberapa universitas besar) adalah ke freshman English (The Freshman Program concentrates on developing skills in written expression, critical thinking and literary analysis using poetry, drama, fiction, and nonfiction) dan ke program pengantar ekonomi. Penjualan textbooks dan lain-lain itu, jika menguntungkan adalah sangat  penting.
Harga selalu menjadi masalah di penjualan  buku  pelajaran  (textbook). Textbooks itu produksinya mahal, dan biasanya ada beda yang tinggi   antara harga  penerbit  dan harga yang mampu dibayar oleh siswa.    Paperbacks (paperback adalah jenis buku dengan penutup  kertas  atau  kertas  karton  tebal, dan sering disatukan dengan lem daripada dengan jahitan , sebaliknya buku hardcover atau hardback diikat dengan kardus yang ditutupi kain. Halaman-halaman di bagian dalam terbuat  dari kertas—Wikipedia) digunakan secara luas di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat, terutama sebagai bacaan dan sebagai textbook. Harga  paperback relatip murah.
Dari bahasan dan renungan seperti diuraikan dimuka, penerbitan dan perdagangan buku utamanya sangat tergantung pada penerbit dan toko buku, Sebagai gambaran berikut ini adalah beberapa penerbit dan toko buku  di sejumlah Negara sbb :


PENERBIT & TOKO BUKU
Nomor
PENERBIT
Nomor
TOKO BUKU
01
PT. Gramedia Jakarta (Indonesia).
01
Toko Buku Gramedia Jakarta.
02
Yayasan Kanisius Jakarta (Indonesia)
02
Toko Buku Gunung Agung, Jakarta.
03
Pustaka Pelajar Yogyakarta (Indonesia).
03
Toko Buku Pembangunan Yogyakarta.
04
McGraw Hill, Book Company Inc, New York (USA).
04
St. Marks Cosmos, New York (USA).
05
Grolier Incorporated Connecticut (USA).

Broklyn Law School, New York (USA).
06
Kogakhusa Company Ltd, Tokyo (Japan).

Marruzka Nihonbashi, Tokto (Japan).
07
Tong Li Publishing, Taipeh (Taiwan).

Elsite Xinyi Store, Taipeh (Taiwan).
08
Markazi Martaba Islam Publishers, New Delhi (India).

Cosmo Publication, New Delhi (India).
09
Trafford Penerbitan, Singapura.

Takashimaya, Singapura.
10
Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur (Malaysia).

Basheer Bookstore, Kuala Lumpur (Malaysia).




Buku di "Kaki Lima"

Disamping di "Toko Buku" , di Indonesia, buku juga dijual di jalan-jalan (pedagang kaki lima) dan di pasar-pasar. Di Jakarta terkenal "Pasar Inpres" di wilayah pasar Senen. Di "Pasar Inpres" tersebut selain dijual buku-baru juga buku-bekas (sekon), buku jiplakan (foto copy), buku yang dilarang beredar (pornografi, politik dll) dan lain-lain. Hal seperti itu juga terdapat di kota-kota lain ; misalnya di Yogyakarta.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa dengan berjalannya waktu,  buku telah  mendapatkan saingan dari produk teknologi digital – internet, dimana   orang dapat menyebarkan dan sekaligus menyimpan informasi (faham, ilmu pengetahuan, dan lain-lain) dalam beragam jenis dan jumlah yang sangat besar kesegenap penjuru angin secara bersamaan.  "Ngunandiko" pada kesempatan ini, tidak membahas dan merenungkan produk teknologi digital tersebut.

Demikianlah   “bahasan  dan renungan” singkat tentang  beberapa aspek dari   “buku”.  Semoga    bermanfaat.
*

There are two motives for reading a book; one, that you enjoy it; the other, that you can boast about it― Bertrand Russell.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar