Minggu, 22 September 2013

Partai Politik

Ngunandiko. No.53




Partai Politik

I.          Pendahuluan.

Tulisan ini berisikan bahasan dan renungan mengenai bagaimana awal adanya partai politik, dan peran apa yang dijalankannya bagi perkembangan suatu negara.
Dalam tulisan ini partai politik di-definisi-kan sebagai suatu kelompok orang ter-organisasi yang menjalankan peran mengusung kebijakan bagi kepentingan umum. Tujuan partai politik adalah memilih pejabat yang mampu menjalankan kebijakan yang diusung oleh partai. Pada dasarnya kebijakan itu berkisar pada bagaimana orang-orang memperoleh kehidupan yang layak dan menjalankan kuwajiban-nya seperti membayar pajak, serta bagaimana menghadapi keadaan perang atau damai.
Gambaran mengenai awal, keadaan dan peran partai politik tersebut, kiranya cukup ter-wakili dari keadaan partai-partai politik di sejumlah negara di Eropa, di Amerika Serikat, dan di Indonesia. Partai-partai politik di Amerika Serikat dan di Indonesia diuraikan lebih panjang dimaksudkan untuk lebih memperjelas.
Bahasan dan renungan ini diuraikan dengan urutan sebagai berikut :

(1)        Awal adanya partai politik;
(2)        Partai politik di Eropa;
(3)        Partai politik di Amerika Serikat;
(4)        Partai politik di Indonesia;
(5)        Peran partai politik;
(6)        Penutup.

Sudah barang tentu bahasan dan renungan dalam tulisan singkat ini jauh dari sempurna, namun kiranya  inti permasalahan tidaklah terlewati.

I.          Awal adanya partai politik.

Awal adanya partai politik di semua negara memiliki ciri yang hampir sama. Pada umumnya awal adanya suatu partai politik didahului oleh terbentuknya kelompok orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan—resan minyak ke minyak, resan air ke air. Hal itu tampak dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Yunani dan Romawi.

Majelis - Athena
Pada sekitar abad ke-7 sebelum Masehi di Yunani belum dikenal  adanya partai politik, namun negara-kota Athena telah memiliki badan pemerintahan yang merupakan suatu majelis (assembly, the Council of Five Hundred,). Anggota-anggota majelis tersebut merupakan orang-orang terpandang yang memiliki kriteria sbb :
  • Laki-laki yang dianggap terbaik ;
  • Penduduk Athena bebas (bukan budak), dan ;
  • Keanggotannya diperbaharui setiap tahun.
Para anggota majelis seringkali bertindak secara kelompok dalam mengambil suatu keputusan sesuai  dengan kepentingannya seperti membuat aturan, hukum dll. Anggota-anggota majelis  dalam mengambil suatu keputusan,  tidak mengatur diri-nya secara permanen  dalam kelompok-kelompok, namun adanya kelompok-kelompok itu dapat dianggap sebagai awal adanya partai politik. 

Beberapa abad kemudian di sekitar tahun 27 setelah Masehi, di Romawi  ada semacam forum penguasa yang disebut “Senat”. Senat tersebut beranggotakan orang-orang terpandang dari dua kelompok warga sbb :
  • Kelompok bangsawan mewakili keluarga bangsawan ;
  • Kelompok plebeian (the common people of ancient Rome) mewakili para pedagang kaya dan kelas menengah.
Kedua kelompok warga tersebut sering memiliki sikap yang berseberangan (dua sikap yang berbeda), namun sering pula berbaur serta mempunyai sikap yang sama (satu sikap) pada isu-isu tertentu.
Terjadinya kelompok-kelompok seperti tersebut,  juga terjadi di Asia dalam bentuk yang berbeda.  Di India misalnya masyarakat terbagi dalam golongan-golongan (kasta), hubungan antar kasta tersebut diatur oleh kepercayaan (agama), di China sejak lama dikenal adanya kelompok orang-orang miskin (pengemis) yang disebut  partai “Kei Pang”.
Orang-orang yang mewakili kelompok dengan kesamaan kepentingan, menggunakan jalan pikiran (ideologi) tertentu dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, kiranya dapat dianggap sebagai awal adanya suatu organisasi yang disebut partai politik.

II.      Partai politik di Eropa.

Untuk memberi gambaran tentang partai politik di Eropa, disini diuraikan keadaan partai-partai politik di Italia, Inggris, Perancis, dan Rusia pada awal keberadaannya.

1. Partai Politik di Italia.
Setelah jatuh-nya Roma di sekitar abad ke-5, selama berabad-abad kelompok orang-orang biasa warga Romawi (di semenanjung Italia) hampir tidak memiliki suara dalam hal politik. Keadaan seperti itu menyebabkan kepentingan kelompok - kelompok  warga Romawi tidak dapat ter-komunikasi-kan dengan baik, bentrok antar kelompok warga sering terjadi. Hal itu menimbulkan gagasan perlunya ada wadah (partai politik) yang dapat menyalurkan kepentingan para warga Romawi.  Warga Romawi di sekitar abad ke-12 terbagi ke dalam  dua partai politik berdasar kepentingan yang diwakilinya sbb :
  • Partai Ghibelline mewakili bangsawan, tentara profesional, dan  orang lain yang disukai oleh kaum feudal ;
  • Partai Guelph mewakili pedagang dan pengusaha.
Kelompok-kelompok di Italia yang semula dalam memperebutkan kekuasaan politik dilakukan dengan kekerasan, setelah ada-nya partai politik tidak lagi dengan kekerasan, melainkan dengan perundingan (abad ke-15). Ghibellines berkat kekuatan dan kecerdikannya memperoleh kemenangan politik di sebagian besar wilayah Italia. Negara-negara kota Italia secara bertahap berada di bawah pemerintahan partai yang mewakili orang-orang kuat dan keluarga terkemuka yang cerdik.

2. Partai Politik di Inggris.

Partai politik di Inggris lahir setelah apa yang disebut perebutan kekuasaan oleh Paus (Popish Plot) tahun 1678. Meskipun tidak ada bukti ada perebutan kekuasaan, namun rumor telah tersebar di seantero Inggris bahwa Katolik Roma merencanakan :
  • Membunuh Raja Charles II (1630 –1685)  ;
  • Memberikan tahta-nya kepada James (1633–1701) adik Charles  II, Duke of York seorang Katolik Roma ;
  • Mengambil alih kekuasaan negara.
Raja Charles II
Parlemen  (semula parlemen adalah Dewan Kerajaan, kata parlemen untuk pertama kali dipakai pada masa pemerintahan Henry-III-king-of-England-1207-1272) karena rumor tersebut menjadi gusar, dan menutup semua  jabatan publik bagi pengikut Katolik Roma. Parlemen juga mencoba untuk membatalkan hak Duke of York mewarisi tahta.
Raja Charles II adalah kepala Gereja Inggris, namun  bersimpati kepada adiknya (James) dan umat Katolik Roma.  Perbuatan Parlemen dipandang oleh Raja Charles II telah melanggar otoritas kerajaan, oleh karena itu Raja membalasnya dengan membekukan Parlemen.
Sikap Raja tersebut (sebagai reaksi atas sikap parlemen) menyebabkan orang-orang Inggris terbagi dua :


  • Mereka yang mendukung sikap raja disebutAbhorrers” ;
  • Mereka yang menentang sikap Raja, meminta (mengajukan petisi) agar Raja segera memanggil sidang parlemen, disebut “Petitioner”  ;
Pendukung Raja disebut Abhorrers, karena mereka tidak menyukai (abhor) orang-orang yang berupaya mengendalikan tindakan Raja. Abhorrer disebut pula sebagai kaum Tory. Sedangkan penentang sikap Raja (mendukung Parlemen) adalah petitioner atau disebut sebagai kaum Whig
Sesungguhnya perbedaan dasar antara Whig  dan Tory hayalah pada   tekanan (emphasize) pandangan mereka terhadap pemerintah (raja). Whig memiliki pandangan bahwa hak rakyat (orang-orang biasa) harus lebih besar, sehingga dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah (raja). Sedangkan Tory memiliki pandangan bahwa pemerintah (raja) harus memiliki kewenangan luas dan kuat, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan dapat lebih efektip. Seratus tahun kemudian (1776), perbedaan pandangan tersebut menyebabkan banyak Whig yang berpihak ke kaum revolutionists Amerika, sebaliknya banyak Tory yang mendukung ditumpasnya kaum revolutionists  Amerika.
Setelah revolusi Inggris di tahun 1688, William dan Mary naik takhta  (the co-regency over the Kingdoms of England, Scotland and Ireland), dan parlemen menjadi penguasa di Inggris. Whig dan Tory  menjadi partai besar yang dipimpin oleh orang-orang kaya dan keluarga bangsawan. Kedua partai besar tersebut dikenal sebagai Partai Liberal (Whig) dan Partai Konservatip (Tory). Pada abad ke-20 partai Liberal menjadi lemah, dan perannya sebagai penantang (challence) partai Konservatip, dalam mengontrol pemerintah diambil alih oleh partai Buruh yang baru tumbuh.

3. Partai Politik di Perancis.
Sebelum Revolusi Perancis  tahun 1789, di Perancis ada tiga kelas  (disebut estate) yaitu :
  • Estate I, kaum ningrat (noblety) ;
  • Estate II, kaum gereja (cleregy)  dan ;
  • Estate III, kelas menengah (pedagang dan pengusaha).
Forum pertemuan antar kelas-kelas (Estate) tersebut disebutJenderal Estate”. Masing-masing estate  memiliki wakil dalam forum Jenderal Estate”. Dalam beberapa hal estate bertindak seperti  partai politik, namun karena raja Perancis adalah  monarki mutlak, maka estate  tidak memiliki kekuatan politik yang nyata sampai tahun 1789.
Pada tahun 1789 krisis besar terjadi di Perancis, Raja Louis XVI (1754 – 1793) tidak memiliki cukup uang untuk menjalankan pemerintahannya.  Raja Perancis memanggil sidangJenderal Estate” untuk secara bersama menemukan cara meningkatkan pendapatan. Sebelum tahun 1789,  Estate I dan Estate II tidak dikenakan pajak, sehingga untuk meningkatkan pendapatan wakil Estate III  mengusulkan :
  • Reformasi pemungutan pajak (Estate I dan Estate II juga akan diharuskan membayar pajak)  ;
  • Melembagakan secara resmi forum Jenderal Estate.
Para wakil Estate I (kaum ningrat) dan Estate II (gereja) menentang usulan wakil Estate III tersebut. Penolakan terhadp usulan tersebut mengakibatkan Estate III kecewa. Kemudian Estate III mengundang semua anggota Estate Jenderal untuk membentuk majelis reformasi. Sejumlah bangsawan dan pendeta pro demokrasi bergabung dengan Estate III membentuk Majelis Nasional.
Penutupan gedung Jacobin
Pembentukan Majelis Nasional menimbulkan konflik yang memicu terjadinya Revolusi (1789–1799). Revolusi tersebut menyebabkan  berakhirnya monarki absolut di Perancis. Majelis Nasional beranggotakan tokoh-tokoh dari sejumlah partai seperti : partai Jacobin (penyokong kuat terbentuknya Republik) ; Girondists (penyokong berahkirnya monarki, tetapi tidak menghendaki Revolusi) ; Cordeliers (suatu club orang-orang kenamaan) dan ; lain-lain.
Perlu pula dikemukakan bahwa pada waktu Majelis Nasional bersidang ; para reformis yang paling radikal (anti monarki) duduk di sisi kiri ruang majelis, sedangkan yang paling konservatif (pro monarki) duduk di sisi kanan. Penamaan "kiri" untuk yang radikal, dan "kanan" untuk yang konservatif  tersebut berlangsung hingga saat ini.

4. Partai Politik di Rusia.
Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia tergolong organisasi partai modern yang pertama-tama ada di Rusia. Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia  adalah partai sosialis revolusioner di Rusia yang dibentuk pada tahun 1898 di Minsk untuk mewadahi beberapa organisasi revolusioner. Partai ini memiliki  2 (dua) fraksi Bolshevik dan Menshevik.
Sebelum Revolusi Rusia tahun 1917, Bolshevik merupakan suatu kelompok radikal pimpinan Vladimir Lenin. Bolshevik menghendaki terjadinya  perubahan pemerintah kekaisaran di Rusia. Pada tahun 1912 fraksi Bolshevik  mendirikan Partai Komunis Rusia.
Kemudian pada tahun 1917, Partai Komunis Rusia (kaum Bolshevik) bersama kaum buruh dan tentara merah mengambil alih kekuasaan di Rusia, yang saat itu dibawah kaisar Nicholas-II-tsar-of-Russia. Dan mendirikan negara sosialis di Rusia ;. negara sosialis pertama di di muka bumi Peristiwa ini dikenal sebagai Revolusi Bolshevik atau Revolusi Rusia.
Pada masa Partai Komunis berkuasa di Rusia hanya partai komunis saja yang ada secara legal,  Rusia (Uni Soviet) menganut sistem satu partai (partai tunggal). Partai politik yang diizinkan hanyalah partai pemerintah, Partai Komunis Rusia ; fihak lain tidak diijinkan ikut serta dalam pemilihan. Uni Soviet—selama pemerintahan Partai Komunis,  menjalankan demokrasi secara tertutup didalam lembaga-lembaga internal Partai Komunis seperti Konggres Partai, Central Comitee Partai, Biro Politik Partai (Polibiro) dll, tidak seperti negara demokrasi barat yang menjalankan demokrasi dalam panggung terbuka. Pada saat ini (abad ke-21) sistem satu partai (partai tunggal) masih dianut a.l oleh China, Cuba, dan Korea Utara.

III.   Partai politik di Amerika Serikat.

Disini diuraikan keadaan partai-partai politik di Amerika Serikat, di mulai sejak Amerika Serikat masih merupakan koloni-koloni Inggris.

1. Keadaan Koloni-koloni Inggris.
Sebelum membahas Partai Politik di Amerika Serikat kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu keadaan koloni-koloni Inggris di benua Amerika bagian Utara—sebelum terbentuknya Amerika Serikat. Seperti diketahui koloni-koloni tersebut telah berdampingan dengan Inggris dalam perang melawan Perancis maupun dalam perang melawan suku-suku Indian di Amerika Utara.
Pada tahun 1673 Perancis kalah dan keluar dari Amerika Utara. Inggris kemudian  mencoba mengendalikan koloni-koloni-nya di Amerika tersebut dengan ketat. Kebijakan kolonial Inggris yang ketat tersebut menyebabkan para  American (kolonist) marah. Koloni-koloni tersebut kemudian ingin bebas dari kendali kekaisaran Inggris.
Di Amerika Utara ada 13 koloni Inggris, tiap koloni memiliki majelis (assembly) sendiri. Anggota majelis adalah para kolonist pendatang dari Eropa khususnya dari Inggris. Kolonist yang ingin tetap berada dibawah kekaisaran Inggris disebut kaum  Tory, dan  yang ingin bebas atau merdeka disebut kaum Whig.
Ketika koloni-koloni mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1776, para kolonist terbagi dalam dua kelompok :
  • Revolusionist atau Patriot adalah para kolonist yang pro kemerdekaan.
  • Loyalis atau Tory adalah para kolonist yang pro Inggris, dan ingin tetap dibawah kekaisaran Inggris.
Sesungguhnya para Patriot terbagi pula dalam dua kelompok : kelompok para pemimpin (orang kaya dan berpendidikan) dan kelompok para pengikut (petani, buruh, dan pemilik usaha kecil). Namun semua Patriot — pemimpin maupun pengikut — keduanya bersatu padu berjuang memenangkan Revolusi, masing-masing kelompok tidak membentuk partai.

2. Partai Politik di Amerika Serikat.
Para pemimpin Revolusi Amerika tidak menyukai gagasan berdirinya partai politik, dan tidak menghendaki pula adanya pertarungan antara partai-partai politik selama revolusi. Hal tersebut tampak dari pernyataan-pernyataan sbb:
  • George Washington (1732 – 1799), dalam suatu “Amanat Perpisahan”, memperingatkan orang-orang Amerika terhadap bahaya "pengelompokan orang" dalam partai ;
  • James Madison (1751 – 1836) berpandangan bahwa pengelompokan orang-orang dalam suatu partai mungkin diperlukan, meskipun ia tidak  menyetujui-nya ;
  • Alexander Halmiton (1755 – 1804) berpandangan bahwa suatu kelompok sebagai wakil dari masyarakat perlu senantiasa diwaspadai ;
  • Thomas Jefferson (1743 – 1826) pada tahun 1789 menyatakan dengan kalimat bersayap "Jika saya tidak dapat ke surga tanpa disertai partai, maka saya lebih baik tidak ke sorga sama sekali.
Namun setelah Revolusi Amerika memperoleh kemenangan—para pemimpin Revolusi tersebut—akhirnya mendirikan dua partai politik besar pertama di Amerika Serikat.
Halmiton dan orang-orang yang sepaham bersatu mendukung adanya pemerintah (Federal) yang kuat. Pada 1787 Halmiton dan kawan-kawan menyebut diri-nya Federalis—pengikut Partai Federal, partai politik pertama di Amerika Serikat. Pengusaha utara, para bankir dan pedagang adalah pendukung  Partai Federal. Partai Federal tersebut  ingin :
  • Pemerintah (Federal)  yang kuat ;
  • Modal dan industri menjadi dasar republik yang sehat ;
  • Industri bayi (infant industry) yang sedang tumbuh di negara baru Amerika Serikat harus dilindungi oleh pemerintah.
Sedangkan dalam urusan politik luar negeri Partai Federal condong ke Inggris.
Sementara itu pada tahun 1796, suatu kelompok orang-orang yang pandangannya terhadap pemerintahan berlawanan dengan pandangan kaum Federalis, berkumpul di sekitar Jefferson dan menyebut diri-nya  Partai Demokratic-Republican. Partai ini menghimpun pengikutnya dari kalangan petani dan orang-orang yang memiliki sedikit kekayaan (property). Partai Demokratic-Republican tersebut ingin :
  • Rakyat diberi kebebasan sebesar-besarnya ;
  • Kekuasaan pemerintah federal dibatasi, dan ;
  • Pemerintah daerah (negara bagian) diberi kekuasaan lebih besar.
Dalam urusan politik luar negeri Partai Demokratic-Republican bersimpati dengan Revolusi Perancis. 
John Adams (1735 – 1826)  — presiden Amerika Serikat kedua (1797–1801), didukung oleh kaum Federalis. Pada tahun 1800, John Adams beralih  pihak ke Jefferson, kemudian lebih kurang selama 20 tahun partai Federal menjadi minoritas.
Sejak tahun 1820 kehidupan politik di Amerika Serikat dipengaruhi oleh perbedaan pendapat yang tajam antar negara-negara bagian, khususnya dalam masalah perbudakan. Negara-negara agraris di selatan dan negara-negara industri di utara memiliki keinginan dan pandangan yang  bertentangan, hal itu akhirnya menyebabkan terjadinya Perang Saudara (Civil War).
Pada tahun 1828, Andrew Jackson (1767 – 1845) terpilih menjadi  Presiden Amerika Serikat ke-7 (1829–1837), Andrew Jackson adalah seorang Demokratic-Republican dari Tennessee ( Southwest Territory ) ;  Jackson mendapat dukungan besar di wilayah Selatan dan Barat, Jackson kemudian mengganti nama partainya menjadi partai Demokrat, langkah Jackson itu ditentang  oleh sebagian anggotanya. Orang-orang demokrat anti Jackson dan ex Federalis bergabung membentuk partai Whig.
Dari tahun 1836 s/d 1852 partai Whig melakukan oposisi  terhadap partai Demokrat, isu utama-nya  adalah ekspansi ke wilayah Barat yang didukung oleh kaum Jacksonian Demokrat.  
Beberapa tahun kemudian (1854), isu  yang marak menjadi perdebatan politik di Amerika Serikat  adalah tentang :
  • Penghapusan perbudakan Negro (sebagai isu utama) dan ;
  • Siapa yang lebih kuasa (menjadi penentu kata akhir), jika terjadi konflikantara negara bagian dengan pemerintah nasional (federal).
Pada saat masih berlangsungnya perdebatan politik di Amerika Serikat, Whig telah kehilangan banyak pemilihnya karena ditinggalkan oleh anggotanya yang bergabung dengan :

  • Gerakan hapusannya perbudakan (Northern Abolitionist) ;
  • Kelompok yang mewakili kepentingan penduduk asli Protestan, kaum anti Katholik Roma, dan orang asing ; partai Know-Nothings.
Partai Whig sedikit demi sedikit hancur bersamaan dengan memuncaknya isu perbudakan dan konflik antara negara bagian dengan pemerintah federal. Sementara  itu  Demokrat juga pecah menjadi Demokrat  Utara dan Demokrat Selatan. Demokrat Selatan adalah pendukung kuat perbudakan dan hak-hak negara bagian.  Ketika  perbudakan dihapuskan dengan paksa, pandangan ekstrem Demokrat Selatan  membawa negara-negara bagian di selatan memisahkan diri.  
Pada tahun 1854 kaum antislavery dan pengikut partai Free Soil (1848–1854)—minor but influential political party in the pre-Civil War period of American history that opposed the extension of slavery into the western territories—membentuk partai Republik. Para mantan Whig yang anti perbudakan (Abolitionists) juga ikut bergabung dengan Partai Republik.  John C Fremont (1813  – 1890) seorang militer-politikus ; pada tahun 1856 dicalonkan oleh Partai Republik sebagai calon presiden (President of the United States), namun tidak berhasil. Pada tahun 1860, Partai Republik — hampir tanpa dukungan Selatan —mencalonkan Abraham Lincoln (1809 – 1865) seorang ahli hukum-politikus. Berkat dukungan mantan anggota Whig yang memiliki semangat antislavery yang kuat, Abraham Lincoln terpilih sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-16 (1861 –  1865) .
Pada tahun 1861 perang-saudara (civil war, 1861 - 1865) tidak dapat dihindari, negara-negara selatan (Konfederasi) kalah. Partai Demokrat yang dianggap sebagai penyebab kekalahan menjadi lemah. Sampai akhir abad ke-19, sikap politik Partai Demokrat adalah mendukung perdagangan bebas, dan mendapat simpati dari petani dan para imigran. Di lain fihak Partai Republik, mendapat dukungan dari pengusaha industri (industrialist), dan menginginkan adanya dinding tarif (custom duties designed to check the flow of imports).

Fraklin D Roosevelt
Sampai tahun 1930-an ; perselisihan antara partai Demokrat dan Republik reda—perbudakan tidak lagi menjadi masalah—kemudian pada saat itu depresi (Great Depression) melanda Amerika Serikat. Pada pemilihan presiden tahun 1932, Franklin D. Roosevelt (Partai Demokrat) terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-32 (1933–1945). Demokrat berpendapat bahwa pemerintah federal harus  membantu orang-orang yang menderita karena Depresi. Dengan New Deal-nya Roosevelt          (a series of domestic economic programs enacted in the United States between 1933 and 1936 ; Relief, Recovery, and Reform), pemerintah Amerika Serikat melakukan langkah-langkah: memberi jaminan sosial (social security), meringankan beban ekonomi masyarakat, dan membantu serikat pekerja (union). Dilain pihak, Republik menganggap pemerintah telah mengambil kekuasaan terlalu banyak, dan  bergerak menuju negara kesejahteraan (welfare state). Republik menentang usaha campur tangan pemerintah yang dianggapnya berlebihan.
Namun akhirnya secara umum kedua belah pihak (partai Demokrat dan Republik) sepakat tentang :
  •  Jaminan sosial ;
  • Asuransi pengangguran ;
  • Kebijakan dasar luar negeri, dan ;
  • Hak-hak sipil.
Hal-hal yang belum dapat disepakati bersama antara lain adalah cara menggulangi masalah-masalah ekonomi cq. inflasi, pengangguran, berkurangnya pasokan energi, dan kerusakan lingkungan karena polusi industri.
Partai Republik cenderung menolak pengeluaran (dana) serta regulasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Namun Partai Demokrat percaya bahwa pengeluaran pemerintah dan regulasi dapat memberi hasil yang baik. 
Seperti telah dijelaskan, Amerika Serikat menganut sistem dua partai. Partai-partai lain (third parties) sebagai faktor penyeimbang (memberi alternatip) pernah dikembangkan, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik dan kuat. Pada abad ke-19  kaum populis aktip mengajukan alternatip kebijakan untuk mengimbangi kebijakan-kebijakan publik yang diajukan oleh partai Demokrat dan Republik, selain kaum populis tumbuh pula partai-partai yang berhaluan sosialisme seperti Socialist Party, Socialist Labor Party, dan Farmer-Labor Party. Partai-partai (third Parties) tersebut dibentuk oleh orang-orang yang merasa bahwa partai-partai besar tidak cukup mengekspresikan pandangan mereka.
Keberadaan penyeimbang (partai kaum populis dan sosialist)  pernah mewarnai kehidupan politik di Amerika Serikat, seperti misalnya :
  • Pengaruh kaum sosialis mencapai puncaknya di sekitar tahun 1930 ; Socialist Party ikut dalam pemilu lokal maupun pemilu nasional, dan memperoleh hasil dua orang terpilih sebagai United States Representative (Victor L. Berger and Meyer London), puluhan terpilih sebagai State Legislator, lebih dari seratus terpilih sebagai Mayor, dan tak terhitung pejabat yang lebih rendah. Dan pada saat  mencalonkan Eugene V. Debs ( the Socialist Party candidate for US America President five times between  1900 and 1920) pernah mendapat lebih dari 900,000 suara. Disamping itu  banyak dari ide-ide socialisme yang diadopsi oleh partai-partai besar.
  • Sayap progresif yang memisahkan diri dari Partai Republik pada tahun 1912, menyebabkan terbentuknya partai ketiga "Bull Moose." (US Progressive Party). US Progressive Party ini ikut dalam sejumlah pemilihan a.l  mencalonkan Theodore Roosevelt sebagai kandidat presiden. Calon-calon US Progressive Party ada yang terpilih sebagai senator, tapi tidak ada yang terpilih sebagai presiden. US Progressive Party tersebut hidup sampai tahun 1920-an, dibawah kepemimpinan La Follette dari Wisconsin. Sikap politik US Progressive Party adalah menentang monopoli bisnis besar, mendukung kepentingan petani dan pekerja ; dapat dikatakan sama dengan kaum sosialis
Pada umumnya Third Parties  memiliki pengikut yang jumlahnya relatip kecil, dan tujuan yang ingin dicapainya sering telah dapat terpenuhi dengan mendukung partai-partai besar. Third Parties di Amerika Serikat  ternyata tidak tumbuh.
Setelah Perang Dunia II, isu hak negara dan hak sipil Negro kembali menimbulkan perpecahan di internal partai-partai besar. Perpecahan itu tidak berlanjut, karena kelompok ekstrem militan yang menyebabkan perpecahan relatip kecil pendukungnya. Demokrat dan Republik tampak mampu mengatasi perpecahan dengan cukup baik.  Harry S. Truman (1884 – 1972), seorang Demokrat — terlepas dari perpecahan —  memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat ke-33 pada tahun 1945.
Setelah presiden Harry S. Truman sebagai Presiden Amerika Serikat ke-33 dari Partai Demokrat, maka sampai saat ini ada 11 orang presiden semuanya dari partai Demokrat atau dari partai Republik. Berturut turut nama-nama mereka adalah seperti berikut ini : Dwight Eisenhower (1890-1969) dari Partai Republik, John Kennedy (1917-1983) dari Partai Demokrat, Lyndon Johnson (1908-1973) dari Partai Demokrat, Richard Nixon (1913-1994) dari Partai Republik, Gerald Ford (1913-2006) dari Partai Republik, Jimmy Carter (lahir 1924) dari Partai Demokrat, Ronald Reagan (1911-2004) dari Partai Republik, George HW Bush ( lahir 1924) dari Partai Republik, Bill Clinton ( lahir 1924) dari Partai Demokrat, George W Bush ( lahir 1946) dari Partai Republik, dan Barack Obama ( lahir 1964) dari Partai Demokrat.
Seperti diketahui partai politik di Amerika Serikat ada di tingkat nasional dan ada ditingkat lokal (negara bagian). Empat tahun sekali partai  menyelenggarakan konvensi nasional (national convention). Delegasi peserta konvensi nasional dipilih lebih dahulu dalam konvensi partai di tingkat negara bagian atau dalam pertemuan  lokal partai (grassroot level). Para delegasi mencalonkan presiden dan calon wakil presiden dalam konvensi nasional.
Dalam konvensi nasional—selain mencalonkan presiden dan calon      wakil presiden, masing-masing partai menyusun rancangan plat-form, plat-form adalah pernyataan tentang apa diinginkan oleh partai atau garis-garis besar langkah partai kedepan. Partai yang menang  menggunakan plat-form tersebut untuk membimbing langkah para pejabat partai yang terpilih dalam menjalankan tugasnya di pemerintahan nasional (federal) maupun di pemerintahan negara bagian (state) .
Partai di Amerika Serikat sehari-hari dijalankan oleh komite daerah      dan komite negara. Anggota komite daerah dipilih oleh konvensi partai   di tingkat negara bagian, atau ditunjuk oleh pertemuan tertutup partai. Komite nasional, terdiri dari satu pria dan satu wanita dari 50 negara dan wilayah, jadi untuk masing-masing partai jumlahnya 100 orang. Undang-undang negara bagian dan undang-undang federal mengontrol keuangan partai a.l bagaimana cara partai politik mengumpulkan dan menggunakan uang yang dapat dikumpulkannya tersebut.
Seperti diketahui partai-partai di Amerika Serikat  pada waktu ini telah menggunakan peralatan yang canggih seperti komputer antara lain digunakan untuk :
  • Menyusun daftar calon pendukung ;
  • Melakukan jajak pendapat atau pandangan publik tentang partai dan   kandidat partai, dan ;
  • Mengeksplorasi pandangan pemilih tentang isu-isu tertentu.
Disamping itu  partai dapat juga memiliki kelompok dengan tugas  khusus seperti :
  • Mengumpulkan uang(dana) guna kepentingan partai ;
  • Mencari pendukung/pemilih kandidat partai ;
  • Menumbuhkan pengaruh partai ke masyarakat (mis ; menyebar-luaskan plat-form).
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, maka koran, radio, dan televisi menjadi sangat penting untuk mempengaruhi pendapat publik (propaganda) dalam pemilihan umum modern. Partai-partai politik menggunakan iklan untuk membentuk opini, bersaing mendapatkan liputan media cetak dan/atau media electronik yang menguntungkan bagi kandidat-kadindatnya.
Menurut para  ahli, bahwa untuk dapat memenangkan suatu pemilihan—khususnya di Amerika Serikat, seorang calon (kandidat)  harus :
  • Melakukan prediksi terhadap hasil pemilihan yang akan diikutinya (mis : dengan polling, survey dll) ;
  • Tampil di TV (mis : dalam debat, menjelaskan pandangannya, bertemu calon pemilih. dan lain-lain) dan ;
  • Mengemas dan menjual seperti halnya produk dalam sebuah bisnis, membangun citra (image building) dll.
Propaganda seperti tersebut diatas, kini tidak hanya dilakukan di Amerika Serikat, tetapi juga di negara-negara lain.

IV.     Partai politik di Indonesia.

Disini diuraikan keadaan partai-partai politik di Indonesia, dimulai sejak Indonesia masih merupakan tanah jajahan Kerajaan Belanda—jauh  sebelum proklamasi 17 Agustus ’45.  

1. Keadaan Indonesia sebelum Proklamasi ‘45
Sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia (Hindia-Belanda)   selama berabad-abad merupakan tanah jajahan (koloni) kerajaan Belanda.  Selama Perang Dunia II (1942 – 1945), Hindia-Belanda di duduki oleh balatentara Jepang.
Dokter Wahidin Sudirohusodo
Pada awal abad ke-20 penduduk pribumi Hindia-Belanda mulai banyak yang telah berpendidikan.  Dokter Sutomo dan mahasiswa-mahasiswa sekolah dokter (Stovia) Gunawan Mangunkusumo dan Suradji, pada tanggal 20 Mei 1908 mendirikan Budi Utomo—gagasan Dokter Wahidin Sudirohusodo. Budi Utomo semula ditujukan bagi orang-orang Jawa yang berpendidikan, Budi Utomo  adalah organisasi sosial, ekonomi, dan budaya, dan bukan organisasi politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan pribumi yang bertujuan mencapai  Indonesia merdeka,
Beberapa tahun sebelum lahirnya Budi Utomo—pada tahun 1905, Haji Samanhudi merintis berdirinya organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Tujuan SDI adalah menghimpun para pedagang pribumi muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang keturunan China. Seperti diketahui pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Hindia-Belanda dalam kelompok pribumi (Inlanders); keturunan China, India, Arab (Vreemde Oosterlingen); dan Eropa. Pengelompokan tersebut menjebabkan diskriminasi  dibidang ekonomi dan dibidang-bidang lain. Setelah berjalan beberapa tahun, pada tahun 1912 SDI diubah oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam (SI). Kemudian SI juga bergerak di bidang politik  dan berkembang dengan pesat.
Kemenangan Revolusi Rusia pada tahun 1917 menyebabkan faham sosialisme revolusioner (Marxisme) menyebar ke seluruh dunia, dan masuk ke Indonesia dibawa  oleh seorang Belanda  (H.J.F.M. Sneevliet). Kemudian faham sosialisme revolusioner tersebut menyusup ke organisasi Sarekat Islam (SI), dan berhasil mempengaruhi  tokoh-tokoh muda SI seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin. Hal itu menyebabkan SI pecah menjadi : "SI Putih", dan "SI Merah".
Setelah perpecahan, SI Putih yang berhaluan kanan  dipimpin antara lain oleh H. Agus Salim berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah yang berhaluan kiri dipimpin antara lain oleh Semaun berpusat di kota Semarang. Sementara itu HOS Tjokroaminoto pada awalnya menjadi penengah di antara kedua kubu tersebut.
Pada tahun 1929, SI Putih menjadi PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia). Karena keragaman cara pandang para  anggota-nya, PSII pecah menjadi Partai Islam Indonesia pimpinan Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII pimpinan HOS Tjokroaminoto. SI Merah pada tahun 1924 menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).
Keberadaan Budi Utomo telah mengilhami berdirinya  Indische Partij (IP) atau Partai Hindia. Indische Partij  adalah pengganti Indische Bond yaitu organisasi orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia. Partai Hindia dianggap sebagai organisasi politik pertama di Hindia Belanda (Indonesia), dan perintis nasionalisme Indonesia. Partai Hindia didirikan oleh Douwes Dekker, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat berumur pendek 1912 – 1913. Partai Hindia menginspirasi berdirinya organisasi-organisasi  seperti Nationaal Indische Party (NIP) atau Sarekat Hindia (1919), dan Indo Europeesch Verbond (1919). Dapat dikemukakan pula bahwa penerus langsung Indische Partij adalah Partai Politik Insulinde.
Disamping itu keberadaan Budi Utomo juga mengilhami berdirinya organisasi yang bersifat kesukuan atau kedaerahan seperti Jong Java (1915), Sumatranen Bond (1917), Sekar Rukun (1919), dan lain-lain. Selanjutnya perkumpulan- perkumpulan tersebut menjadi pelopor konggres pemuda  yang mencetuskan “SUMPAH PEMUDA” pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Pada tahun 1927 ; Partai Nasional Indonesia didirikan oleh para tokoh nasionalis seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo di Bandung. Para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini. Dalam dinamikanya, pada tahun 1931      PNI pecah menjadi Partindo (Sartono SH) dan PNI Baru (Moh Hatta) ;  kemudian diikuti dengan berdirinya Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia Raya) tahun 1937, dan Partai Persatuan Indonesia tahun 1939.
Tumbuhnya partai-partai politik di negara-negara terjajah seperti di Indonesia tersebut, tidak terlepas dari kesadaran warganya (pribumi) atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh negara-negara kolonialis terhadap koloni-koloninya. 

Disamping itu juga karena pengaruh peristiwa-peristiwa di luar Indonesia seperti:
  • peristiwa kemenangan Jepang pada perang Rusia-Jepang (1905) memperebutkan Manchuria dan Korea. Hal itu membangkitkan rasa percaya diri orang-orang kulit berwarna ;
  • peristiwa konflik antara negara-negara kolonialis di Eropa menjelang Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Hal itu menyebabkan berkurangnya kekuatan kaum kolonialis ;
  • peristiwa kemenangan kaum sosialis (bolshevik) dalam revolusi Rusia 1917. Hal itu mengakibatkan menyebarnya faham sosialisme ke seluruh dunia ;
Berdirinya partai-partai politik seperti : PSII, PKI, PNI ; organisasi  keagamaan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama ; organisasi pendidikan dan pemuda seperti Tamansiswa, Jong Java, Sumatranen Bond, Sekar Rukun dan lain-lain dll—menunjukkan  meningkatnya semangat nasionalisme dan kehendak merdeka di kalangan pribumi. Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat mengabaikan meningkatnya semangat nasionalisme dan kehendak merdeka tersebut. Menghadapi hal  itu  pemerintah Hindia Belanda melakukan langkah-langkah sbb:
  • Mengaktipkan dinas intelejen ; meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas partai politik seperti rapat-rapat, pidato, dan tulisan  a.l mengakibatkan dipenjaranya tokoh-tokoh partai seperti Iwa Kusumasumantri (1927), Moh Hatta (1927), Sukarno (1930)  dll ;
  • Memberi wadah legal bagi berkiprahnya partai-partai politik dan organisasi-organisasi pribumi  a.l dengan dibentuknya Volkraad (People's Council) Hindia Belanda pada tahun 1930.
Volkraad ini adalah untuk menyalurkan aspirasi pribumi (masyarakat Indonesia) dan juga memonitor aktivitas politik-nya. Namun tindakan itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat. Balatentara Jepang menduduki Hindia Belanda, sebelum Volkraad berfungsi seperti yang diharapkan.
Selelah balatentara Jepang menduduki Hindia Belanda (1942 – 1945),  Jepang mengeluarkan peraturan : melarang rapat-rapat dan kegiatan-kegiatan politik ; membubarkan perkumpulan-perkumpulan, kecuali perkumpulan non politik (olah raga, kesenian, koperasi dll). Untuk menarik hati umat Islam,  Majelis Islam Indonesia (1943) dihidupkan kembali dengan nama Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masyumi).   Jepang juga me-propaganda-kan adanya gerakan  3 A (Nippon pelindung Asia, cahaya Asia, peminpin Asia) dipimpin oleh Samsudin SH, dan barisan Pemuda Asia Raya dibawah Sukardjo Wiryopranoto.
Secara keseluruhan gerakan rakyat selama masa penduduk Jepang di Indonesia dapat dibagi menjadi :
  • Gerakan Legal :
    • Gerakan Tiga A dipimpin oleh Mr Samsoedin ;
    • Jawa Hokokai;
    • Gempar (Gemblengan Pemuda Asia Raya) ;
    • Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin oleh Sukarno, Moh Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mansyur (4 serangkai) ;
    • Lain-lain seperti persatuan olah raga.
  • Gerakan Ilegal :
    • Kelompok Sutan Sjahrir (Mis : Hatta, Sudarsono, dan Hamdani) ;
    • Kelompok Sukarni (mis : Adam Malik, Pandu Karta Wiguna, dan Maruto Nitimihardjo) ;
    • Kelompok Kaigun (mis :  Wikana, A. Subardjo dan Sudiro) ;
    • Kelompok Pelajar (mis ; Khairul Saleh, Subadio Sastrosatomo dan E.Sudewo). (lihat pula ; Ngunandiko.4 “Gerakan Bawah Tanah).
Para aktivis gerakan ilegal (underground) inilah yang kemudian mempersiapkan  Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.

2. Partai Politik di Indonesia.
Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan  disahkannya  UUD RI 1945 pada 18 Agustus 1945 , maka dibentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 29 Agustus 1945. KNIP adalah Badan Pembantu Presiden, anggotaannya adalah pemuka-pemuka masyarakat mewakili golongan dan daerah. Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja (BP KNIP), anggotaannya dipilih dari kalangan anggota KNIP.  BP KNIP untuk pertama kali diketuai oleh St Syahrir dan salah satu Sekretaris BP KNIP adalah Adam Malik.
Pada 3 Nopember 1945 pemerintah menerbitkan  Maklumat Pemerintah RI no. X yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Moh Hatta ; isinya menganjurkan berdirinya organisasi-organisasi tanpa pembatasan apapun. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh berbagai kalangan, sehingga partai politik dan organisasi   tumbuh seperti jamur dimusim hujan.
Pembentukan KNIP tersebut adalah menyimpang dari semangat UUD’45. Dan pembentukan partai politik—akibat Maklumat Pemerintah RI no. X,  pada awal revolusi tersebut ditentang oleh Tan Malaka. Sikap Tan Malaka tersebut adalah seperti sikap  George Washington dan Thomas Jefferson pada saat awal revolusi Amerika Serikat  (1775 –1783), keberadaan banyak partai politik akan memperlemah persatuan rakyat yang sangat diperlukan untuk memenangkan revolusi.
Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu  (Amerika Serikat, Inggris dkk), menyebabkan Perang Dunia II berakhir. Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta memproklamirkan berdirinya Republik Indonesia. Dengan berakhirnya Perang Dunia II,  Inggris bertanggung jawab menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Pada 15 September 1945,  Inggris datang  ke Indonesia untuk membebaskan tawanan dan melucuti senjata tentara Jepang. Kedatangan Inggris tersebut diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration), hal ini menyebabkan terjadinya konflik Belanda - Indonesia (yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945). Konflik Belanda – Indonesia tersebut tidak dapat dihindari menjadi konflik bersenjata.

Gedung Agung Yogykarta
(Istana Presiden RI di Yogya)
Karena adanya serangan pasukan Belanda terhadap fasilitas-fasilitas Jakarta sebagai ibukota RI (Republik Indonesia), maka pada 4 Januari 1946 kedudukan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh Hatta serta pejabat-pejabat lainnya kemudian menjalankan pemerintahan RI juga dari Yogyakarta.
Inggris (Sir Archibald Clark Kerr) menganjurkan perundingan untuk memecahkan konflik bersenjata tersebut, maka berlangsung  perundingan Linggarjati di Jawa Baraat. Hasil perundingan “Perjanjian Linggarjati” ditandatangani oleh fihak Belanda dan Indonesia pada tanggal 15 November 1946 di Jakarta. Partai-partai politik seperti     Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Rakyat Indonesia, Partai Rakyat Jelata dan lain-lain menolak “Perjanjian Linggarjati” tersebut, karena merugikan Indonesia.
Perjanjian Linggarjati — dengan alasan sepihak — dilanggar oleh Belanda.  Belanda menyerbu Indonesia (Agresi Militer Belanda I) pada 21 Juli 1947.. Campur tangan internasional—Dewan Keramanan (DK-PPB), menyebabkan diadakan-nya perundingan antara Indonesia dengan Belanda  di kapal perang Amerika Serikat—USS Renville, di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 ditengah oleh Komisi Tiga Negara (KTN)—Committee of Good Offices for Indonesia, terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perundingan tersebut menghasilkan “Perjanjian Renville” yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian Renville tersebut kembali merugikan Indonesia.
Taktik pemerintahan St Syahrir berunding dengan Belanda—tanpa Belanda mengakui terlebih dahuhu eksistensi Republik Indonesia (Republik Proklamasi ’45)—dipandang sangat lemah dan merugikan Indonesia. Persatuan Perjuangan menentang kebijakan berunding pemerintahan St Syahrir tersebut. Persatuan Perjuangan adalah  organisasi  yang dipelopori oleh Tan Malaka, dibentuk di Purwokerto awal tahun 1946,  serta didukung oleh 141 organisasi politik, laskar, dan partai politik seperti Masyumi dan PNI.
Perjanjian Renvillei juga dilanggar oleh Belanda, Belanda melakukan  Agresi Militer II  tanggal 19 Desember 1948. Belanda berhasil : menduduki ibukota RI  (Yogyakarta) ;  menahan Presiden RI (Sukarno) dan Wakil Presiden Ri (Moh Hatta) ; serta  menduduki  hampir seluruh wilayah Indonesia lainnya. Agresi Militer Belanda II ini hampir melenyapkan Republik Indonesia dari muka bumi.
Berkat perlawanan TNI (Jend Sudirman), dan pemerintahan sementara RI di Sumatra (Syafrudin Prawiranegara) yang didukung oleh segenap rakyat Indonesia, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Pada 7 Mei 1949  ditanda tangani Perjanjian Roem-Roijen, yang dimaksudkan untuk mengantar perundingan Belanda - Indonesia di Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Tentara Belanda pada 9 Juni 1949 meninggalkan Yogyakarta. Sikap pemerintah Republik Indonesia yang lembek dalam Konperensi Meja Bundar di Den Haag (ibukota kerajaan Belanda) dari 23 Agustus    s/d 2 November 1949 menyebabkan terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1945. Republik Indonesia menjadi negara bagian dari RIS, dan sederajat dengan -negara boneka NIT (Negara Indonesia Timur), Negara Jawa Timur, Negara Pasundan dan lain-lain. Namun berkat perjuangan yang gigih dari rakyat diseluruh pelosok Indonesia yang menuntut pembubaraan RIS, maka pada 17 Agustus 1950 Republik Indonesia eksis kembali (tanpa Irian Barat), dan RIS (Republik Indonesia Serikat) bubar.

(1)       Partai politik pada Pemilihan Umum 1955.
Seperti diketahui undang-undang dasar sementara (UUDS 1950) diberlakukan sejak 17 Agustus tahun 1950. Hal itu menimbulkan isu politik mengenai urgensi membentuk Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI)—bukan sementara, menggantikan UUDS RI 1950 tersebut. Menanggapi isu tersebut, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Partai Masyumi) menyelenggrakan pemilihan umum pada tahun 1955. Pemilu 1955 tersebut dibagi menjadi dua tahap :
  • Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR (29  September 1955) dan ;
  • Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante (15  Desember 1955). 
Konstituante tersebut dimaksudkan untuk merumuskan Undang-undang Dasar Republik Indonesia menggantikan UUDS RI 1950.
Pemilu 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan individu, jumlah yang diperebutkan adalah 260 kursi DPR, dan jumlah 520 kursi Konstituante  (dua kali lipat kursi DPR). Adapun hasil Pemilu 1955 dapat digambarkan sbb:
  • Lima besar Pemilu 1955 ini adalah : Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen) ; Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen) ; Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen) ; Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen) ; dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen) ;
  • Partai-partai yang mendapat kursi di bawah 10 adalah :  PSII (8) ; Parkindo (8), Partai Katolik (6) ; Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti) ; Enam partai mendapat 2 kursi  (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPP:RI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi.stituante tersebut dimaksudkan untuk merumuskan Undang-undang Dasar 
  • Hasil Pemilu 1955 tersebut menunjukkan jumlah partai politik di Indonesia sangat banyak (hampir 30 partai),  dan tidak ada satupun partai politik yang memperoleh 50 % suara. Hal itu menyebabkan :
    • Sidang-sidang Konstituante  menjadi berkepanjangan dan tanpa suatu keputusan, karena perbedaan pandangan yang tidak dapat dipertemukan  antara partai yang menghendaki Pancasila (nasionalisme) dan partai yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.
    • Kabinet sering berganti-ganti, karena sukar membentuk koalisi partai pendukung pemerintah di DPR yang kuat dan permanen.
Partai Murba mengusulkan jalan tengah dengan mengusulkan  penggunaan kembali UUD RI 1945—18 - !945 ditolak, dan dipandang kuno. Konstituante telah gagal menyusun Undang-Undang Dasar Negara (yang baru) pengganti UUDS 1950 , karena qorum untuk mengambil suatu keputusan tidak pernah tercapai.
Keadaan dimana konstituante gagal menyusun Undang-Undang Dasar Negara, serta kabinet sering berganti-ganti  menyebabkan  tokoh-tokoh  Angkatan Darat (mis : Jend. AH. Nasution) dan Angkatan ’45 (mis : Sukarni) mendorong Presiden Sukarno  mengeluarkan “Dekrit” guna mengatasi hal itu.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno memutuskan  untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu pada dasarnya : memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945—18 Agustus 1945 ; membubarkan DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan masing-masing diganti dengan DPR-GR (Gotong-Royong) dan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Sebagai tindak-lanjut (follow up) Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut dilakukan pula penyederhanaan partai-partai politik. Berdasarkan Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 ditetapkan hal-hal seperti :
  • Partai adalah organisasi golongan rakyat berdasarkan persamaan kehendak di dalam Negara untuk memperjuangkan bersama-sama tercapainya tujuan rakyat yang tersusun dalam bentuk Negara ;
  • Anggaran dasar partai harus menegaskan bahwa partai menerima dan mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ;
  • Program kerja partai harus berdasarkan MANIPOL yang telah ditetapkan menjadi haluan negara.  Dapat dijelaskan bahwa MANIPOL adalah singkatan dari Manifesto Politik,  yang intinya adalah : Undang-Undang Dasar 1945 ;  Sosialisme Indonesia ; Demokrasi Terpimpin ; Ekonomi Terpimpin ; dan Kepribadian Indonesia.
Disamping itu dalam Anggaran Dasar itu harus ada ketentuan bahwa partai  yang bersangkutan harus mencantumkan:
  •  Organisasi-organisasi yang berada dibawah perlindungan atau  naungan partai ;
  •  Pernyataan bahwa partai dalam perjuangannya akan menggunakan jalan damai dan demokratis.
Presiden juga mencanangkan apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin, dimana Presiden (Sukarno) berhak : mengawasi secara preventip maupun represip kegiatan partai; memeriksa tatausaha dan harta milik partai ; melarang dan membubarkan partai ; dan lain-lain.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, partai politik yang diakui oleh pemerintah adalah : 1. PNI; 2. PKI; 3. NU; 4. PSII; 5.Perti; 6. Partai Katolik; 7. Parkindo; 8. Murba; 9. Partindo; dan 10. IPKI. Kiranya perlu pula dikemukakan bahwa PSI dan MASJUMI dinyatakan sebagai partai terlarang karena terlibat pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan PERMESTA (Piagam Perjuangan Semesta); serta  sejak 1- 6 - 1965 MURBA  (termasuk lembaga-lembaga dibawahnya) dibekukan sementara karena diduga akan menggulingkan pemerintahan Sukarno.
Berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959 dibentuk Front Nasional. Front Nasional merupakan sebuah gabungan organisasi-organisasi  massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan dan menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno dan seorang Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
Front Nasional—dalam banyak hal—didominasi oleh pandangan PKI yang pro komunis China. Angkatan Darat dan sejumlah organisasi massa yang berlandaskan kekaryaan pada 20 Oktober 1964  membentuk sekretariat bersama Golongan Karya (SekBer Golkar).  SekBer Golkar plus kekaryaan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kemudian menjadi Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan sosial politik mendampingi partai-partai politik anti PKI (komunisme).
Ada 3 (tiga) isu politik yang menonjol di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959  sbb:
  • Melaksanakan Pembangunan ;  Sesuai Tap MPRS No.II Tahun 1960, maka pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun  : 1961 - 1969 mulai dilaksanakan.
  • Mengembalikan Irian Barat ; Indonesia melancarkan operasi MANDALA untuk merebut Irian Barat dipimpin Jend Suharto. Sementara itu melalui diplomasi yang panjang pada tahun 1962 ditanda tangani perjanjian Indonesia – Belanda, yang prinsipnya Irian Barat kembali ke Republik Indonesia, namun Indonesia (1969) harus menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) mengenai Irian Barat. Hasil Pepera ; Irian Barat menjadi bagian Republik Indonesia.
  • Menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia.
Isu-isu politik tersebut berada pada keadaan dunia internasional yang sedang dilanda perang-dingin antara blok Amerika Serikat dan blok Uni Soviet, disamping itu terjadi konflik ideologi antara komunis Rusia dan komunis China. Isu “Menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia” itu menimbulkan :
  • konfrontasi Indonesia dengan Malaysia ;
  • poros Jakarta – Peking - Pyongyang.
Indonesia — Sukarno — berusaha mengerahkan segenap kekuatan politik yang ada di DPR-GR, di Front Nasional, dan di forum-forum lain guna penyelesaian isu “Menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia” ; namun gagal. Peristiwa kudeta G30S-PKI pada 1 Oktober 1965, 7 jenderal TNI AD terbunuh ; sebelum Revolusi Nasional Indonesia selesai.
Peristiwa kudeta G30S-PKI menyebabkan PKI jatuh dari kedudukannya yang terkemuka. PKI sejak 1 Oktober 1965 hilang dari permukaan, dan  pada 12 Maret 1966 — berdasar surat perintah Presiden Sukarno, SP 11 Maret 1966 — dinyatakan sebagai partai terlarang. Partai-partai lain a.l PNI juga mengalami perpecahan internal selama beberapa waktu, sebagai dampak G30S-PKI.
Peristiwa kudeta G30S-PKI  secara tidak langsung juga menyebabkan lengsernya Sukarno. Sejumlah kalangan anti komunis dan mahasiswa didukung oleh TNI Angkatan Darat menginginkan  pembubaran PKI. Mahasiswa secara terus-menerus melakukan demonstrasi menuntut agar Sukarno membubarkan PKI. Namun karena PKI tidak kunjung dibubarkan, maka kemudian para demonstran juga menuntut agar Sukarno lengser.  Sukarno akhirnya lengser dan kekuasaannya diserahkan kepada Jend Suharto. Setelah Sukarno lengser pada 1967 ; Front Nasional di bubarkan oleh Suharto ; Golkar tetap dipertahankan bahkan diperkuat,  karena Suharto tidak mempercayai sikap partai-partai politik. Undang-Undang Dasar 1945—18 Agustus 1945 tetap diberlakukan. Berdasar ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966, Pemerintah bersama-sama dengan DPRGR mengatur kepartaian, keormasan, dan kekaryaan  menuju pada penyederhanaan.
Untuk mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat, maka pemerintahan Suharto—Orde Baru menyelenggarakan pemilihan umum pada tahun 1971. Dapat dikemukakan disini bahwa secara keseluruhan Pemilihan Umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 10 kali yaitu tahun 1955, kemudian tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan berdasar UUDS RI 1950.

(2)        Partai politik pada Pemilihan Umum 1971.
Setelah Sukarno lengser pada 1967, Suharto menjadi Pejabat Presiden RI (1967 – 1968).  Sidang Umum MPRS Maret 1968 (SU MPRS 1968)  mengukuhkan Suharto sebagai Presiden RI, sampai dengan terpilihnya Presiden RI hasil pemilihan umum (Pemilu). Pengukuhan Suharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden RI pada tahun 1968 tersebut adalah pada tanggal  11 Maret dan pelantikannya  pada 27 Maret 1968. Lebih-kurang 3 (tiga) tahun kemudian 5 Juli 1971, Suharto menyelenggarakan Pemilu 1971.
Pemilu 1971 ini adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peserta Pemilu 1971 tersebut adalah 9 (sembilan) partai politik dan 1 (satu) organisasi masyarakat (Golkar) sbb : 1.Partai Katolik, 2. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), 3. Partai Nahdlatul Ulama (NU), 4. Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), 5. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 6. Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), 7. Partai Nasional Indonesia (PNI), 8. Partai Islam (Perti), 9. Partai Pendukung Kemerdekaan Indonersia (IPKI), dan 10 . Golongan Karya (Golkar). Calon-calon peserta Pemilu 1971 diseleksi terlebih dahulu, sejumlah calon dari PNI, NU, dan Parmusi yang tidak lolos. Pemilu 1971 ini dikenal sebagai pemilu pertama pada masa Orde Baru.
Pemenang Pemilu 1971 adalah Golkar, dikuti oleh PNI dan NU. Di beberapa tempat telah terjadi bentrokan antara para pendukung peserta pemilu (a.l Golkar dengan NU di Jawa Timur) sewaktu mereka melakukan kampanye. Kampanye pemilu dilakukan dengan pemasangan poster, penyebaran pamlet, mengumpulkan massa di lapangan, pawai massa di jalan-jalan dsb.
Dari hasil Pemilu 1971 tersebut terbentuk Lembaga-lembaga Tertinggi/Tinggi Negara : MPR, DPR, MA, BPK, dan DPA menurut UUD 1945—18 Agustus 1945 ;  lembaga-lembaga tersebut kini tidak lagi menyandang predikat sementara. DPR beranggotakan 360 orang hasil Pemilu 1971, sementara itu MPR beranggotakan  anggota DPR  ditambah dengan Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang ditunjuk (75 ABRI dan 25 non ABRI). Sidang Umum MPR tahun 1973 menunjuk  Suharto sebagai Presiden RI periode 1973 - 1978, pada waktu itu Ketua MPR adalah Idham Chalid dari partai NU.

(3)       Partai politik pada Pemilihan Umum 1977, 1982, 1987, 1992, dan   1997.
Suharto—sebagai Presiden RI—telah menyelenggarakan pemilihan Pemilu 1971, yang diikuti oleh 9 partai politik dan golongan karya (Golkar).  Suharto memandang bahwa jumlah 9 (sembilan) partai politik yang ada pada waktu itu terlalu banyak ; Suharto juga berpendapat bahwa kehidupan ekonomi, ketertiban, dan keamanan masyarakat masih harus ditingkatkan.
Isu politik utama pada masa setelah satu dasa warsa pemberontakan G30S-PKI tahun 1965 adalah :
  • Penataan sistem politik khususnya partai-partai ;
  • Peningkatan kehidupan ekonomi ;
  • Peningkatan ketertiban dan keamanan.
Bermodalkan jasa-jasanya dalam menertibkan dan mengamankan keadaan setelah pemberontakan G30S-PKI, serta mandat yang diperolehnya setelah Pemilu 1971 ; maka Suharto melakukan penataan sistem politik dengan menyederhanakan jumlah partai politik di Indonesia.
Pada tahun 1973 ;  Parmusi, Partai NU dan partai Islam lainnya digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ; dan PNI, Murba, Parkindo, Partai Katolik digabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian jumlah partai politik yang semula 10 partai menjadi hanya 3 partai politik  ; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ditambah dengan Golongan Karya (Golkar). Melalui Golongan Karya (Golkar) dan ABRI ; Suharto setapak demi setapak dapat mendominasi  eksekutip (birokrasi pemerintahan) dan lembaga-lembaga seperti MPR, DPR dan lain-lain. Praktis seluruh penyelenggaraan negara berada dalam tangan Suharto seorang diri, tanpa ada yang dapat melakukan koreksi secara berarti. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) aktivitas politiknya juga  berada dibawah kendali Suharto.
Suharto sebagai Presiden RI menyelenggarakan pemilihan umum tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Terhitung dari tahun 1972 secara berturut-turut (6 kali) Suharto diangkat sebagai Presiden RI oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Pada masa jabatan yang terakhir (1998 – 2003), Suharto mengundurkan diri sebelum masa jabatan-nya berakhir. Pemerintahan Suharto selama lebih dari 30 tahun lazim disebut sebagai pemerintahan Orde Baru. Pada dekade pertama pemerintahan Orde Baru, perekonomian Indonesia  tumbuh sangat mengesankan. Namun  pada dekade terakhir pemerintahannya muncul isu-isu politik yang negatip sbb :
  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia disertai dengan membengkaknya hutang luar negeri ;
  •  Beroperasinya modal asing beroperasi di segala sektor kegiatan ekonomi, tanpa memberi dampak yang berarti bagi rakyat ;
  • Praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ;
Isu-isu tersebut khususnya isu praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menimbulkan tekanan terhadap pemerintah Orde Baru, terutama dari pemuda dan mahasiswa yang menghendaki adanya reformasi. Golkar dan ABRI, pendukung utama Suharto, tidak mampu menangkal isu-isu tersebut. Suharto dalam pertemuan-nya dengan tokoh-tokoh masyarakat (mis : GusDur, Nurcholish Majid, KH Alie Yafie, Prof Malik Fajar dll) mencoba menawarkan suatu reformasi tandingan dengan membentuk Komisi Reformasi.
Namun pemerintahan Suharto tidak mampu melaksanakan  reformasi tandingan tersebut, karena penolakan dari masyarakat (mis : Amien Rais) bahkan dari para pembantunya (mis: Ginanjar Kartsasmita). Hal itu utamanya karena selama pemerintahannya, Suharto tidak menjalankan Good Corporate Governance . Sebelum masa jabatannya berakhir. Suharto lengser dari jabatan presiden RI (21 Mei 1998), peristiwa itu bertepatan pula dengan krisis ekonomi yang melanda Asia sejak tahun 1997. Presiden Suharto digantikan oleh Wakil Presiden BJ. Habibie.

(4)       Partai politik pada Pemilihan Umum  1999.
Suharto lengser bertepatan dengan  Indonesia dilanda krisis keuangan yang berat –  bank kolaps. nilai tukar rupiah anjlok, ekspor-impor macet dll – sebagai dampak krisis ekonomi di Asia tahun 1997. Pada saat itu Suharto  digantikan oleh Habibie yang  sikapnya lebih longgar. Ada beberapa peristiwa penting pada masa pemerintahan Habibie :

a.   Lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia ;
b.   Pemilihan Umum (Pemilu 1999).

Pemilihan Umum (Pemilu 1999) berlangsung secara serentak pada tanggal 7 Juni 1999 di seluruh Indonesia untuk  memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) periode 1999-2004.
Pemilu 1999 ini diikuti oleh 48 partai politik termasuk Golkar—Habibie membuka pintu berdirinya partai-partai baru ; dan urutan lima besar perolehan suara pada Pemilu 1999 adalah :
  • Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 153 kursi ;
  • Partai Golongan Karya (Golkar) 120 kursi ;
  • Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 58 kursi ;
  •  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 51 kursi ;
  •  Partai Amanat Nasional (PAN) 34 kursi. 
Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga dengan masa jabatan terpendek (lk 1.5 tahun), namun merupakan masa awal  perubahan (reformasi) dari pemerintahan yang sentralistik dan otoriter ke pemerintahan lebih liberal dan ter-desentralisasi.. 
Menurut UUD ’45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1999 ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan—yang  diangkat merupakan  MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), MPR  (1999 – 2004) ini —Ketua MPR Amin Rais (PAN)— melakukan sejumlah perubahan (amandemen) terhadap UUD ’45. Perubahan (amandemen) tersebut telah mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. MPR 1999 – 2004 hasil pemilu 1999 tersebut juga telah menghasilkan dua Presiden RI  yaitu KH.Abdulrahman Wahid   (20 October 1999 – 23 July 2001) dan Megawati Sukarno Putri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004).

(5)       Partai politik pada Pemilihan Umum  2004, dan 2009.
Pemilu 2004, berdasar UUD-RI 1945—setelah amandemen, diselenggarakan pada masa pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri. Pemilu 2004 terdiri dari :
  •  Pemilihan Presiden & Wakil Presiden ;
  •  Pemilihan Anggota Legislatip.
Pemilu 2004 ini adalah  pemilu pertama, dimana pasangan Presiden – Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat pemilih.
Pada Pemilihan Presiden & Wakil Presiden, ada 5 pasangan calon Presiden & Wakil RI  yang dicalonkan oleh partai-partai pada Pemilu 2004 ini :
  • Prof Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (Partai Amanat Nasional) ;
  • Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar M.Sc (Partai Persatuan Pembangunan) ;
  • Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Achmad Hasyim Muzadi (Partai Dermokrasi Indonesia-Perjuangan) ;
  • H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H Muhammad Jusuf Kalla (Partai Demokrat) ;
  • H. Wiranto dan Ir. H. Salahuddin Wahid (Partai Golongan Karya).
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden & Wakil RI melalui dua kali putaran pemilihan mengalahkan pasangan Megawati - Hasyim Muzadi. Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) adalah Presiden Keenam Republik Indonesia.
Pada Pemilihan Anggota Legislatip, ada 24 partai yang menjadi peserta pada Pemilu 2004 tersebut. Lima besar partai menurut perolehan kursi di DPR RI pada Pemilu Legislatip tahun 2004 adalah :
  •   Partai Golongan Karya (Golkar), 128 kursi  ;
  •   Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 109 kursi ;
  •  Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 58 kursi ;
  •   Partai Demokrat (PD), 57 kursi ;
  •  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 52 kursi.
Kursi Partai Demokrat di DPR RI relatip rendah (57 kursi) atau pada posisi keempat setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP),  namun calon Presiden & Wakil Presiden yang diusungnya (Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla) memperoleh kemenangan dalam Pilpres 2004. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan suatu partai tidak tercermin dalam pemilihan Presiden & Wakil Presiden.
Pemilu 2009 diselenggarakan pada masa pemerintahan  Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla (SBY – JK), namun pada Pemilu 2009 tersebut Susilo Bambang Yudhoyono  tidak maju sebagai calon berpasangan dengan Jusuf Kalla. Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Budiono maju sebagai calon Presiden & Wakil RI yang didukung oleh Partai Demokrat dkk.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Budiono pada Pilpres 2009 dapat mengalahkan :
  • Pasangan Megawati Soekarno Putri - Prabowo Subianto (PDI-P dan Gerindra) ;
  • Pasangan Muhammad Jusuf Kalla – Wiranto (Golkar dan Hanura). 
Lima besar partai menurut perolehan kursi di DPR RI pada Pemilu Legislatip tahun 2009 adalah :
  •    Partai Demokrat (PD), 150 kursi ;
  •  Partai Golongan Karya (Golkar), 107 kursi  ;
  •  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 95 kursi ;
  •   Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 57 kursi ;
  •  Partai Amanat Nasional (PAN), 43 kursi.
Perolehan Partai Demokrat di DPR  hanya mencapai 150 kursi atau sekitar 20 % dari kursi DPR yang diperebutkan. Namun perolehan suara pasangan Yudhoyono-Budiono pada Pilpres 2009 sangat mengesankan yaitu lebih dari 60 % suara pemilih. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa kekuatan suatu partai tidak tercermin secara proporsional dalam pemilihan Presiden & Wakil Presiden dengan anggota Legeslatip. Phenomena ini menarik untuk dicermati.
Dapat dikemukakan secara singkat,  bahwa partai politik Indonesia memiliki andil yang sangat besar dalam membawa ke Indonesia Merdeka (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang di-proklamasi-kan pada      17 Agustus 1945. Andil mengusung Indonesia Merdeka tersebut kemudian sedikit demi sedikit didesak oleh kekuatan sosial politik militer  (cq. TNI AD) antara lain karena perbedaan pandangan antara partai-partai mengenai dasar negara yang tidak dapat dipertemukan khususnya di Konstituante (1956), serta keterlibatan partai-partai  PSI dan Masyumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta (1957).  Pada periode setelah dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 sampai terbentuknya Orde Baru (1966) andil militer sebagai kekuatan sosial politik semakin dominan akibat keterlibatan partai komunis PKI dalam kudeta G30S tanggal 1 Oktober 1965. Dan selama masa Orde Baru sampai dengan munculnya gerakan reformasi (1998), andil partai politik di Indonesia dalam membangun kebijakan negara Indonesia Merdeka (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ada pada titik terendah.

V.        Peran partai politik.

Prof.Dr Ichlasul Amal MA dari Universitas Gajah Mada dalam suatu ceramah-nya di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada tahun 1980-an antara lain menyatakan bahwa partai politik memiliki peran atau fungsi sbb :
  •  Sosialisasi politik ;
  •   Pendidikan politik ;
  • Rekrutmen politik ;  
  •  Partisipasi politik ;
  •  Komunikasi politik ;
  •  Artikulasi & agregasi kepentingan.
Peran atau fungsi partai politik di suatu negara secara singkat diuraikan sebagai berikut :
  • Sosialisasi politik ; partai politik dalam hal ini berperan menyebarkan kebijakan tertentu yang diusung oleh partai politik tersebut  dan kebijakan yang diusung oleh pemerintah kepada masyarakat atau warganegara negara tersebut.
  • Pendidikan politik ; partai politik dalam hal ini berperan mengajarkan kebijakan tertentu yang diusung oleh partai politik tersebut dan kebijakan yang diusung oleh pemerintah kepada masyarakat atau warganegara negara tersebut.
  • Rekruitmen politik ; partai politik dalam hal ini berperan melakukan   seleksi (pemilihan), penempatan dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang (pengikut atau simpatisan partai tersebut) untuk menjalankan peran dalam lembaga-lembaga partai, negara/pemerintah, dan lain-lain.
  • Partisipasi politik ; partai politik dalam hal ini berperan sebagai sarana anggota masyarakat ikut serta dalam proses politik seperti memilih pemimpin, membuat kebijakan, mendukung kebijakan, menolak kebijakan dan lain-lain.
  • Komunikasi politik ; partai politik dalam hal ini berperan meng-informasi-kan berbagai sikap politik masyarakat kepada pemerintah (lembaga-lembaga negara) maupun sebaliknya.
  • Artikulasi & agregasi kepentingan; partai politik dalam hal ini berperan merumuskan kepentingan masyarakat yang tercermin dari  aspirasi-aspirasi, pendapat-pendapat, dan lain lain; kemudian memadukannya menjadi suatu tuntutan politik masyarakat kepada negara/pemerintah (lembaga-lembaga negara).
Semua peran tersebut diatas dilakukan oleh partai politik bagi kepentingan umum (publik), namun tidak dapat dipungkiri juga bagi kepentingan partai politik itu sendiri.
Dari uraian singkat tentang peran partai politik tersebut tampak bahwa masing-masing peran memiliki bobot yang tidak sama pada setiap keadaan. Bobot-nya tergantung pada tantangan yang dihadapi oleh partai yang bersangkutan. Untuk memperoleh gambaran tentang hal itu kiranya dapat dilihat dari contoh-contoh sbb :
  • Di Amerika SerikatPada saat Halmiton dan kawan-kawan membentuk partai politik pertama di Amerika Serikat (Partai Federal) tahun 1787, maka kiranya  “peran artikulasi & agregasi kepentinganmemiliki bobot dominan dalam Partai Federal. Pengusaha utara, para bankir dan pedagang menjadi pendukung partai  Federal yang baru didirikan tersebut.Namun pada saat partai Federal mencalonkan John Adams sebagai presiden Amerika Serikat beberapa tahun kemudian, maka yang memiliki bobot dominan adalah “peran partisipasi politik”. John Adams terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat Kedua (1797–1801).
  • Di Republik Indonesia ;Pada saat Susilo Bambang Yudhoyono dan kawan-kawan membentuk partai politik (Partai Demokrat) 2001 menjelang Pemilu, mungkin “peran partisipasi politik” adalah yang memiliki bobot dominan dalam Partai Demokrat. Partai Demokrat yang relatip baru, , pada Pemilihan Anggota Legislatip 2004 dapat memperoleh 57 kursi di DPR (nomor 5).Namun pada saat Partai Demokrat mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono – Yusuf Kala sebagai Presiden & Wakil Presiden Republik Indonesia (2004 – 2009), maka yang memiliki bobot dominan adalah “peran rekruitman politik”. Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden & Wakil Presiden Republik Indonesia dan banyak anggota Partai Demokrat menjadi Menteri.

VI.      Penutup.

Sebagai penutup dari bahasan dan renungan tentang partai politik ini ingin dikemukakan hal-hal sbb:

  • Partai politik disini di-definisi-kan kelompok orang-orang  terorganisasi yang mengusung suatu kebijakan bagi kepentingan umum. Dalam hal ini partai politik dapat mendukung (setuju), menentang (oposisi) atau memberi alternatip terhadap kebijakan yang diusung oleh pemerintah juga demi kepentingan umum ;
  • Awal adanya partai politik, hampir di semua negara, memiliki ciri-ciri yang serupa. Umumnya adanya partai politik didahului oleh terbentuknya kelompok orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan—resan minyak ke minyak, resan air ke air ;
  • Sekitar abad ke-7 (sebelum Masehi)    dikenal adanya suatu majelis (assembly, the the Council of Five Hundred) yang merupakan badan pemerintahan di negara kota Athena (Yunani). Anggota-anggota majelis tersebut adalah orang-orang terpandang yang mewakili kelompok orang-orang dari negara tersebut ;
  • Pada awal abad ke-1 Masehi di Romawi diketahui ada  majelis (assembly) seperti di Athena, beberapa abad kemudian ada di negara-negara Eropa lainnya. Anggota-anggota majelis adalah orang-orang terpandang, mereka berhak ikut serta dalam menyusun kebijakan-kebijakan pemerintah. Orang-orang terpandang tersebut mewakili kelompok orang-orang dengan kepentingan yang sama. Kelompok tersebut membentuk suatu organisasi, organisasi itu kemudian disebut sebagai  partai politik ; 
  • Pada masa kini  dalam suatu negara ada partai politik yang mendukung dan ada yang menentang (oposisi) kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Dalam keadaan tertentu ada partai politik yang berada ditengah antara pendukung dan penentang. Partai politik yang berada di tengah disebut partai penyeimbang atau pemberi alternatip (third parties) ;
  • Negara yang memiliki lebih dari satu partai pendukung dan lebih dari satu penentang (oposisi) adalah negara yang menganut sistem banyak partai (multi partai) seperti Kerajaan Belanda, Republik Jerman, Malaysia dan lain-lain ; 
  • Sementara itu ada negara yang hanya memiliki satu  partai     pendukung dan satu penentang (oposisi). Negara itu disebut negara yang menganut sistem dua partai (dwi Partai) seperti : Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, Philipina dan lain-lain ; 
  • Rusia (Uni Soviet) menganut sistem satu partai (partai tunggal). Partai politik yang diizinkan hanyalah satu yaitu Partai Komunis Rusia. Selama pemerintahan Partai Komunis,  Rusia menjalankan demokrasi dalam panggung tertutup di rapat-rapat internal Partai Komunis (mis ; dalam rapat Politbiro, konggres Partai dll). Negara-negara demokrasi barat (Amerika Serikat, Inggris dll) menjalankan demokrasi dalam panggung terbuka melalui Pemilihan Umum yang diikuti oleh seluruh partai pendukung, penentang (oposisi) dll - diikuti oleh segenap warganegara - secara terbuka. Sistem satu partai (partai tunggal) antara lain dianut oleh China, Cuba, dan Korea Utara ; 
  • Partai-partai politik di negara jajahan pada umumnya adalah partai yang menentang (oposisi) kebijakan pemerintah penjajahan.  Partai-partai politik di Indonesia timbul pada awal abad ke-20, karena adanya kesadaran pribumi terhadap kebijakan tidak adil dari kaum penjajah (kolonialis). Timbulnya partai-partai politik di negara jajahan dipicu :
    • konflik antara negara-negara kolonialis di Eropa menjelang Perang Dunia I dan Perang Dunia II ;
    • kemenangan kaum sosialis (bolshevik) dalam revolusi Rusia 1917, yang mengakibatkan menyebarnya faham sosialisme revolusioner ke tubuh partai-partai di negara-negara jajahan ;
    • kemenangan tentara Jepang dalam Perang Rusia-Jepang tahun 1905 .
  • Partai politik di Indonesia sampai dengan proklamasi kemerdekaan tgl 17 Agustus 1945 memiliki andil yang sangat signifikan dalam membawa ke Indonesia Merdeka (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Namun setelah tgl 17 Agustus 1945 karena perbedaan pandangan dari partai-partai politik  mengenai dasar negara yang tidak dapat dipertemukan khususnya di Konstituante (1956) serta keterlibatan partai PSI dan Masyumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta (1957), maka andil partai-partai politik terhadap Indonesia Merdeka sedikit demi sedikit didesak oleh kekuatan sosial politik militer (TNI) ;
  • Setelah dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 sampai terbentuknya Orde Baru (1966) andil kekuatan sosial politik TNI semakin dominan, karena akibat keterlibatan kaum komunis PKI dalam kudeta G30S Oktober 1965 dan adanya perpecahan di kalangan partai-partai politik. Bahkan selama masa Orde Baru sampai munculnya gerakan reformasi (1998), andil partai politik dlm menyusun kebijakan pemerintah di titik terendah ;
  • Setelah Suharto lengser (berakhirnya Orde Baru) dan munculnya gerakan reformasi mengakibatkan militer (TNI) dalam kegiatan sosial-politik menjadi sangat terbatas, kalau tidak dikatakan hilang sama sekali. Dengan demikian partai politik di Indonesia memiliki kesempatan sangat luas dalam memberikan andilnya bagi Indonesia Merdeka di bidang politik, ekonomi, dan budaya, namun kini partai politik di Indonesia harus menghadapi  tantangan yang lebih berat daripada sebelumnya seperti : 
    • tuntutan publik yang terus semakin meningkat ;
    • harus mampu bekerja sebagai organisasi partai modern dalam  mengelola sumberdaya ;
    • harus mampu menghadapi neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan globalisasi dalam  segala aspek kehidupan politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.

Demikianlah bahasan dan renungan singkat tentang partai politik. Kritik dan koreksi dari semua fihak sangat diharapkan.
Semoga bermanfaat !


*
However (polital parties) may now and then answer popular ends, they are likely in the course of time and things, to become potent engines, by which cunning, ambitious, and unprincipled men will be enabled to subvert the power of the people and to usurp for themselves the reins of government, destroying afterward the very engines which have lifted them to unjust dominion (George Washington)


*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar