Minggu, 25 Februari 2018

Indonesia


Ngunandiko.144






Indonesia



Sumpah pemuda, 28 Oktober 1928, di Jakarta a.l menyatakan bahwa : “Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia”, kiranya sampai saat ini  sumpah itu belum sepenuhnya menjadi suatu kenyataan.

“Ngunandiko” dengan judul  "Indonesiaini  berisikan bahasan dan renungan singkat tentang Indonesia. Utamanya bahasan dan renungan tentang bangsa Indonesia, yaitu bangsa dari Negara  Republik Indonesia yang diproklamasikan berdirinya oleh Sukarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebelum kita meneruskan bahasan dan renungan tentang Indonesia ini, kiranya lebih baik jika kita terlebih dahulu melihat definisi bangsa menurut  para ahli dan tokoh-tokoh terkemuka sbb :

1. Menurut Ernest Renan 1823 – 1893 (ilmuwan Perancis) : Bangsa adalah sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah serta cita-cita yang sama ;

2. Menurut Otto Bauer 1881 - 1938 (ilmuwan Jerman) : Bangsa merupakan sekelompok manusia yang memiliki persamaan karakter karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan tumbuh berkembangnya bangsa ;

3. Menurut Benedict Anderson 1936 - 2015 (ilmuwan Amerika Serikat): Bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat ;

4. Menurut Hans Kohn 1891 – 1971 (ilmuwan Amerika Serikat) : Bangsa itu terjadi karena adanya persamaan ras, bahasa, adat istiadat dan Agama yang menjadi pembeda antara bangsa satu dan bangsa lain.


5. Menurut Ki Bagoes Hadikoesoemo 1890 – 1954 (politikus Indonesia) : Bangsa ialah bersatunya orang dengan tempat ia berada, persatuan antara orang dengan wilayah ;

6. Menurut : Soekarno 1901 - 1970 (politikus Indonesia) : Suatu bangsa disamping memiliki ciri-ciri tertentu juga harus ditandai oleh adanya kesamaan rasa cinta tanah air

Seperti diketahui Indonesia terdiri atas gugusan pulau-pulau  yang   oleh penulis terkenal Multatuli dikiaskan sebagai “untaian mutiara yang melingkari khatulistiwa” di kawasan Asia Tenggara. Negara Republik Indonesia ini diproklamasikan berdirinya oleh Sukarno – Hatta di Jakarta pada  17 Agustus 1945.  

Semula Indonesia ini terdiri dari kerajaan-kerajaan dan  daerah-daerah merdeka dan berdaulat. Indonesia juga terkenal sebagai sumber rempah-rempah yang menarik kedatangan bangsa-bangsa Eropa  seperti bangsa Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol. Bangsa-bangsa tersebut saling berlomba dan bersaing untuk menguasai perdagangan bahan-bahan penting  itu. Indonesia yang semula terdiri dari kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah merdeka dan berdaulat itu, dengan berbagai cara  (a.l divide et impera) akhirnya dapat dikuasai dan dijajah oleh Belanda.

Pada awalnya Belanda mendirikan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada 20 Maret 1602, yang diberi hak istimewa seperti hak  berperang, membangun benteng,  membuat perjanjian dan lain-lain. Kemudian VOC mendirikan kantor di Batavia (sekarang Jakarta), yang menjadi pusat jaringan perdagangan VOC di Asia. VOC  menerapkan monopoli atas perdagangan pala, paprika, cengkeh dan kayu manis, namun VOC juga memperkenalkan tanaman-tanaman asing seperti kopi, teh, kakao, tembakau, karet, gula, dan opium.

Untuk menjaga kepentingannya, VOC mengambil   alih   dan menguasai wilayah-wilayah disekitarnya. Namun pada  akhir   tahun   1800, VOC bangkrut dan kemudian bubar. Hal itu karena  korupsi, membiayai perang, dan kesalahan manajemen lainnya. Wilayah-wilayah VOC di Asia Tenggara, termasuk sebagian besar Jawa, sebagian Sumatera, sebagian besar  Maluku, dan daerah-daerah pedalaman serta pelabuhan-pelabuhan seperti Makassar, Menado, Kupang lalu diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda lalu disebut-nya sebagai Hindia Belanda.

Pada masa Perang Dunia II Hindia Belanda 1942 - 1945 diduduki oleh Bala Tentara Jepang. Dan pada akhir Perang Dunia II, Sukarno – Hatta atas desakan para pemuda pada tanggal 17 Agustus 1945 mem-proklamasi-kan berdirinya Republik Indonesia, seperti telah dikemukakan dimuka. Dengan berdirinya Republik Indonesia itu, maka Hindia Belanda berubah menjadi  Negara Republik Indonesia, penduduk Hindia Belanda menjadi  warga Negara Republik Indonesia, dan bahasa Nasionalnya adalah bahasa Indonesia.


Sekarang marilah kita bahas dan kita renungkan bersama Indonesia cq. Negara Republik Indonesia itu yang mencakup :

(1) wilayah Negara Republik Indonesia ;

(2) warga Negara Republik Indonesia ; dan

(3) bahasa nasional Indonesia.

Mengenai ketiga butir tersebut diatas, Kongres Pemuda  tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta menyatakan, bahwa para pemuda  berbagai suku  (Ambon, Jawa, Sumatera dan lain-lain) sepakat untuk bersumpah bahwa :

·                             Kami bertanah air satu, tanah air Indonesia ;
·                           Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia ;
·                           Kami berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Sebagaimana diketahui isi sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itu, kini (2018) sebagian  besar telah menjadi kenyataan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diproklamasikan oleh Sukarno – Hatta pada 17 Agustus 1945 telah tegak berdiri dan diakui oleh masyarakat dunia. Hal itu berarti dari sisi kewilayahan, tanah air satu,  seperti  dalam sumpah pemuda  Kami bertanah air satu, tanah air Indonesia”,  kiranya dapat dikatakan telah selesai. Papua (d/h Irian Barat) yang semula masih dikangkangi oleh Belanda, sejak Mei 1963 telah sepenuhnya menjadi wilayah  Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi sejumlah Daerah  Tingkat  I  atau propinsi. Propinsi-propinsi itu beserta ibukotanya pada waktu ini (2018) adalah  seperti  berikut :

 

 

Provinsi-provinsi di Indonesia & Ibukotanya


No.
Provinsi
Ibukota
Keterangan
01
Nanggro Aceh Darussalam
Banda Aceh
Merupakan Daerah Istimewa
02
Sumatera Utara
Medan

03
Sumatera Barat
Padang

04
Riau
Pekan Baru

05
Kepulauan Riau
Tanjung Pinang

06
Jambi
Jambi

07
Sumatera Selatan
Palembang

08
Bangka Belitung
Pangkal Pinang

09
Bengkulu
Bengkulu

10
Lampung
Bandar Lampung

11
Jakarta
Jakarta
Merupakan Daerah Khusus Ibukota
12
Jawa Barat
Bandung

13
Banten
Serang

14
Jawa Tengah
Semarang

15
Daerah Istimewa Yogyakarta
Yogyakarta
Merupakan Daerah Istimewa
16
Jawa Timur
Surabaya

17
Bali
Denpasar

18
Nusa Tenggara Barat
Mataram

19
Nusa Tenggara Timur
Kupang

20
Kalimantan Barat
Pontianak

21
Kalimantan Tengah
Palangkaraya

22
Kalimantan Selatan
Banjarmasin

23
Kalimantan Timur
Samarinda

24
Kalimantan Utara
Tanjung Selor

25
Sulawesi Utara
Manado

26
Sulawesi Barat
Mamuju

27
Sulawesi Tengah
Palu

28
Sulawesi Tenggara
Kendari

29
Sulawesi Selatan
Makassar

30
Gorontalo
Gorontalo

31
Maluku
Ambon

32
Maluku Utara
Sofifi

33
Papua Barat
Manokwari

34
Papua
Jayapura
d/h Ibukota Irian Jaya.





Jika dilihat dari sisi bahasa, maka sumpah pemuda “Kami berbahasa satu, bahasa Indonesia juga telah menjadi kenyataan. Bahkan sewaktu Hindia Belanda masih diduduki oleh tentara pendudukan Jepang pada Perang Dunia II (1942 – 1945), pemerintahan tentara pendudukan Jepang telah menetapkan bahasa Indonesia – dari bahasa Melayu Riau, Johor, dan daerah sekitar Selat Malaka – sebagai bahasa resmi. Kemudian hal itu dikukuhkan oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi bahasa nasional Indonesia seperti termaktub dalam pasal 36  UUD RI  1945.

Namun sumpah pemuda yang menyatakan bahwa “Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia”, kiranya dapat dikatakan belum selesai, walaupun Negara Republik Indonesia kini (2018) telah berumur lebih dari 70  tahun.
Bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Secara keseluruhan proporsi dan populasi seluruh suku bangsa utama di Indonesia – menurut sensus BPS tahun 2010 — adalah sebagai berikut : 



  
No
Suku Bangsa
Populasi (juta)
Persen (%)
Wilayah Utama
01
Jawa
95.20
40.20
Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Lampung
02
Sunda
36.70
15.50
Jawa Barat
03
Batak
8.50
3.58
Sumatra Utara
04
Madura
7.20
3.03
Pulau Madura
05
Betawi
6.80
2.88
Jakarta
06
Minang-kabau
6.50
2.73
Sumatra Brat, Riau
07
Bugis
6.30
2.69
Sulawesi Selatan
08
Melayu
5.30
2.27

09
Arab
5.00
2.10

10
Banten
4.60
1.97
Banten
11
Banjar
4.10
1.74
Kalimantan Selatan
12
Bali
3.90
1.67
Pulau Bali
13
Sasak
3.10
1.34
Pulau Lombok, Pulau Sumbawa.
14
Dayak
3.00
1.27
Pulau Kalimantan
15
Tionghoa
2.80
1.20
16
Makassar
2.70
1.13
Sulawesi Selatan
17
Cirebon
1.90
0.9
 Jawa Barat

Konflik masih sering terjadi antara suku-suku penduduk Indonesia itu, sebagian besar berkaitan dengan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) yang utamanya dipicu oleh kesenjangan ekonomi. Hal itu memberi indikasi bahwa “satu bangsa Indonesia” belum terbentuk dengan sempurna, suku-suku penduduk Indonesia (asli maupun keturunan Asing) – seperti terlihat pada daftar diatas –   belum sepenuhnya merasa sebagai satu bangsa Indonesia, sebagaimana sumpah  “Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia”.


Perbedaan budaya, bahasa, dan adat istiadat antar suku-suku  sangat kentara. Oleh karenanya, konflik antar suku – yang berakibat korban jiwa – masih  sering terjadi. Keadilan dan pendidikan dengan ketegasan dan konsistensi adalah kunci penyelesaian konflik antar suku.

Bahwa  suku-suku itu akan menjadi satu "bangsa Indonesia” kiranya masih harus terus dipupuk secara terus menerus. Gambaran  adanya konflik antar suku yang berkaitan dengan isu SARA itu antara lain tampak dari peristiwa-peristiwa  sbb :

  1. Konflik dengan suku China (Tionghoa) ; Konflik itu antara lain  berlangsung sepanjang masa orde lama. Pada tahun 1955 – 1965 banyak terjadi perselisihan antara penduduk asli Indonesia (pribumi) dengan  WNI keturunan China (Tionghoa). Orang-orang Tionghoa itu dituduh “tidak patriotik” dan tidak ikut serta berjuang dalam perang  kemerdekaan. Pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan peraturan  membatasi peran orang Tionghoa dalam politik, menganjurkan ganti nama dan lain-lain. Hal itu  menyebabkan orang Tionghoa lebih focus di bidang ekonomi (industry dan perdagangan), yang menyebabkan orang Tionghoa lebih maju  dibidang ekonomi. Kemajuan orang-orang Tionghoa dalam bidang ekonomi  itu ternyata telah menyebabkan kecemburuan social. Sesungguhnya kecemburuan itu telah ada sejak jaman penjajahan, karena  orang-orang Tionghoa diberi kedudukan lebih tinggi oleh Belanda. Oleh karena itu  konflik tidak dapat dihindari, lebih jauh para orang Tionghoa itu dituduh pula oleh penduduk asli Indonesia sebagai agen kolonial, melakukan praktek suap-menyuap, dan kecurangan lainnya.  Pemerintah pun lalu  memerintahkan dengan paksa agar para pedagang Tionghoa itu memindahkan usahanya hanya di kota-kota besar seperti yang terjadi a.l di Jawa Barat. Kemudian banyak Tionghoa mencoba pulang kembali ke negara asalnya (China Daratan), namun mereka tidak menemui keadaan seperti apa yang diharapkan. Akhirnya sebagian dari para Tionghoa tersebut pindah  ke Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brazil.

  2. Konflik  Sampit ; konflik ini merupakan kerusuhan antar etnis yang bermula pada Pebruari 2001 di kota Sampit, dan kemudian meluas ke seluruh Kalimantan Tengah termasuk di ibu kotanya Palangka Raya.  Konflik ini adalah antara suku Dayak (asli Kalimantan) dengan suku Madura warga migran dari pulau Madura, karena suku Dayak menganggap para  migran Madura itu selalu bertindak curang. Konflik  Sampit telah mengakibatkan lebih 500 orang mati dan 100.000 orang warga Madura kehilangan tempat tinggal.

  3. Konflik Poso ; Konflik ini berawal dari perkelahian antara sekelompok orang Muslim dengan sekelompok orang Kristen, pada Desember 1998 di Poso dan berlanjut sampai Mei 2000. Beberapa factor yang memicu konflik tersebut menjadi berkepanjangan utamanya adalah karena hal-hal sbb:

a. Dengan berakhirnya kekuasaan  orde-baru (1998) telah menimbulkan ketidak stabilan ekonomi, politik, serta kegoncangan social ;
b. Kegoncangan tersebut mempertajam persaingan memperebutkan posisi di jabatan-jabatan daerah antara kelompok-kelompok Nasrani dan Islam di Poso ; dan
c. Adanya persaingan dibidang ekonomi antara penduduk asli Poso dengan para pendatang seperti pedagang Bugis  dan transmigran dari Jawa ;

Semuanya itu akhirnya menimbulkan terjadinya bentrokan fisik  dan kekerasan yang berkepanjangan, bahkan dampaknya sampai awal abad ke-21 masih terasa. Untuk memadamkannya pemerinntah pusat terpaksa menerjunkan polisi  (Brimob) dan pasukan TNI.

  4. Konflik Ambon ; Seperti diketahui Indonesia adalah negara yang terdiri dari pulau-pulau dan  beragam suku, agama, dan  bahasa. Perbedaan suku, agama, bahasa dan perbedaaan-perbedaan lain (misalnya : perbedaan adat-istiadat, kesenjangan ekonomi dll) yang sering menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik. Salah satu konflik yang menonjol adalah konflik   Ambon  (dikepulauan Maluku). Konflik  itu berlansung lama (1999 – 2002),  menewaskan hampir 5.000 nyawa, lebih kurang sepertiga dari penduduk Maluku dan Maluku Utara terpaksa mengungsi. Unsur-unsur gerakan sparatis juga berperan dalam konflik di Ambon (Maluku) ini.

  5. Konflik Aceh ; Konflik antara suku Aceh dengan suku Jawa ini menjadi menonjol menjelang berakhirnya pemerintahan orde-baru. Kekecewaan masyarakat Aceh yang merasa  dijajah  oleh suku Jawa meningkat, dalam hal ini suku Jawa  dipandang  identik dengan pemerintah Republik Indonesia. Masyarakat Aceh memberontak dan berusaha mengusir para transmigran suku  Jawa. Maka timbul konflik yang berkepanjangan antara pemerintah Republik Indonesia dan masyarakat Aceh (Gerakan Aceh Merdeka, lihat pula postname)yang memakan banyak korban. Unsur semangat sparatisme juga sering berperan dalam konflik di Aceh ini.
Teori konflik mengatakan bahwa adanya konflik itu perlu  dan penting untuk mewujudkan perubahan  social menjadi lebih baik. Namun konflik itu harus dapat dikendalikan, dengan adanya perjanjian damai (Agustus 2005), maka  konflik di Aceh ini diharapkan berakhir. Dan masyarakat Aceh dapat berubah ke arah yang lebih baik, tidak ada lagi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), masyarakatnya damai dan sejahtera sebagai bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  6. Konflik Bangka : Konflik suku asli Bangka dengan suku Pendatang di Pulau Bangka ini merupakan salah satu contoh konflik antar suku yang terjadi akibat persaingan dalam pemanfaatan sumber daya yang terbatas. Konflik ini sebetulnya hanya dipicu oleh masalah  yang sepele, yakni kasus pemerasan terhadap seorang suku asli Bangka oleh beberapa orang pemuda dari suku pendatang.
Meski hanya dipicu oleh masalah sepele, namun konflik ini kemudian menjadi besar (ada korban jiwa dan puluhan  rumah pendatang dibakar) karena telah melibatkan isu SARA. Namun konflik social ini segera dapat ditangani oleh polisi (Polri) melakui proses rekonsiliasi (perundingan perdamaian) antar sesama bangsa Indonesia.

  7. Konflik Lampung : Konflik antara suku asli Lampung dan suku Bali pendatang ini merupakan salah satu contoh konflik antar suku yang terjadi di Indonesia. Konflik  Lampung ini berlangsung di sekitar tahun  2009 bermula dari adanya perselisihan antar warga, yang kemudian  menjadi konflik berdarah, penanganan cepat dan tanggap dari  kepolisian dan TNI menyebabkan konflik ini dapat segera diredam, sehingga jumlah korbanpun tidak terlalu banyak (l.k 12 orang tewas). Setelah ada perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, maka kondisi masyarakat Lampung menjadi aman dan tertib kembali.

 
konflik di Papua


8. Konflik antar suku di Papua : Kita mungkin hanya mengenal bahwa masyarakat Papua memiliki latar belakang suku yang sama. Padahal, sesungguhnya jumlah suku asli di Papua adalah yang terbanyak di antara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Perbedaan budaya, bahasa, dan adat istiadat antar suku-suku di Papua juga sangat kentara. Oleh karenanya, konflik antar suku di Papua – yang berakibat korban jiwa –  masih  kerap terjadi hingga saat ini. Unsur sparatisme juga sering berperan dalam konflik di Papua. Keadilan dan pendidikan, yang disertai dengan ketegasan dan konsistensi, adalah kunci penyelesaian konflik antar suku di Papua ini.

Itulah 8 (delapan) contoh konflik antar suku yang pernah terjadi di Indonesia sepanjang lebih kurang 70 tahun.  Jika para pemuda telah bersumpah “Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia”, maka harus disadari bahwa kedewasaan dalam bergaul, rasa toleransi, saling menghargai, dan lain sebagainya adalah hal penting yang harus dimiliki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian konflik antar suku , utamanya konflik yang berkaian dengan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) tidak  terjadi lagi.

Sebagai penutup dari bahasan dan renungan singkat tentang Indonesia ini, ingin kami ajukan pertanyaan sudahkah butir ke-2 dari sumpah pemuda 28 Oktober 1928 : “Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia” sudahkah tercapai ?.

Demikianlah semoga bahasan dan renungan ini bermanfaat !

*
If you want to bring an end to long-standing conflict, you have to be prepared to compromise (Aung San Suu Kyi)


*

Sabtu, 10 Februari 2018

Demokrasi


Ngunandiko 143





DEMOKRASI


Demokrasi itu timbul, karena adanya tuntutan akan persamaan. Pertama-tama adalah persamaan dalam bidang politik dan hukum, dan kemudian   dalam bidang social, ekonomi dan lain-lain.

Pada kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan secara singkat tentang arti “DEMOKRASI”. Demokrasi (Yunani : demokratia ; demos = rakyat ; kratein = memerintah, kratia = pemerintahan) adalah pemerintahan yang disertai dengan pengawasan. Hal itu berarti bahwa pemerintah dalam mengambil keputusan harus berbagi dengan semua fihak terkait. Pengawasan lembaga-lembaga pemerintahan dan kemasyarakatan dilakukan oleh dan untuk  kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Demokrasi di negara-negara kota (city-states) di Yunani, kira-kira ada pada abad ke-6 sampai abad ke-5 SM, hanyalah bagi warganegara saja. Yang dimaksud dengan warganegara disini adalah bukan orang asing dan juga bukan budak belian.

Athena

Sedangkan demokrasi pada masa Republik Romawi, sekitar tahun 500 SM, lahirlah apa yang disebut sebagai perwakilan rakyat.

Disamping itu dalam sejarah Eropa pada abad Pertengahan atau jaman Pertengahan, antara abad ke-5 sampai dengan abad ke-15, di Inggris timbul angan-angan tentang adanya perjanjian antara yang diperintah dan yang memerintah. Abad Pertengahan itu bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.

Demokrasi itu timbul, karena adanya tuntutan akan persamaan. Pertama-tama adalah persamaan dalam bidang politik dan hukum, dan kemudian   dalam bidang social, ekonomi dan lain-lain.

Sementara itu dalam suatu negara demokrasi liberal, kepercayaan rakyat ditumpahkan pada suatu system kepartai-an yang saling bersaingan (mis : melalui PEMILU). Demokrasi liberal disebut oleh banyak fihak sebagai demokrasi modern, pada awalnya dan pada utamanya timbul karena pengaruh :
  • revolusi kaum Puritan di Inggris ;
  • revolusi Amerika (1775 – 1783); dan
  • revolusi Perancis (1789 – 1799).

Sedangkan ahli-ahli teori demokrasi yang berpengaruh antara lain :
  • John Locke (1632 – 1704), Inggris ;
  • Jean Jacques Rousseau (1712 – 1778), Perancis ; dan
  • Thomas Jefferson (1743 – 1826), Amerika.

Sedangkan Indonesia, segera setelah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, lalu menetapkan undang-undang dasar (UUD RI 1945) pada 18 Agustus 1945. Undang-undang itu menunjukkan bahwa negara Republik Indonesia adalah Negara demokrasi. 

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau disingkat UUD 1945 atau UUD ’45 itu adalah hukum dasar tertulis (basic law) konstitusi pemerintahan Negara Republik Indonesia.


Pada kurun waktu 1999 – 2002 ; UUD ‘45 mengalami 4 (empat) kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga Negara dalam system ketatanegaraan Republik Indonesia.

Seperti diketahui UUD ‘45 itu disahkan sebagai undang-undang dasar Negara oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945. Namun karena politik kompromi dengan penjajah Belanda,  yang hendak menjajah kembali Indonesia, maka melalui Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, sejak 27 Desember 1949 di seluruh Indonesia yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). 

Pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS bubar, dan di Indonesia berlaku Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950). Dekrit Presiden Sukarno tanggal  5 Juli 1959  memberlakukan UUD ‘45 kembali,  kemudian UUD ‘45 itu dikukuhkan  oleh  DPR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong) pada tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi.

Setelah dekrit Presiden  5 Juli 1959 itu, maka sistem ketatanegaraan Republik Indonesia itu (termasuk adanya lembaga-lembaga negara) dalam arti distribusi kekuasaan, hak dan tanggung jawab, pemilihan, dan lain-lain di antara  lembaga-lembaga tertinggi negara seperti : Pemerintah (Presiden) ; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ; Makamah Agung ; Badan Pengawas Keuangan ; dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA)  dan lain-lain diatur kembali menurut UUD ’45.

Disamping sistem ketatanegaraan Republik Indonesia seperti itu, juga diatur tata cara pengambilan keputusan yang disusun sebagai suatu pedoman pelaksanaan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pedoman tersebut diatur dalam suatu Ketetapan MPR

Gedung MPR/DPR RI


Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan tata cara pengambilan keputusan berdasar UUD ‘45  tersebut adalah yang dinamakan “Demokrasi Terpimpin”. Proses pelaksanaan dalam hal mengambil  keputusan  dalam “Demokrasi Terpimpin”  diatur oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Demokrasi Terpimpin seperti itu dimaksudkan untuk menentang sifat-sifat liberal dari demokrasi Barat, yang dianggap bertentangan  dengan azas-azas permusyawaratan untuk mencapai mufakat sesuai dengan Pancasila yang dianut oleh Indonesia. Sebagaimana diketahui selama Indonesia menjalankan demokrasi Barat (demokrasi liberal) tahun 1950 – 1959, pemerintahan (kabinet) selalu jatuh bangun, dan rata-rata pemerintahan yang dipimpin oleh seorang PM (Perdana Menteri) berumur sangat pendek l.k 3 -4 bulan saja.

Sejak dekrit kembali ke Undang-undang Dasar ‘45 dinyatakan oleh Presiden Republik Indonesia Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959, maka di Indonesia berlaku “Demokrasi Terpimpin”.  Dengan Demokrasi Terpimpin ini,  maka Negara Republik Indonesia  memiliki Presiden, menteri,  lembaga-lembaga Negara dan sarana lain untuk mencapai tujuan. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden) dipandu oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disusun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pemantauan terhadap kinerja pemerintah dilakukan oleh rakyat melalui MPR dan dipantau oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden dipilih secara periodik 5 tahun sekali.

Dalam pelaksanaannya Demokrasi Terpimpin ini terlalu menonjolkan unsur pimpinan. Sebagai gambaran pimpinan diberi hak untuk mengambil keputusan apabila tidak dicapai mufakat dalam suatu permusyawaratan, Oleh karena itu Demokrasi Terpimpin meluncur ke terpusatnya kekuasaan pada pimpinan cq Presiden Sukarno yang a.l membuahkan : pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti penangkapan terhadap kaum oposisi ; polisi dan tentara ikut berpolitik (Dwifungsi ABRI) ; pemberontakan G-30-S/PKI 1 Oktober 1965 ; dan lain-lain.

Pemberontakan  G-30-S/PKI,  1 Oktober 1965  tersebut dapat dipadamkan oleh TNI bersama rakyat dibawah pimpinan Jenderal Suharto, namun kemudian ternyata hal itu diikuti oleh berakhirnya pemerintahan Presiden Sukarno. Pemerintahan Presiden Sukarno ini sering disebut sebagai  Pemerintahan Orde Lama (1957 – 1966). Sedangkan   pemerintahan dibawah Presiden Suharto sesudahnya, sering disebut sebagai Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998).

Sementara itu pada masa pemerintahan Presiden Suharto, Demokrasi Terpimpin telah diubahnya menjadi Demokrasi Pancasila. Pada dasarnya   Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila adalah sama. Namun  dalam Demokrasi Terpimpin, PKI (Partai Komunis Indonesia) dibiarkan hidup dengan subur, sedangkan dalam Demokrasi Pancasila  PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ajaran Marxisme-Leninisme dilarang.

Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Demokrasi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 di masa Orde Baru, maka disusun suatu pedoman pelaksanaan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (seperti yang telah diterangkan dimuka) Pedoman tersebut diatur dalam suatu Ketetapan MPR yang dinamakan “Ketetapan tentang pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila” l.k sbb :

(1)    Mufakat dan/atau putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak sebagai hasil musyawarah haruslah bermutu tinggi yang dapat dipertanggung-jawabkan dan tidak bertentangan dengan dasar Negara Pancasila dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 ;
(2)        Segala putusan diusahakan dengan cara musyawarah untuk mufakat di antara semua golongan-golongan musyawarah.
(3)        Apabila yang disebut dalam ayat (2) itu tidak dapat segera terlaksana, maka pimpinan musyawarah mengusahakan/berdaya upaya agar musyawarah dapat berhasil mencapai mufakat.
(4)        Apabila yang tersebut dalam ayat (3) itu setelah diusahakan sungguh-sungguh tidak juga dapat terlaksana, maka keputusan ditetapkan dengan persetujuan suara terbanyak sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 2 ayat (3) dan pasal 6 ayat (2),
(5)        Kecuali ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 37 ayat (2), maka segala putusan diambil dengan persetujuan suara terbanyak yang lebih dari separoh quorum (sedikitnya separoh lebih satu daripada quorum). Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai keputusan dengan menggunakan sistim suara terbanyak termaksud secara sekali jalan (langsung), maka diusahakan sedemikian rupa sehingga putusan terakhir masih juga ditetapkan dengan persetujuan suara terbanyak.
(6)  Apabila dalam mengambil putusan berdasarkan persetujuan suara terbanyak suara-suara sama berat, maka dalam hal musyawarah itu lengkap anggotanya, usul yang bersangkutan dianggap ditolak, atau dalam hal lain maka pengambilan keputusan ditangguhkan sampai musyawarah yang berikutnya.
(7)        Apabila dalam musyawarah yang berikutnya itu sama berat lagi, maka usul itu dianggap ditolak.
(8)       Pemungutan suara tentang orang dan masalah-masalah yang dipandang penting oleh musyawarah dilakukan dengan rahasia atau tertulis dan apabila suara-suara sama-sama berat, maka pemungutan suara diulang sekali lagi dan apabila suara-suara masih sama berat, maka orang dan atau usul dalam permasalahan yang bersangkutan dianggap ditolak.

Dalam pedoman Demokrasi Pancasila ini, pemimpin  tidak lagi diberi peranan atau kedudukan yang berlebihan, tidak seperti dalam Demokrasi Terpimpin. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang mengakibatkan timbulnya kediktatoran.

Namun pada kenyataannya kekuasaan pelaksana, kekuasaan perencana dan kekuasaan pengawasan dalam Demokrasi Pancasila sekaligus berada ditangan Presiden Suharto, sehingga selama pemerintahan Orde Baru tersebut, tidak ada kekuasaan legal diluarnya yang mampu melakukan koreksi. Hal itu berjalan untuk waktu yang panjang (1966 – 1998) sampai gerakan reformasi yang dimotori oleh para pemuda/mahasiswa meruntuhkannya dan Jenderal Suharto mundur dari tahta Presiden Republik Indonesia pada Mei 1998 (lihat : Good Corporate Government).

Patut pula diketahui bahwa setelah Orde Baru tumbang, pada kurun waktu 1999 – 2002, UUD ‘45 mengalami telah 4 (empat) kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga Negara dalam system ketatanegaraan Republik Indonesia.

Setelah Jenderal Suharto mundur dari tahta Presiden Republik Indonesia pada Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie,  maka Indonesia memasuki masa reformasi. Masa reformasi Indonesia  ini,  kini telah memasuki tahun yang ke 20.

Keadaan Indonesia setelah reformasi jika diukur dari Gross Domestic Product (GDP) ; Human Development Index (HDI) ; dan Democracy Ratings dan dibandingkan dengan beberapa Negara berkembang lainnya tampak sebagai berikut :



  • Gross Domestic Product

Gross Domestic Product (GDP)
No.
Negara
USD per kapita
Keterangan
01
Singapura
52.570
GDP 2016 (World Bank)
02
Malaysia
9.503
GDP 2016 (World Bank)
03
Thailand
5.908
GDP 2016 (World Bank)
04
Indonesia
3.570
GDP 2016 (World Bank)
05
Vietnam
2.186
GDP 2016 (World Bank)






  • Human Development Index

Human Development Index (HDI)
No.
Negara
Ranking Index
Keterangan
01
Aljasair
104
HDI menengah, 2016
02
Philipina
105
HDI menengah, 2016
03
Indonesia
111
HDI menengah, 2016
04
Vietnam
116
HDI menengah, 2016
05
Uzbekistan
119
HDI menengah, 2016






  • Democracy Rating.


Gross Domestic Product Indonesia : USD 3570 per capita (2016) dibawah Thailand diatas Vietnam ; Human Development Index (HDI) : pada posisi menengah (111) pada tahun 2016 dibawah Pilipina diatas Vietnam ; dan Democracy Rating : pada diposisi 7 - 8 dibawah Singapura. Tampak dari uraian diatas dan dari angka-angka GDP, HDI Index, serta Democracy Rating secara keseluruhan keadaan Indonesia setelah reformasi dapat dikatakan tidak memburuk.

Sebagaimana diketahui selama abad ke-20 jumlah negara yang memiliki lembaga-lembaga politik berdasar demokrasi perwakilan – termasuk Indonesia – meningkat secara menyolok. Pada awal abad ke-21, diperkirakan sepertiga negara-negara merdeka di dunia yang memiliki lembaga-lembaga  demokrasi jumlahnya kira-kira sama dengan negara-negara demokrasi berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru  ditambah dengan negara-negara demokrasi yang lebih tua seperti Swiss, Swedia, dan Norwegia. Secara keseluruhan negara-negara demokrasi dan hampir demokrasi kira-kira setengah populasi Negara-negara di muka bumi.

Apa yang menyebabkan bertambahnya jumlah negara-negara demokratis dan hampir demokratis ? Penjelasan atas pertanyaan itu adalah bahwa negara-negara yang tidak memiliki sifat sifat demokrasi – Negara kuno ataupun modern - mengalami kegagalan politik, ekonomi, diplomatik dan militer yang sangat mengurangi daya tariknya. Bahwa negara-negara yang tidak memiliki sifat sifat demokrasi menjadi sangat berkurang daya tariknya a.l adalah karena hal-hal sebagai berikut :
  • kemenangan Sekutu (Kerajaan Inggris, Rusia, Italia, Amerika Serikat dll) terhadap Blok Sentral (Jerman, Austria - Hongaria, Turki Usmani dll) dalam Perang Dunia I (1914 – 1918), maka sistem monarki, aristokrasi, dan oligarki kuno tidak lagi dianggap sah.
  • kekalahan militer Blok Poros ( Militeris Jepang, Facis Italia, dan Nazi Jerman) dalam Perang Dunia II (1939 -1945), menjadikan faham fasisme tidak disukai lagi.
  • faham komunisme bergaya Russia (Stalinisme) juga tidak menarik, terutama setelah runtuhnya ekonomi dan politik Uni Soviet pada tahun 1990-91.
  • kegagalan  diktator-diktator militer di Amerika Latin pada tahun 1980-an dan 1990-an (lihat : Diktator).

Perubahan ideologi mempengaruhi perubahan ekonomi, begitu pula sebaliknya. Ekonomi  pada abad ke-20 dan awal abad ke-21 sangat terpusat di bawah kendali Negara. Langsung atau tidak langsung Negara mengendalikan perusahaan-perusahaan (akibat etatisme). Dengan bergantinya ekonomi yang semula terpusat pada negara dengan ekonomi pasar yang lebih terdesentralisasi, menyebabkan menurunnya pengaruh dan kekuatan pejabat tinggi pemerintahan/Negara terhadap aktivitas ekonomi, maka berfungsinya ekonomi pasar itu juga berkontribusi terhadap perkembangan demokrasi. Jika ekonomi pasar berkembang dan pengaruh kelas menengah bertambah, maka dukungan rakyat terhadap kondisi demokratis meningkat.

Perubahan ekonomi karena bertambah besarnya operasi perusahaan-perusahaan khususnya operasi perusahaan-perusahaan besar akan mempengaruhi sifat dari demokrasi. Pada umumnya perusahaan-perusahaan besar tersebut ingin mendominasi pemerintahan dengan memanfaatkan aparat birokrasi dan aparat keamanan (tentara dan polisi), sehingga sifat demokrasi menjadi cenderung lebih membela kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan daripada kepentingan rakyat banyak.

Secara umum,  negara-negara demokrasi yang memiliki banyak rakyat miskin lebih rentan dipengaruhi oleh janji-janji kaum antidemokrasi, kaum demagog yang menjanjikan solusi sederhana dan segera untuk masalah ekonomi. Berkurangnya jumlah rakyat miskin atau bertambahnya kemakmuran ekonomi  meningkatkan  peluang  pemerintahan yang demokratis berhasil. Di negara-negara di mana budaya demokrasi lemah atau tidak ada (mis : Indonesia), demokrasi jauh lebih rentan dan adanya krisis ekonomi cenderung menyebabkan kembalinya rezim nondemokratis.

Berdasar pengalaman sejarah, perbedaan di antara negara-negara demokrasi dalam ukuran, komposisi etnis, agama, dan lain-lain telah menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam lembaga-lembaga politik negara-negara  tersebut. Beberapa fitur yang berkaitan dengan perbedaan lembaga itu lebih kurang adalah sebagai berikut :

  • Fitur seperti sistem presidensial Amerika Serikat sering diadopsi oleh negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan  Negara-negara berkembang lain di mana militer kadang-kadang mengubah pemerintahan menjadi sebuah kediktatoran melalui kudeta ;
  • Fitur seperti sistem parlementer Inggris. Hal seperti itu sering diadopsi oleh negara-negara dengan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen, bersama  kepala pemerintahan seremonial yang mungkin seorang raja turun-temurun seperti di negara-negara Skandinavia, Belanda, dan Spanyol atau presiden yang dipilih oleh parlemen atau badan lain yang dibentuk khusus untuk tujuan itu.
  • Sebuah pengecualian adalah Perancis – dalam konstitusi kelima –  yang diadopsi pada tahun 1958, menggabungkan sistem parlementer dengan sebuah sistem kepresidenan.
Di kebanyakan negara Eropa yang lebih tua dan berbahasa Inggris, dimana otoritas politik berada di pemerintahan pusat, yang secara konstitusional diberi wewenang untuk menentukan batas kekuasaan,  batas  geografis, asosiasi subnasional seperti antar regional dan lain-lain. Negara-negara seperti itu disebut Negara kesatuan seperti Indonesia, Bangladesh, Jepang.

Sistem negara kesatuan semacam itu sangat berbeda dengan sistem federal, di mana pada system federal kewenangan dibagi secara konstitusional antara pemerintah pusat  dan pemerintah daerah yang relatif otonom.  Negara-negara demokratis yang mengadopsi sistem federal (negara serikat) a.l Amerika Serikat, Swiss, Jerman,  Kanada, Australia dan India, negara  demokrasi dengan penduduk terpadat di dunia.

Demikianlah bahasan dan renungan singkat tentang demokrasi. Semoga  bermanfaat !
*
The tyranny of a prince in an oligarchy is not so dangerous to the public  welfare as the apathy of a citizen in a democracy (Charles de Montesquieu) 

               Read more at: https://www.brainyquote.com/quotes/charles_de_montesquieu_        389319?src=t_democracy

*