Ngunandiko 131
Buku
Buku
telah lama dikenal oleh manusia. Sejak zaman purbakala, buku digunakan oleh
manusia sebagai sarana untuk menyebarkan faham, ilmu pengetahuan . . . . . .
Buku |
Seperti diketahui buku telah dikenal sejak zaman purbakala, dan digunakan oleh manusia sebagai sarana untuk menyebarkan
faham, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Misalnya kita mengenal buku Mahabarata atau Ramayana, kita mengenal buku
suci Injil atau Al’Quran, kita mengenal buku Kalatidha atau Wedhatama, dan
sebagainya.
Namun pada waktu ini, buku
mendapatkan saingan dari produk
teknologi digital, dimana memungkinkan orang menyebarkan informasi (faham, ilmu pengetahuan, dan
lain-lain) dalam beragam jenis dan dalam
jumlah yang sangat besar kesegenap penjuru angin secara bersamaan,
Pada kesempatan ini, “Ngunandiko” ingin, secara singkat membahas dan
merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan buku.
Pada
mulanya manusia hanya membuat satu tulisan atau gambar, dengan berjalannya waktu,
tumbuh kemampuan manusia melipat gandakan (memperbanyak) tulisan dan gambar
itu.
Pada zaman purbakala atau zaman dahulu kala, buku adalah untuk menjaga hilangnya kisah atau dongeng-dongeng, doa-doa, upacara-upacara pemujaan, sisilah
keluarga raja-raja, hukum atau aturan-aturan, formula pembuatan obat-obatan,
hasil-hasil pengamatan alam dan lain-lain yang bersifat lesan; dimana dengan
berjalannya waktu manusia tidak mampu mengingatnya lagi. Hal-hal seperti kisah
atau dongeng-dongeng lisan tersebut diatas, kemudian ditulis atau digambar oleh
manusia dalam apa yang kemudian disebut sebagai bukubuku. Kisah atau dongeng-dongeng
lisan itu, merupakan isi dari buku-buku
itu.
Pada mulanya manusia hanya mampu membuat satu tulisan
atau gambar, Kemudian manusia manpu melipat gandakan (memperbanyak) tulisan
dan gambar, sehingga tulisan dan gambar itu disalin dan dibuat sesuai
kebutuhan. Kemampuan manusia melipat gandakan tulisan dan gambar itu berpengaruh signifikan terhadap sejarah perkembangan budaya,
utamanya di Barat. Di Roma kuno ratusan
karya penulis yang populer bisa dilipat gandakan dalam waktu yang relatif singkat. Bahkan kemudian suatu alat cetak (printer) bisa menghasilkan
ribuan eksemplar tulisan dan gambar, bahkan jutaan.
Kemampuan manusia menulis
dan menggambar adalah jauh lebih tua dari pada kemampuan manusia membuat buku. Manusia pada awalnya menulis dan menggambar
pada permukaan benda-benda yang mudah rusak (daun dll), kayu (kulit-bambu dll), tanah lempengan tanah
liat, batu, dan logam. Kumpulan Undang-undang dan Gilgamesh Epic (Epik
Gilgames sebuah puisi epik dari Mesopotamia dan merupakan salah satu di antara
karya sastra paling awal yang dikenal; Wikipedia) mula-mula
ditulis pada benda yang mudah rusak; demikian juga naskah-naskah kuno Mesir,
Yunani, Roma ; dan lain-lain. Tulisan-tulisan itu disebut "volume"
dari bahasa Latin columen (roll), dipeliharanya
tulisan-tulisan itu menunjukkan adanya kontinuitas dari tradisi. Kumpulan
tulisan itu yang semula berupa roll (gulungan), dan terbatas sifatnya, kemudian
menjadi bersifat permanen dan diterima secara universal. Roll (gulungan)
diproduksi dan disebarkan (dijual) dalam berbagai standar ukuran, dibaca dan
dikumpulkan seperti halnya buku sekarang.
Di Eropa mula-mula orang menggunakan “papyrus”, semacam kulit pohon yang
dikeringkan, disambung dengan perekat, dan digulung dalam wadah berbentuk silender.
Seperti di jelaskan dimuka, silender ini
disebut dalam bahasa Yunani “volume”
sampai sekarang masih digunakan dalam bahasa Inggris dan Perancis. Papyrus
terdapat di negeri-negeri di sekitar Laut Tengah, terutama di Mesir. Dalam abad ketujuh orang Arab di Mesir mempersulit ekspor papyrus ke Eropa,
sehingga kemudian di Eropa yang dipakai
adalah “perkamen” (kulit domba, anak
sapi, keledai) yang dimasak menjadi tipis dan licin. Perkamen
ditulis, dilipat dan disusun dengan
tangan dalam bentuk buku seperti sekarang. Karena perkamen itu mahal
sekali pembuatannya, maka lembaran buku lama sering kali digosok sampai bersih
dan ditulisi kembali (palimpaset). Di India, China, dan Indonesia digunakan daun pohon tal atau “lontar” ; di Babylon
dan Assiria digunakan tanah liat yang dibuat persegi datar (lempengan). China
mula-mula menggunakan kain sutera untuk ditulisi dan diberi gambar, kemudian menggunakan kertas yang dibuat dari
potongan-potongan kain. Cara membuat kertas
ini kemudian dibawa oleh orang China ke Eropa dalam abad ke-empat belas.
Sekitar 1300 tahun sebelum
Masehi
(BC), di China telah ada buku. Buku-buku itu dari daun palem (lontar)
atau strip batang bamboo yang diukir (tulisi). China disekitar 200 tahun setelah Masehi (AC), dapat membuat
kertas, mula-mula kertas itu dibuat gulungan kertas yang ditulisi dengan
sejenis tinta. Kemudian pada tahun 500 Masehi, China menggunakan gulungan kertas
itu untuk membuat buku (yang selain ada tulisan juga ada gambar kaligrafi)
seperti buku dari daun palem atau strip batang bambu sebelumnya.
Dalam masa kebesaran Yunani dan
Romawi, banyak budak diharuskan menyalin
buku dengan tangan. Di abad pertengahan di Eropa, pekerjaan
itu
dilakukan oleh para biarawan. Sedangkan
di Negara-negara lain, dilakukan oleh kaum
cendekiawan dan ulama.
Di abad kelimabelas ditemukan
dasar-dasar pencetakan oleh Johann Guntenberg (died February 3, 1468—aged 70) di Mainz (Jerman) dan Laurens
Janszoon Koster (1370 - 1440) di Harleem (Nederland). Kemudian pembuatan buku itu berkembang dengan sangat pesat.
Penemuan
mesin cetak adalah peristiwa terbesar sepanjang sejarah buku.
Peristiwa itu, terjadi pada awal era modern—Abad ke-15, buku jadi sarana penting bagi perkembangan
budaya, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Penemuan mesin cetak atau alat percetakan dari logam adalah awal adanya
buku (Printed Book). Penemuan itu menyebabkan
buku dapat dicetak (diproduksi) dalam
jumlah banyak dan dalam waktu yang relatip singkat (mass production). Penemuan
mesin cetak dikatakan sebagai peristiwa terbesar sepanjang sejarah buku. Peristiwa
penemuan mesin cetak itu terjadi pada awal era modern—Abad ke-15, yang memungkinkan buku sebagai sarana penting bagi :
- transmisi budaya ;
- penemuan ilmiah dan kemajuan teknologi;
- perkembangan social;
- perkembangan komunikasi ; dan
- Lain-lain.
Pada abad ke-15, buku
cetak disebut incunalbe atau incunabulum dari kata
Latin (Inggris : band swaddling atau cradle). Buku produksi, pada masa awal pencetakan
adalah tebal dengan ukuran quarto, dan dibungkus (cover) kayu. Buku itu, tidak memiliki
halaman judul, namun halaman pertama sering dihiasi teks surat-surat awal; dengan batas yang
terang dan seringkali berwarna. Warna hiasan awal itu, paling sering merah dan
biru, namun hiasan lainnya juga sering muncul sepanjang
teks.
Gutenberg |
Pada 1456, sekitar dimulainya masa pencerahan (Renaissance), Johann Gutenberg memproduksi buku di Jerman, yang mungkin merupakan buku pertama yang dicetak dengan mesin cetak. Buku itu adalah Alkitab, mesin cetak Gutenberg itu membuka jalan menuju produksi massal (mass production), dan juga buku yang diproduksi dengan bentuk yang indah (beautiful book). Pada awalnya, “cetakan popular” ditulis dengan tangan. Beberapa waktu setelah itu, muncul “cetakan lain” . Penemuan mesin cetak telah mengubah buku, begitu pula dunia, makin banyak orang bisa membaca.
Seperti telah dijelaskan
dimuka, buku yang dicetak sebelum 1500 disebut incunabula (“cradle”), periode ini merupakan masa awal pembuatan
buku.
Ahli-ahli Taurat, pada abad
pertengahan, merubah warna buku dengan mewarnai buku dengan pena. Buku
cetak, membutuhkan cetakan bagi setiap warna, oleh karena itu pencetak
segera berhenti meniru
manuskrip kuno. Tulisan dan gambar hitam-putih paling sering digunakan, meski beberapa
diwarnai dengan tangan.
Pada masa itu, mengukir
kayu (wood cutting) adalah sistem pencetakan gambar yang paling cocok. Gambar diukir di papan kayu dan di media dengan teksnya. Gambar dan teks dapat
dicetak bersama-sama.
Sebagai gambaran dapat
dikemukakan, Florence (Italia) adalah pusat pencetakan dan penerbitan. Hasil cetakannya
; antara ilustrasi, tipe, dan ukuran
margin menjadi serasi. Buku-buku Florentine sangat menyenangkan, karena para perancang (designer)
tidak meniru tampilan manuskrip kuno, tetapi mengembangkan ilustrasi sesuai
dengan mesin cetak. Bentuk buku saku ditemukan
di Venesia. Pada tahun 1501, Aldus Manutius (1450 - 1515) menerbitkan
buku-buku (buku saku) Yunani klasik.
Ketika buku masih dibuat
dengan tangan, hanya orang kaya saja yang
membeli beberapa jilid, orang kebanyakan
hanya dapat melihatnya. Seiring dengan bertambah panjangnya tulisan-tulisan didalam
buku, maka perlu antara lain adanya :
- judul ;
- nama penulis ;
- pencetak (printer);
- penjual buku ;
- illustrator, dan lain sebagainya.
Bentuk dan tata letak buku
berkembang pada tahun 1550, dengan sedikit perubahan tata letak masih digunakan
sampai sekarang. Pada waktu itu seperti yang telah diterangkan dimuka, halaman pertama buku adalah judul yang pendek, kemudian judul lengkap , penulis, penerbit, tanggal penerbitan
dan kota dimana buku itu diterbitkan. Jika penerbitnya berbeda, dibalik halaman judul ada informasi tentang
hak cipta dan pencetak (printer). Selanjutnya
adalah halaman untuk dedikasi, daftar isi, daftar ilustrasi atau pengantar, dan
teks yang dibagi menjadi beberapa bab,
catatan (sering ditemukan di kaki setiap halaman dalam teks), lampiran,
biblilografi digunakan sebagai referensi, dan indeks.
Tipe huruf cetakan yang
dipakai ada tiga gaya (corak) : gothic, roman, dan italic. Huruf gothic menyerupai
huruf pada manuskrip, populer di Inggris
dan Jerman. Orang-orang di Jerman saat ini menggunakan huruf gothic, sedangkan di
Inggris, setelah abad ke-17, tidak lagi digunakan, kecuali pada Alkitab. Huruf Roman
adalah paling populer di mana artikel dicetak, sementara itu kata-kata dicetak
miring.
Sampai kira-kira abad ke-20,
mengikat atau menjilid buku diatur oleh para
pembeli, Pada akhir abad ke-15, buku mulai dicap dengan nama si pencetak (printer),
namun mengikat atau menjilid sering dirancang oleh sang kolektor dengan memakai
nama dan gaya mereka. Pada abad ke-16, Thomas
Mahieu dan Jean Grolier de Servieres (1479 - 1565) adalah orang Prancis, mereka
adalah salah satu kolektor buku-buku bagus yang terkenal.
Dalam 5 ratus tahun
terakhir, mengikat (menjilid) buku pelan-pelan
berubah Setiap bagian dilipat (dijahit) disatukan pada papan atau kulit. Penutup
dihias dengan garis polos, warna emas,
atau warna dicap dengan stempel kuningan.
Tepi buku dilapisi emas,
perak, atau warna
sesuai dengan ikatannya. Semula pelapisan itu dilakukan oleh tangan manusia. Selama abad ke-17 Samuel
Mearne (orang Inggris) menghasilkan suatu tipuan untuk bukunya, jika buku itu tertutup
rapat akan tampak memiliki tepi bersepuh biasa, tetapi saat halamannya sedikit dibuka,
tampak pemandangan potret; atau desain dekoratif lain-nya.
Secara bertahap, aktivitas pencetakan
menjadi lebih cepat dan mudah, hal itu berakibat pembuatan buku yang dilakukan
dengan tangan menjadi lebih sedikit.
Selama berabad-abad buku
dicetak dengan tangan seperti pada zaman percetakan ala Guntenberg . Secara bertahap mencetak dengan
mesin menjadi lebih cepat dan mudah, oleh karena itu sedikit pekerjaan
(memperbanyak tulisan atau gambar) yang dilakukan dengan tangan, mencetak dilakukan
dengan phototypesetting (a method of setting type, rendered obsolete with the
popularity of the personal computer and desktop publishing software), dan
metode lainnya. Proses ini bergantung pada film fotografi (bukan pencetak logam). Sampul dibuat dengan mesin, kayu diganti dengan kardus, dan buku edisi dengan
sampul kertas yang keras (hard cover). Sedangkan tata letak buku belum banyak
berubah sampai sekarang.
Abad ke 19, membawa
beberapa perubahan pada wajah dan ornamen
buku. Ukiran yang digunakan lebih kecil, karena sulit mencetak ukuran
besar, dan buku dibuat dengan wajah dan
ornamen tipe baru.
Di abad ke-19 ini, orang mulai
mengurangi kualitas artistik buku berkaitan dengan
penghematan biaya pada produksi buku secara massal. Namun di Inggris, seniman
William Morris (1834 - 1896) dengan para pencetak (typographers) bersama-sama penjilid mendirikan “Gerakan Pencinta Seni”. William
Morris dan kawan-kawan berusaha
menciptakan kembali keindahan buku abad pertengahan, mereka menerbitkan
buku-buku yang menggunakan bahan terbaik. Banyak orang merasa bahwa buku yang
dimilikinya berpenambilan kuno, namun ternyata
penampilan kuno itu dapat mengilhami dan membuka jalan bagi tendensi baru dalam
mendesain buku.
Di Amerika Serikat perkembangan
modernisasi penerbitan berjalan lamban, bisnis lain berkembang lebih cepat. Praktek perpajakan
dalam perdagangan dan penerbitan buku tidak dapat diterima oleh bisnis lain. Seperti
diketahui, bisnis buku tidak mengenal uji produk sebelum dan sesudah penjualan,
padahal uji itu adalah suatu prosedur
standar dari sebagian besar operasi komersil di Amerika Serikat. Tidak ada
kemungkinan mengembalikan biaya, sebelum
buku dipublikasikan. Banyak penerbit buku tidak menerima kembali biaya yang telah dikeluarkan.
Di Amerika buku “Novel”, pada umumnya penjualan
pertama tidak lebih dari 750 eksemplar.
Banyak buku lain yang pada penjualan pertamanya 5.000 eksemplar, dan pada saat penjualan terbaik adalah 15.000 atau 20.000 eksemplar.
Penerbit juga tidak mengetahui
dengan pasti mengapa sebuah buku terjual,
umumnya mereka percaya karena kombinasi
promosi (iklan) dan publikasi dari mulut ke mulut. Banyak buku penjualannya
menjadi lebih baik, karena semangat (enthusiasm) para penjual, Pengarang populer atau
bukunya sangat diminati bisa terjual dengan harga wajar sesuai dengan
yang apa diharapkan, namun tidak ada jaminan.
Publikasi buku sangat spekulatif. Misalnya sebuah “novel” dengan
harga $ 5 per eksemplar dan cetakan pertamanya 5.000 eksemplar, maka maksimum biaya iklan (promosi) akan $ 1,250 per eksemplar
(dihitung berdasarkan harga buku). Buku yang terjual, buku dengan iklan paling
banyak (mendekati $ 1,250 per eksemplar), hal itu dibuktikan oleh perilaku pembeli
dan penerbit
yang memanfaatkannya.
Proses penjualan buku yang
sebenarnya tidak berubah secara substansial dalam waktu satu abad ini. Penjual
setelah mendapat pengarahan dari
editor dan eksekutif tentang buku
yang akan dijual, pergi menampilkan contoh
buku (sampel) dan melakukan persuasi
pribadi kepada calon penjual buku (pemilik
toko buku dll). Calon penjual buku (pemilik toko buku dll) itu, lalu menduga berapa banyak
setiap judul buku tertentu yang bisa dijualnya, karena sebagian besar
penerbit mengizinkan mengembalikan buku yang tidak dapat dijual. Ini kemudian
sering menyebabkan buku dapat dijual dengan harga murah
Ada konflik tradisional
antara penerbit, di Amerika Serikat dan juga di Indonesia, dengan penjual buku a.l mengenai :
- diskon ; .
- pengembalian ;
- pengiriman ;
- promosi. dan
- klub buku
Alasan utama konflik
adalah kebijakan seragam di antara penerbit, dan fakta bahwa penerbitan adalah usaha yang
sangat individualistik. Meskipun demikian, ada beberapa kesepakatan antara
penerbit dan penjual buku bahwa sistem
distribusi lama memerlukan perubahan radikal. Selain praktik komputerisasi, pengiriman, dan penagihan ; ada sedikit kesepakatan tentang perubahan
distribusi buku dengan sistem wholesaling model Eropa. Wholesaling adalah aktifitas-aktifitas seseorang yang
menjual ke Retailer dan penjual lain atau ke industri, institusional, dan
pengguna komersial, tetapi tidak menjual ke konsumen akhir dalam jumlah besar yang
dipandang lebih efisien. Tidak jelas apakah sistem Eropa itu dapat berhasil
atau tidak.
Kunci sukses distribusi pada dasarnya adalah pada toko buku. Sejak awal, penerbitan
menghadapi situasi yang sangat sulit (cq.
dalam nenetapkan harga) karena :
- meningkatnya biaya ;
- persaingan harga (a.l karena pemberian diskon) ; dan
- ketidakpedulian Pemerintah atas masalah yang dihadapi oleh penerbit.
Pengusaha buku di Amerika
Serikat, dan juga Indonesia, beroperasi pada
tingkat keuntungan yang rendah. Tidak
jarang hanya 4% yang mendapatkan keuntungan, 36% impas (breakeven), dan
60% rugi (kehilangan uang). Namun toko buku juga menjual komoditi pelengkap seperti
kartu ucapan selamat, hadiah dll, dari mana keuntungannya bisa besar.
. . . . .menjual buku pelajaran
(textbook) harus disetujui oleh Pemerintah (panitya negara atau panitya sekolah
setempat). Persaingan ketat, karena sejumlah
besar uang terlibat.
Penerbitan dan perdagangan
(distribusi) buku pelajaran (textbook) berbeda dengan buku pada umumnya, dalam beberapa hal tidak kalah
sulitnya. Jual buku pelajaran (textbook) harus disetujui oleh Pemerintah (panitya
negara atau panitya sekolah setempat). Persaingan ketat, karena sejumlah besar uang terlibat. Panitya negara
tidak hanya menentukan aspek fisik seperti ukuran, pengikatan, dan penampilan
buku, tetapi sering juga konten. Sensor langsung maupun tidak langsung (halus), selalu hadir. Namun ijin (disetujuinya)
buku pelajaran dalam sistem sekolah negeri dapat menguntungkan penerbit. Penerbit tidak
berkeberatan jika harus mendapatkan persetujuan semacam itu.
Di Amerika Serikat, buku pelajaran
(textbook) telah berubah secara dramatis, bahkan sejak tahun 1930-an. Desainnya
telah sangat berubah, lebih banyak menggunakan warna, karya seni, dan tulisan
yang lebih baik ; sekarang juga harus bersaing dengan materi dan metode
pengajaran lainnya. Beberapa penerbit percaya bahwa kompetisi ini memacu
perubahan lebih lanjut dalam penerbitan buku pelajaran (textbook).
Distribusi textbook di perguruan tinggi berbeda. Di sini baik dosen atau pengurus dosen,
bukan panitya sekolah atau panitya pendidikan negara, yang memutuskan textbook yang
digunakan. Penerbit mengundang para dosen (professor) dan berbicara dengan
para dosen tentang penjualan buku-buku (textbook). Penerbit bekerja diwilayah geografis tertentu, tugasnya adalah
menyediakan manuskrip dan juga menjual buku.
Kebanyakan kasus, seorang professor memberi informasi ke toko buku di perguruan
tinggi dan toko buku lainnya tentang buku yang digunakan di kelasnya, dan
mereka memesannya dari penerbit.
Keuntungan besar penjualan
buku di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat (misalnya di beberapa universitas besar) adalah ke
freshman English (The Freshman Program concentrates on developing
skills in written expression, critical thinking and literary analysis using
poetry, drama, fiction, and nonfiction) dan ke program pengantar
ekonomi. Penjualan textbooks dan lain-lain itu, jika menguntungkan adalah
sangat penting.
Harga selalu menjadi masalah di penjualan buku pelajaran
(textbook). Textbooks itu produksinya mahal,
dan biasanya ada beda yang tinggi antara harga
penerbit
dan harga yang mampu dibayar oleh siswa. Paperbacks (paperback
adalah jenis buku dengan penutup kertas atau kertas karton tebal, dan sering disatukan dengan lem daripada dengan jahitan , sebaliknya buku
hardcover atau hardback diikat
dengan kardus yang ditutupi kain. Halaman-halaman
di bagian dalam terbuat dari
kertas—Wikipedia) digunakan
secara luas di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat, terutama sebagai
bacaan dan sebagai textbook. Harga paperback
relatip murah.
Dari bahasan dan renungan seperti diuraikan dimuka, penerbitan dan
perdagangan buku utamanya sangat tergantung pada penerbit dan toko buku, Sebagai
gambaran berikut ini adalah beberapa penerbit dan toko buku di sejumlah Negara sbb :
Disamping di "Toko Buku" , di Indonesia, buku juga dijual di jalan-jalan (pedagang kaki lima) dan di pasar-pasar. Di Jakarta terkenal "Pasar Inpres" di wilayah pasar Senen. Di "Pasar Inpres" tersebut selain dijual buku-baru juga buku-bekas (sekon), buku jiplakan (foto copy), buku yang dilarang beredar (pornografi, politik dll) dan lain-lain. Hal seperti itu juga terdapat di kota-kota lain ; misalnya di Yogyakarta.
PENERBIT & TOKO BUKU
|
|||
Nomor
|
PENERBIT
|
Nomor
|
TOKO BUKU
|
01
|
PT. Gramedia Jakarta (Indonesia).
|
01
|
Toko Buku Gramedia Jakarta.
|
02
|
Yayasan
Kanisius Jakarta (Indonesia)
|
02
|
Toko
Buku Gunung Agung, Jakarta.
|
03
|
Pustaka Pelajar Yogyakarta (Indonesia).
|
03
|
Toko Buku Pembangunan Yogyakarta.
|
04
|
McGraw Hill,
Book Company Inc, New York (USA).
|
04
|
St.
Marks Cosmos, New York (USA).
|
05
|
Grolier Incorporated Connecticut (USA).
|
Broklyn Law School, New York (USA).
|
|
06
|
Kogakhusa
Company Ltd, Tokyo (Japan).
|
Marruzka
Nihonbashi, Tokto (Japan).
|
|
07
|
Tong Li Publishing, Taipeh (Taiwan).
|
Elsite Xinyi Store, Taipeh (Taiwan).
|
|
08
|
Markazi
Martaba Islam Publishers, New Delhi (India).
|
Cosmo
Publication, New Delhi (India).
|
|
09
|
Trafford Penerbitan, Singapura.
|
Takashimaya, Singapura.
|
|
10
|
Penerbit
Universiti Malaya, Kuala Lumpur (Malaysia).
|
Basheer
Bookstore, Kuala Lumpur (Malaysia).
|
|
Buku di "Kaki Lima" |
Disamping di "Toko Buku" , di Indonesia, buku juga dijual di jalan-jalan (pedagang kaki lima) dan di pasar-pasar. Di Jakarta terkenal "Pasar Inpres" di wilayah pasar Senen. Di "Pasar Inpres" tersebut selain dijual buku-baru juga buku-bekas (sekon), buku jiplakan (foto copy), buku yang dilarang beredar (pornografi, politik dll) dan lain-lain. Hal seperti itu juga terdapat di kota-kota lain ; misalnya di Yogyakarta.
Akhirnya dapat dikemukakan bahwa dengan berjalannya waktu, buku telah mendapatkan saingan dari produk teknologi digital – internet, dimana orang dapat menyebarkan dan sekaligus menyimpan informasi (faham, ilmu pengetahuan, dan lain-lain) dalam beragam jenis dan jumlah yang sangat besar kesegenap penjuru angin secara bersamaan. "Ngunandiko" pada kesempatan ini, tidak membahas dan merenungkan produk teknologi digital tersebut.
Demikianlah “bahasan
dan renungan” singkat tentang beberapa aspek dari “buku”. Semoga bermanfaat.
*
There are two motives for reading a book; one, that you enjoy it; the other, that you can boast about it― Bertrand Russell.
*