Ngunandiko. No.53
Partai
Politik
I.
Pendahuluan.
Tulisan ini berisikan bahasan
dan renungan mengenai bagaimana awal adanya partai politik,
dan peran apa yang dijalankannya bagi perkembangan suatu negara.
Dalam tulisan ini partai politik di-definisi-kan sebagai suatu kelompok
orang ter-organisasi yang menjalankan peran mengusung kebijakan
bagi kepentingan umum. Tujuan partai politik adalah memilih pejabat yang mampu menjalankan kebijakan yang diusung oleh partai. Pada dasarnya kebijakan itu berkisar pada bagaimana orang-orang memperoleh kehidupan yang layak dan menjalankan kuwajiban-nya seperti membayar pajak, serta bagaimana menghadapi keadaan perang atau damai.
Gambaran mengenai awal,
keadaan dan peran partai politik tersebut, kiranya cukup ter-wakili dari keadaan
partai-partai politik di sejumlah negara di Eropa, di Amerika Serikat, dan di
Indonesia. Partai-partai politik di Amerika Serikat dan di Indonesia diuraikan lebih
panjang dimaksudkan untuk lebih memperjelas.
Bahasan dan renungan ini
diuraikan dengan urutan sebagai berikut :
(1)
Awal adanya partai politik;
(2)
Partai politik di Eropa;
(3)
Partai politik di Amerika Serikat;
(4)
Partai politik di Indonesia;
(5)
Peran partai politik;
(6)
Penutup.
Sudah barang tentu bahasan
dan renungan dalam tulisan singkat ini jauh dari sempurna, namun kiranya inti permasalahan tidaklah terlewati.
I.
Awal
adanya partai politik.
Awal adanya partai politik
di semua negara memiliki ciri yang hampir sama. Pada umumnya awal adanya suatu
partai politik didahului oleh terbentuknya kelompok orang-orang yang memiliki
kesamaan kepentingan—resan minyak ke
minyak, resan air ke air. Hal itu tampak dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Yunani dan Romawi.
Majelis - Athena |
- Laki-laki yang dianggap terbaik ;
- Penduduk Athena bebas (bukan budak), dan ;
- Keanggotannya diperbaharui setiap tahun.
Para anggota majelis seringkali bertindak secara kelompok dalam mengambil suatu keputusan sesuai dengan kepentingannya seperti membuat aturan, hukum dll. Anggota-anggota majelis dalam mengambil suatu keputusan, tidak mengatur diri-nya secara permanen dalam kelompok-kelompok, namun adanya kelompok-kelompok itu dapat dianggap sebagai awal adanya partai politik.
Beberapa abad kemudian di sekitar tahun 27 setelah Masehi, di Romawi ada semacam forum penguasa yang disebut “Senat”. Senat tersebut beranggotakan orang-orang terpandang dari dua kelompok warga sbb :
Beberapa abad kemudian di sekitar tahun 27 setelah Masehi, di Romawi ada semacam forum penguasa yang disebut “Senat”. Senat tersebut beranggotakan orang-orang terpandang dari dua kelompok warga sbb :
- Kelompok bangsawan mewakili keluarga bangsawan ;
- Kelompok plebeian (the common people of ancient Rome) mewakili para pedagang kaya dan kelas menengah.
Kedua
kelompok warga tersebut sering memiliki sikap
yang berseberangan (dua sikap yang berbeda), namun sering pula berbaur serta mempunyai sikap yang sama (satu sikap) pada isu-isu tertentu.
Terjadinya
kelompok-kelompok seperti tersebut, juga
terjadi di Asia dalam bentuk yang berbeda.
Di India misalnya masyarakat terbagi dalam golongan-golongan (kasta),
hubungan antar kasta tersebut diatur oleh kepercayaan (agama), di China sejak
lama dikenal adanya kelompok orang-orang miskin (pengemis) yang disebut partai “Kei Pang”.
Orang-orang
yang mewakili kelompok dengan kesamaan kepentingan, menggunakan jalan pikiran (ideologi) tertentu dalam memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya, kiranya dapat
dianggap sebagai awal adanya suatu organisasi yang disebut partai politik.
II. Partai politik di Eropa.
Untuk memberi gambaran
tentang partai politik di Eropa, disini diuraikan keadaan partai-partai politik
di Italia, Inggris, Perancis, dan Rusia pada awal keberadaannya.
1.
Partai Politik di Italia.
Setelah
jatuh-nya Roma di sekitar abad ke-5, selama berabad-abad
kelompok orang-orang biasa warga Romawi (di semenanjung Italia)
hampir tidak memiliki suara dalam hal politik. Keadaan seperti itu menyebabkan kepentingan kelompok - kelompok warga Romawi tidak dapat ter-komunikasi-kan
dengan baik, bentrok antar kelompok warga sering terjadi. Hal itu menimbulkan
gagasan perlunya ada wadah (partai
politik) yang dapat menyalurkan kepentingan para warga
Romawi. Warga Romawi di sekitar abad
ke-12 terbagi ke dalam dua partai politik
berdasar kepentingan yang diwakilinya sbb :
- Partai Ghibelline mewakili bangsawan, tentara profesional, dan orang lain yang disukai oleh kaum feudal ;
- Partai Guelph mewakili pedagang dan pengusaha.
Kelompok-kelompok
di Italia yang semula dalam memperebutkan kekuasaan
politik dilakukan dengan kekerasan, setelah ada-nya partai
politik tidak lagi dengan
kekerasan, melainkan dengan perundingan (abad ke-15). Ghibellines berkat kekuatan dan kecerdikannya memperoleh kemenangan politik di sebagian besar wilayah
Italia. Negara-negara kota Italia secara bertahap
berada di bawah pemerintahan partai yang
mewakili orang-orang kuat dan keluarga terkemuka yang cerdik.
2.
Partai Politik di Inggris.
- Membunuh Raja Charles II (1630 –1685) ;
- Memberikan tahta-nya kepada James (1633–1701) adik Charles II, Duke of York seorang Katolik Roma ;
- Mengambil alih kekuasaan negara.
Raja Charles II |
Raja
Charles II adalah kepala Gereja Inggris, namun bersimpati kepada adiknya (James) dan umat
Katolik Roma. Perbuatan Parlemen dipandang
oleh Raja Charles II telah melanggar otoritas kerajaan, oleh karena itu Raja membalasnya
dengan membekukan Parlemen.
Sikap
Raja tersebut (sebagai reaksi atas sikap parlemen) menyebabkan orang-orang Inggris terbagi dua :
- Mereka yang mendukung sikap raja disebut “Abhorrers” ;
- Mereka yang menentang sikap Raja, meminta (mengajukan petisi) agar Raja segera memanggil sidang parlemen, disebut “Petitioner” ;
Pendukung
Raja disebut Abhorrers,
karena mereka tidak menyukai (abhor) orang-orang yang berupaya
mengendalikan tindakan Raja. Abhorrer disebut pula sebagai kaum Tory.
Sedangkan penentang sikap Raja (mendukung Parlemen) adalah petitioner
atau disebut sebagai kaum Whig
Sesungguhnya
perbedaan dasar antara Whig dan Tory
hayalah pada tekanan
(emphasize) pandangan mereka terhadap pemerintah (raja). Whig memiliki pandangan bahwa hak rakyat (orang-orang biasa) harus lebih besar, sehingga dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah (raja). Sedangkan Tory memiliki pandangan bahwa pemerintah (raja) harus memiliki
kewenangan luas dan kuat, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan
dapat lebih efektip. Seratus tahun kemudian (1776), perbedaan pandangan tersebut menyebabkan banyak
Whig yang berpihak ke kaum revolutionists Amerika, sebaliknya banyak
Tory yang mendukung ditumpasnya
kaum revolutionists Amerika.
Setelah revolusi Inggris di tahun
1688, William dan Mary naik takhta (the co-regency over the Kingdoms of England, Scotland and Ireland), dan parlemen
menjadi penguasa di Inggris. Whig dan Tory menjadi partai besar yang dipimpin oleh
orang-orang kaya dan keluarga bangsawan. Kedua partai besar tersebut dikenal sebagai
Partai Liberal (Whig) dan Partai Konservatip (Tory). Pada abad ke-20 partai
Liberal menjadi lemah, dan perannya sebagai penantang (challence) partai Konservatip,
dalam mengontrol pemerintah diambil alih oleh partai Buruh yang baru tumbuh.
3. Partai Politik di Perancis.
Sebelum Revolusi Perancis tahun 1789, di Perancis ada tiga kelas (disebut estate) yaitu
:
- Estate I, kaum ningrat (noblety) ;
- Estate II, kaum gereja (cleregy) dan ;
- Estate III, kelas menengah (pedagang dan pengusaha).
Forum
pertemuan antar kelas-kelas (Estate)
tersebut disebut “Jenderal Estate”.
Masing-masing estate memiliki wakil dalam forum “Jenderal Estate”. Dalam beberapa hal estate bertindak
seperti partai
politik, namun karena
raja Perancis adalah monarki mutlak, maka estate tidak memiliki kekuatan
politik yang nyata sampai tahun 1789.
Pada
tahun 1789 krisis besar terjadi di Perancis, Raja Louis XVI (1754 – 1793) tidak memiliki cukup uang untuk menjalankan pemerintahannya.
Raja Perancis memanggil sidang
“Jenderal Estate” untuk secara bersama menemukan cara meningkatkan pendapatan.
Sebelum tahun 1789, Estate I dan Estate II tidak
dikenakan pajak, sehingga untuk meningkatkan pendapatan wakil Estate III mengusulkan :
- Reformasi pemungutan pajak (Estate I dan Estate II juga akan diharuskan membayar pajak) ;
- Melembagakan secara resmi forum Jenderal Estate.
Para
wakil Estate I (kaum ningrat) dan Estate II (gereja) menentang usulan wakil Estate
III tersebut. Penolakan terhadp usulan tersebut mengakibatkan
Estate III kecewa. Kemudian Estate III mengundang semua anggota Estate Jenderal
untuk membentuk majelis reformasi. Sejumlah bangsawan dan pendeta pro demokrasi bergabung dengan Estate III membentuk Majelis Nasional.
Penutupan gedung Jacobin |
Perlu pula dikemukakan
bahwa pada waktu Majelis Nasional bersidang ; para reformis yang paling radikal (anti
monarki) duduk di sisi kiri ruang majelis, sedangkan yang paling
konservatif (pro monarki) duduk di sisi kanan. Penamaan "kiri" untuk yang radikal, dan "kanan" untuk yang konservatif tersebut
berlangsung hingga saat ini.
4. Partai Politik di Rusia.
Partai
Buruh Sosial Demokrat Rusia tergolong organisasi partai modern yang
pertama-tama ada di Rusia. Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia adalah partai sosialis revolusioner di Rusia yang dibentuk pada tahun 1898 di Minsk untuk mewadahi beberapa organisasi revolusioner. Partai ini memiliki 2 (dua) fraksi Bolshevik dan Menshevik.
Sebelum Revolusi Rusia tahun 1917, Bolshevik merupakan suatu kelompok
radikal pimpinan Vladimir Lenin. Bolshevik menghendaki
terjadinya perubahan pemerintah
kekaisaran di Rusia. Pada tahun 1912 fraksi Bolshevik mendirikan Partai Komunis Rusia.
Kemudian pada tahun 1917, Partai Komunis Rusia (kaum Bolshevik) bersama kaum buruh dan
tentara merah mengambil alih kekuasaan di Rusia, yang saat itu dibawah kaisar
Nicholas-II-tsar-of-Russia. Dan mendirikan negara sosialis di Rusia ;. negara sosialis
pertama di di muka bumi Peristiwa ini dikenal sebagai Revolusi Bolshevik atau
Revolusi Rusia.
Pada masa Partai Komunis
berkuasa di Rusia hanya partai komunis saja yang ada secara legal, Rusia (Uni Soviet) menganut sistem satu partai
(partai tunggal). Partai politik yang diizinkan hanyalah partai pemerintah,
Partai Komunis Rusia ; fihak lain tidak diijinkan ikut serta dalam pemilihan. Uni
Soviet—selama pemerintahan Partai
Komunis, menjalankan demokrasi
secara tertutup didalam lembaga-lembaga internal Partai Komunis seperti
Konggres Partai, Central Comitee Partai, Biro Politik Partai (Polibiro) dll,
tidak seperti negara demokrasi barat yang menjalankan demokrasi dalam panggung
terbuka. Pada saat ini (abad ke-21) sistem satu partai (partai tunggal) masih
dianut a.l oleh China, Cuba, dan Korea Utara.
III. Partai politik di Amerika Serikat.
Disini diuraikan keadaan
partai-partai politik di Amerika Serikat, di mulai sejak Amerika Serikat masih
merupakan koloni-koloni Inggris.
1. Keadaan Koloni-koloni Inggris.
Sebelum membahas Partai Politik di
Amerika Serikat kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu keadaan koloni-koloni Inggris di benua Amerika
bagian Utara—sebelum terbentuknya Amerika Serikat. Seperti diketahui koloni-koloni
tersebut telah berdampingan dengan Inggris dalam perang
melawan Perancis maupun dalam perang melawan suku-suku Indian di Amerika Utara.
Pada
tahun 1673 Perancis kalah dan keluar dari
Amerika Utara. Inggris kemudian mencoba mengendalikan koloni-koloni-nya di
Amerika tersebut dengan ketat. Kebijakan kolonial Inggris yang ketat tersebut
menyebabkan para American (kolonist) marah.
Koloni-koloni tersebut kemudian ingin bebas dari kendali kekaisaran Inggris.
Di
Amerika Utara ada 13 koloni Inggris, tiap koloni memiliki
majelis (assembly) sendiri. Anggota majelis adalah para kolonist
pendatang dari Eropa khususnya dari Inggris. Kolonist yang
ingin tetap berada dibawah kekaisaran Inggris
disebut kaum Tory, dan yang ingin bebas
atau merdeka disebut kaum Whig.
Ketika
koloni-koloni mendeklarasikan kemerdekaannya
dari Inggris pada tahun 1776,
para kolonist terbagi dalam dua kelompok :
- Revolusionist atau Patriot adalah para kolonist yang pro kemerdekaan.
- Loyalis atau Tory adalah para kolonist yang pro Inggris, dan ingin tetap dibawah kekaisaran Inggris.
Sesungguhnya
para Patriot terbagi pula dalam dua
kelompok : kelompok para pemimpin (orang kaya dan berpendidikan) dan kelompok para pengikut (petani, buruh, dan pemilik usaha kecil). Namun semua Patriot — pemimpin maupun pengikut — keduanya bersatu padu berjuang memenangkan Revolusi, masing-masing kelompok
tidak membentuk partai.
2. Partai Politik di Amerika Serikat.
Para
pemimpin Revolusi Amerika tidak menyukai gagasan berdirinya partai politik, dan tidak menghendaki pula adanya pertarungan antara partai-partai politik
selama revolusi. Hal tersebut tampak dari pernyataan-pernyataan sbb:
- George Washington (1732 – 1799), dalam suatu “Amanat Perpisahan”, memperingatkan orang-orang Amerika terhadap bahaya "pengelompokan orang" dalam partai ;
- James Madison (1751 – 1836) berpandangan bahwa pengelompokan orang-orang dalam suatu partai mungkin diperlukan, meskipun ia tidak menyetujui-nya ;
- Alexander Halmiton (1755 – 1804) berpandangan bahwa suatu kelompok sebagai wakil dari masyarakat perlu senantiasa diwaspadai ;
- Thomas Jefferson (1743 – 1826) pada tahun 1789 menyatakan dengan kalimat bersayap "Jika saya tidak dapat ke surga tanpa disertai partai, maka saya lebih baik tidak ke sorga sama sekali.
Namun setelah
Revolusi Amerika memperoleh kemenangan—para pemimpin Revolusi tersebut—akhirnya
mendirikan dua partai politik besar pertama di Amerika Serikat.
Halmiton dan orang-orang yang sepaham
bersatu mendukung adanya pemerintah (Federal) yang kuat. Pada 1787 Halmiton dan
kawan-kawan menyebut diri-nya Federalis—pengikut Partai Federal, partai politik pertama di Amerika Serikat.
Pengusaha utara, para bankir dan pedagang adalah pendukung Partai Federal. Partai Federal tersebut ingin :
- Pemerintah (Federal) yang kuat ;
- Modal dan industri menjadi dasar republik yang sehat ;
- Industri bayi (infant industry) yang sedang tumbuh di negara baru Amerika Serikat harus dilindungi oleh pemerintah.
Sedangkan
dalam urusan politik luar
negeri Partai Federal condong ke
Inggris.
Sementara itu pada tahun 1796, suatu
kelompok orang-orang yang pandangannya terhadap pemerintahan berlawanan dengan
pandangan kaum Federalis, berkumpul di sekitar Jefferson dan menyebut
diri-nya Partai Demokratic-Republican. Partai
ini menghimpun pengikutnya dari kalangan petani dan orang-orang yang memiliki sedikit kekayaan (property).
Partai Demokratic-Republican
tersebut ingin :
- Rakyat diberi kebebasan sebesar-besarnya ;
- Kekuasaan pemerintah federal dibatasi, dan ;
- Pemerintah daerah (negara bagian) diberi kekuasaan lebih besar.
Dalam urusan politik luar negeri Partai Demokratic-Republican
bersimpati dengan Revolusi Perancis.
John Adams (1735 – 1826) — presiden
Amerika Serikat kedua (1797–1801), didukung
oleh kaum Federalis. Pada tahun 1800, John
Adams beralih pihak ke Jefferson, kemudian lebih
kurang selama 20 tahun partai Federal menjadi minoritas.
Sejak
tahun 1820 kehidupan
politik di Amerika Serikat dipengaruhi oleh perbedaan pendapat yang tajam antar
negara-negara bagian, khususnya dalam masalah perbudakan.
Negara-negara agraris di selatan dan negara-negara industri di utara memiliki keinginan dan
pandangan yang
bertentangan, hal itu akhirnya menyebabkan terjadinya Perang Saudara (Civil War).
Pada
tahun 1828, Andrew Jackson (1767 – 1845) terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-7 (1829–1837), Andrew Jackson adalah seorang Demokratic-Republican dari Tennessee ( Southwest Territory ) ;
Jackson mendapat dukungan besar di wilayah Selatan dan Barat, Jackson kemudian mengganti nama partainya menjadi partai Demokrat, langkah
Jackson itu ditentang oleh sebagian
anggotanya. Orang-orang demokrat anti Jackson dan ex Federalis bergabung membentuk partai
Whig.
Dari tahun 1836 s/d 1852 partai Whig melakukan oposisi terhadap partai
Demokrat, isu utama-nya adalah ekspansi ke wilayah
Barat yang didukung oleh kaum Jacksonian
Demokrat.
Beberapa
tahun kemudian (1854), isu yang marak menjadi perdebatan
politik di Amerika Serikat adalah tentang :
- Penghapusan perbudakan Negro (sebagai isu utama) dan ;
- Siapa yang lebih kuasa (menjadi penentu kata akhir), jika terjadi konflikantara negara bagian dengan pemerintah nasional (federal).
Pada
saat masih berlangsungnya perdebatan politik di Amerika Serikat,
Whig telah kehilangan banyak pemilihnya karena ditinggalkan oleh anggotanya
yang bergabung dengan :
- Gerakan hapusannya perbudakan (Northern Abolitionist) ;
- Kelompok yang mewakili kepentingan penduduk asli Protestan, kaum anti Katholik Roma, dan orang asing ; partai Know-Nothings.
Partai
Whig sedikit demi sedikit hancur bersamaan dengan
memuncaknya isu perbudakan dan
konflik antara negara bagian dengan
pemerintah federal. Sementara itu Demokrat juga pecah menjadi Demokrat Utara dan Demokrat Selatan. Demokrat
Selatan adalah pendukung kuat perbudakan dan hak-hak negara bagian. Ketika
perbudakan dihapuskan dengan paksa, pandangan ekstrem Demokrat Selatan membawa negara-negara
bagian di selatan memisahkan diri.
Pada tahun 1854 kaum antislavery dan pengikut partai Free Soil (1848–1854)—minor but influential political party in the
pre-Civil War period of American history that opposed the extension of slavery into the western
territories—membentuk partai Republik. Para mantan Whig yang anti perbudakan (Abolitionists) juga
ikut bergabung dengan Partai Republik. John C Fremont (1813 – 1890) seorang militer-politikus
; pada tahun 1856 dicalonkan oleh Partai Republik sebagai calon presiden (President
of the United States), namun tidak berhasil. Pada tahun 1860,
Partai Republik — hampir tanpa dukungan Selatan —mencalonkan
Abraham Lincoln (1809 – 1865) seorang ahli hukum-politikus. Berkat dukungan mantan anggota Whig yang memiliki semangat antislavery
yang kuat, Abraham Lincoln terpilih
sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-16 (1861 – 1865) .
Pada
tahun 1861 perang-saudara (civil war, 1861
- 1865) tidak dapat dihindari, negara-negara selatan (Konfederasi)
kalah. Partai Demokrat yang dianggap sebagai penyebab kekalahan menjadi lemah.
Sampai akhir abad ke-19, sikap politik Partai
Demokrat adalah mendukung perdagangan bebas, dan mendapat
simpati dari petani dan para imigran.
Di lain fihak Partai Republik, mendapat dukungan dari pengusaha industri
(industrialist), dan menginginkan adanya dinding tarif (custom duties designed to check the flow of
imports).
Fraklin D Roosevelt |
Namun
akhirnya secara umum kedua belah pihak (partai
Demokrat dan Republik) sepakat tentang :
- Jaminan sosial ;
- Asuransi pengangguran ;
- Kebijakan dasar luar negeri, dan ;
- Hak-hak sipil.
Hal-hal
yang belum dapat disepakati bersama antara
lain adalah cara menggulangi masalah-masalah
ekonomi cq. inflasi, pengangguran, berkurangnya pasokan energi, dan kerusakan lingkungan karena polusi
industri.
Partai
Republik cenderung menolak pengeluaran
(dana) serta regulasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Namun Partai
Demokrat percaya bahwa pengeluaran pemerintah dan regulasi dapat memberi hasil yang baik.
Seperti telah dijelaskan, Amerika
Serikat menganut sistem dua partai. Partai-partai lain (third parties) sebagai faktor
penyeimbang (memberi alternatip) pernah dikembangkan, tetapi tidak dapat tumbuh
dengan baik dan kuat. Pada abad ke-19 kaum populis aktip mengajukan alternatip
kebijakan untuk mengimbangi kebijakan-kebijakan publik yang diajukan oleh partai Demokrat dan Republik, selain kaum populis tumbuh pula partai-partai
yang berhaluan sosialisme seperti Socialist Party, Socialist Labor Party, dan Farmer-Labor
Party. Partai-partai (third Parties) tersebut dibentuk oleh orang-orang yang
merasa bahwa partai-partai besar tidak cukup mengekspresikan pandangan mereka.
Keberadaan penyeimbang
(partai kaum populis dan sosialist) pernah
mewarnai kehidupan politik di Amerika Serikat, seperti misalnya :
- Pengaruh kaum sosialis mencapai puncaknya di sekitar tahun 1930 ; Socialist Party ikut dalam pemilu lokal maupun pemilu nasional, dan memperoleh hasil dua orang terpilih sebagai United States Representative (Victor L. Berger and Meyer London), puluhan terpilih sebagai State Legislator, lebih dari seratus terpilih sebagai Mayor, dan tak terhitung pejabat yang lebih rendah. Dan pada saat mencalonkan Eugene V. Debs ( the Socialist Party candidate for US America President five times between 1900 and 1920) pernah mendapat lebih dari 900,000 suara. Disamping itu banyak dari ide-ide socialisme yang diadopsi oleh partai-partai besar.
- Sayap progresif yang memisahkan diri dari Partai Republik pada tahun 1912, menyebabkan terbentuknya partai ketiga "Bull Moose." (US Progressive Party). US Progressive Party ini ikut dalam sejumlah pemilihan a.l mencalonkan Theodore Roosevelt sebagai kandidat presiden. Calon-calon US Progressive Party ada yang terpilih sebagai senator, tapi tidak ada yang terpilih sebagai presiden. US Progressive Party tersebut hidup sampai tahun 1920-an, dibawah kepemimpinan La Follette dari Wisconsin. Sikap politik US Progressive Party adalah menentang monopoli bisnis besar, mendukung kepentingan petani dan pekerja ; dapat dikatakan sama dengan kaum sosialis
Pada umumnya Third Parties memiliki
pengikut yang jumlahnya relatip kecil, dan tujuan yang ingin dicapainya sering
telah dapat terpenuhi dengan mendukung partai-partai besar. Third Parties di
Amerika Serikat ternyata tidak tumbuh.
Setelah Perang Dunia II, isu
hak negara dan
hak sipil Negro kembali menimbulkan perpecahan di internal partai-partai
besar. Perpecahan itu tidak berlanjut, karena kelompok ekstrem militan yang
menyebabkan perpecahan relatip kecil pendukungnya. Demokrat dan Republik tampak
mampu mengatasi perpecahan dengan cukup baik. Harry S. Truman
(1884 – 1972), seorang Demokrat — terlepas dari perpecahan — memenangkan
pemilihan presiden Amerika Serikat ke-33 pada tahun 1945.
Setelah
presiden Harry S. Truman
sebagai Presiden Amerika Serikat ke-33 dari Partai Demokrat, maka sampai saat
ini ada 11 orang presiden semuanya dari partai Demokrat atau dari partai Republik.
Berturut turut nama-nama mereka adalah seperti berikut ini : Dwight Eisenhower
(1890-1969) dari Partai Republik, John Kennedy (1917-1983) dari Partai Demokrat,
Lyndon Johnson (1908-1973) dari Partai Demokrat, Richard Nixon (1913-1994) dari
Partai Republik, Gerald Ford (1913-2006) dari Partai Republik, Jimmy Carter (lahir
1924) dari Partai Demokrat, Ronald Reagan (1911-2004) dari Partai Republik, George
HW Bush ( lahir 1924) dari Partai Republik, Bill Clinton ( lahir 1924) dari
Partai Demokrat, George W Bush ( lahir 1946) dari Partai Republik, dan Barack
Obama ( lahir 1964) dari Partai Demokrat.
Seperti
diketahui partai politik di Amerika Serikat
ada di tingkat nasional dan ada ditingkat lokal (negara bagian).
Empat tahun sekali partai menyelenggarakan konvensi nasional (national convention). Delegasi
peserta konvensi nasional dipilih lebih dahulu dalam
konvensi partai di tingkat negara bagian atau dalam pertemuan lokal partai (grassroot level). Para
delegasi mencalonkan presiden dan calon wakil presiden dalam konvensi
nasional.
Dalam
konvensi nasional—selain mencalonkan presiden dan calon wakil presiden,
masing-masing partai menyusun rancangan
plat-form, plat-form adalah
pernyataan tentang apa diinginkan oleh partai
atau garis-garis besar langkah partai kedepan. Partai yang menang menggunakan plat-form tersebut untuk membimbing langkah para pejabat partai yang terpilih
dalam menjalankan tugasnya di pemerintahan nasional (federal) maupun di
pemerintahan negara bagian (state) .
Partai di Amerika Serikat sehari-hari
dijalankan oleh komite daerah dan komite
negara. Anggota komite daerah dipilih oleh konvensi partai di tingkat negara bagian, atau ditunjuk oleh pertemuan
tertutup partai. Komite nasional, terdiri dari satu pria dan satu wanita dari
50 negara dan wilayah, jadi untuk masing-masing partai jumlahnya 100 orang.
Undang-undang negara bagian dan undang-undang federal mengontrol keuangan
partai a.l bagaimana cara partai politik mengumpulkan dan menggunakan uang yang
dapat dikumpulkannya tersebut.
Seperti
diketahui partai-partai di Amerika Serikat
pada waktu ini telah
menggunakan peralatan yang canggih seperti komputer antara lain
digunakan untuk :
- Menyusun daftar calon pendukung ;
- Melakukan jajak pendapat atau pandangan publik tentang partai dan kandidat partai, dan ;
- Mengeksplorasi pandangan pemilih tentang isu-isu tertentu.
Disamping
itu partai dapat
juga memiliki kelompok dengan tugas khusus seperti :
- Mengumpulkan uang(dana) guna kepentingan partai ;
- Mencari pendukung/pemilih kandidat partai ;
- Menumbuhkan pengaruh partai ke masyarakat (mis ; menyebar-luaskan plat-form).
Sejak
berakhirnya Perang Dunia II, maka koran, radio, dan televisi menjadi sangat penting untuk mempengaruhi
pendapat publik (propaganda) dalam pemilihan
umum modern. Partai-partai politik
menggunakan iklan untuk membentuk
opini, bersaing mendapatkan liputan
media cetak dan/atau media electronik yang menguntungkan
bagi kandidat-kadindatnya.
Menurut para ahli, bahwa untuk dapat
memenangkan suatu pemilihan—khususnya di
Amerika Serikat, seorang calon (kandidat) harus :
- Melakukan prediksi terhadap hasil pemilihan yang akan diikutinya (mis : dengan polling, survey dll) ;
- Tampil di TV (mis : dalam debat, menjelaskan pandangannya, bertemu calon pemilih. dan lain-lain) dan ;
- Mengemas dan menjual seperti halnya produk dalam sebuah bisnis, membangun citra (image building) dll.
Propaganda
seperti tersebut diatas, kini tidak hanya dilakukan di Amerika Serikat, tetapi
juga di negara-negara lain.
IV. Partai politik di Indonesia.
Disini
diuraikan keadaan partai-partai politik di Indonesia, dimulai sejak Indonesia
masih merupakan tanah jajahan Kerajaan Belanda—jauh sebelum proklamasi 17 Agustus ’45.
1. Keadaan Indonesia sebelum Proklamasi
‘45
Sebelum
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia (Hindia-Belanda) selama
berabad-abad merupakan tanah jajahan (koloni) kerajaan Belanda. Selama Perang Dunia II (1942 – 1945),
Hindia-Belanda di duduki oleh balatentara Jepang.
Dokter Wahidin Sudirohusodo |
Beberapa tahun sebelum
lahirnya Budi Utomo—pada tahun
1905, Haji Samanhudi merintis berdirinya organisasi
Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Tujuan SDI adalah menghimpun para
pedagang pribumi muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan
pedagang-pedagang keturunan China. Seperti diketahui pada waktu itu pemerintah
kolonial Belanda membagi penduduk Hindia-Belanda dalam kelompok
pribumi (Inlanders); keturunan China, India, Arab (Vreemde Oosterlingen); dan
Eropa. Pengelompokan tersebut menjebabkan diskriminasi dibidang ekonomi dan dibidang-bidang lain. Setelah
berjalan beberapa tahun, pada tahun 1912 SDI diubah oleh Haji Oemar Said
Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam (SI). Kemudian SI juga bergerak di bidang
politik dan berkembang dengan pesat.
Kemenangan Revolusi Rusia pada
tahun 1917 menyebabkan faham sosialisme revolusioner (Marxisme) menyebar ke
seluruh dunia, dan masuk ke Indonesia dibawa oleh seorang Belanda (H.J.F.M. Sneevliet). Kemudian faham sosialisme
revolusioner tersebut menyusup ke organisasi Sarekat
Islam (SI), dan berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh
muda SI seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin. Hal itu menyebabkan SI
pecah menjadi : "SI Putih", dan "SI Merah".
Setelah perpecahan, SI Putih yang berhaluan kanan dipimpin antara lain oleh H. Agus Salim berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah yang berhaluan
kiri dipimpin antara lain oleh Semaun berpusat
di kota Semarang. Sementara itu HOS Tjokroaminoto pada awalnya menjadi
penengah di antara kedua kubu tersebut.
Pada tahun 1929, SI Putih menjadi PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia).
Karena keragaman cara pandang para anggota-nya, PSII pecah menjadi Partai Islam Indonesia pimpinan Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII pimpinan HOS Tjokroaminoto. SI Merah pada
tahun 1924 menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).
Keberadaan Budi Utomo telah mengilhami
berdirinya Indische Partij (IP) atau Partai Hindia.
Indische Partij adalah
pengganti Indische Bond yaitu organisasi orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia. Partai Hindia dianggap
sebagai organisasi politik
pertama di Hindia Belanda (Indonesia), dan perintis
nasionalisme Indonesia. Partai Hindia didirikan oleh Douwes Dekker, Dokter Tjipto
Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat berumur pendek 1912 – 1913. Partai Hindia menginspirasi berdirinya
organisasi-organisasi seperti Nationaal Indische Party (NIP) atau Sarekat
Hindia (1919), dan Indo Europeesch
Verbond (1919). Dapat
dikemukakan pula bahwa penerus langsung Indische Partij adalah
Partai Politik Insulinde.
Disamping itu keberadaan Budi Utomo
juga mengilhami berdirinya organisasi yang bersifat kesukuan atau kedaerahan seperti Jong
Java (1915), Sumatranen Bond (1917), Sekar Rukun (1919), dan lain-lain.
Selanjutnya perkumpulan- perkumpulan tersebut menjadi pelopor konggres
pemuda yang mencetuskan “SUMPAH PEMUDA”
pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Pada tahun 1927 ;
Partai Nasional Indonesia didirikan oleh para tokoh nasionalis seperti Dr.
Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo di
Bandung. Para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai
ini. Dalam dinamikanya, pada tahun 1931 PNI pecah menjadi Partindo (Sartono SH)
dan PNI Baru (Moh Hatta) ; kemudian
diikuti dengan berdirinya Gerindo (Gerakan
Rakyat Indonesia Raya) tahun 1937, dan Partai Persatuan Indonesia tahun 1939.
Tumbuhnya partai-partai
politik di negara-negara terjajah seperti di Indonesia tersebut, tidak terlepas
dari kesadaran warganya (pribumi) atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh
negara-negara kolonialis terhadap koloni-koloninya.
Disamping itu juga karena pengaruh peristiwa-peristiwa di luar Indonesia seperti:
Disamping itu juga karena pengaruh peristiwa-peristiwa di luar Indonesia seperti:
- peristiwa kemenangan Jepang pada perang Rusia-Jepang (1905) memperebutkan Manchuria dan Korea. Hal itu membangkitkan rasa percaya diri orang-orang kulit berwarna ;
- peristiwa konflik antara negara-negara kolonialis di Eropa menjelang Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Hal itu menyebabkan berkurangnya kekuatan kaum kolonialis ;
- peristiwa kemenangan kaum sosialis (bolshevik) dalam revolusi Rusia 1917. Hal itu mengakibatkan menyebarnya faham sosialisme ke seluruh dunia ;
Berdirinya
partai-partai
politik seperti : PSII, PKI, PNI ; organisasi
keagamaan Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama ; organisasi pendidikan dan pemuda seperti Tamansiswa, Jong Java, Sumatranen
Bond, Sekar Rukun dan lain-lain dll—menunjukkan meningkatnya semangat nasionalisme dan kehendak merdeka di kalangan pribumi. Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat
mengabaikan meningkatnya semangat nasionalisme dan
kehendak merdeka tersebut. Menghadapi hal itu
pemerintah Hindia Belanda melakukan langkah-langkah
sbb:
- Mengaktipkan dinas intelejen ; meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas partai politik seperti rapat-rapat, pidato, dan tulisan a.l mengakibatkan dipenjaranya tokoh-tokoh partai seperti Iwa Kusumasumantri (1927), Moh Hatta (1927), Sukarno (1930) dll ;
- Memberi wadah legal bagi berkiprahnya partai-partai politik dan organisasi-organisasi pribumi a.l dengan dibentuknya Volkraad (People's Council) Hindia Belanda pada tahun 1930.
Volkraad
ini adalah untuk menyalurkan aspirasi pribumi (masyarakat Indonesia) dan juga
memonitor aktivitas politik-nya. Namun tindakan itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat. Balatentara
Jepang menduduki Hindia Belanda, sebelum Volkraad berfungsi
seperti yang diharapkan.
Selelah balatentara Jepang
menduduki Hindia Belanda (1942 – 1945), Jepang mengeluarkan peraturan : melarang
rapat-rapat dan kegiatan-kegiatan politik ; membubarkan perkumpulan-perkumpulan,
kecuali perkumpulan non politik (olah raga, kesenian, koperasi dll). Untuk menarik
hati umat Islam, Majelis Islam Indonesia
(1943) dihidupkan kembali dengan nama Majelis Suro Muslimin Indonesia
(Masyumi). Jepang juga me-propaganda-kan
adanya gerakan 3 A (Nippon pelindung
Asia, cahaya Asia, peminpin Asia) dipimpin oleh Samsudin SH, dan barisan Pemuda
Asia Raya dibawah Sukardjo Wiryopranoto.
Secara keseluruhan gerakan
rakyat selama masa penduduk Jepang di Indonesia dapat dibagi menjadi :
- Gerakan Legal :
- Gerakan Tiga A dipimpin oleh Mr Samsoedin ;
- Jawa Hokokai;
- Gempar (Gemblengan Pemuda Asia Raya) ;
- Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin oleh Sukarno, Moh Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mansyur (4 serangkai) ;
- Lain-lain seperti persatuan olah raga.
- Gerakan Ilegal :
- Kelompok Sutan Sjahrir (Mis : Hatta, Sudarsono, dan Hamdani) ;
- Kelompok Sukarni (mis : Adam Malik, Pandu Karta Wiguna, dan Maruto Nitimihardjo) ;
- Kelompok Kaigun (mis : Wikana, A. Subardjo dan Sudiro) ;
- Kelompok Pelajar (mis ; Khairul Saleh, Subadio Sastrosatomo dan E.Sudewo). (lihat pula ; Ngunandiko.4 “Gerakan Bawah Tanah”).
Para aktivis gerakan ilegal (underground) inilah yang kemudian
mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
2. Partai Politik di Indonesia.
Segera setelah Proklamasi
Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan
disahkannya UUD RI 1945 pada 18 Agustus 1945 ,
maka dibentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 29 Agustus 1945. KNIP
adalah Badan Pembantu Presiden, anggotaannya adalah pemuka-pemuka masyarakat mewakili
golongan dan daerah. Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja
(BP KNIP), anggotaannya dipilih dari kalangan anggota KNIP. BP KNIP untuk pertama kali diketuai oleh St Syahrir dan salah
satu Sekretaris BP KNIP adalah Adam Malik.
Pada 3 Nopember 1945
pemerintah menerbitkan Maklumat
Pemerintah RI no. X yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Moh Hatta ; isinya
menganjurkan berdirinya organisasi-organisasi tanpa pembatasan apapun.
Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh berbagai kalangan, sehingga partai
politik dan organisasi tumbuh seperti jamur dimusim hujan.
Pembentukan KNIP tersebut
adalah menyimpang dari semangat UUD’45. Dan pembentukan partai politik—akibat
Maklumat Pemerintah RI no. X, pada awal
revolusi tersebut ditentang oleh Tan Malaka. Sikap Tan Malaka tersebut adalah seperti
sikap George Washington dan Thomas Jefferson pada saat awal revolusi
Amerika Serikat (1775 –1783), keberadaan banyak partai politik akan
memperlemah persatuan rakyat yang sangat diperlukan untuk memenangkan revolusi.
Pada 15 Agustus 1945,
Jepang menyerah kepada Sekutu (Amerika
Serikat, Inggris dkk), menyebabkan Perang Dunia II berakhir. Pada 17 Agustus
1945, Sukarno dan Hatta memproklamirkan berdirinya Republik Indonesia. Dengan
berakhirnya Perang Dunia II, Inggris bertanggung
jawab menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Pada 15 September 1945,
Inggris datang ke Indonesia untuk membebaskan tawanan dan
melucuti senjata tentara Jepang. Kedatangan Inggris tersebut diboncengi oleh NICA
(Netherlands Indies Civil Administration), hal ini menyebabkan terjadinya
konflik Belanda - Indonesia (yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945). Konflik
Belanda – Indonesia tersebut tidak dapat dihindari menjadi konflik bersenjata.
Gedung Agung Yogykarta (Istana Presiden RI di Yogya) |
Inggris (Sir Archibald
Clark Kerr) menganjurkan perundingan untuk memecahkan konflik bersenjata
tersebut, maka berlangsung perundingan Linggarjati di Jawa Baraat. Hasil perundingan “Perjanjian
Linggarjati” ditandatangani oleh fihak Belanda dan Indonesia pada tanggal 15 November 1946
di Jakarta. Partai-partai politik seperti Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI),
Partai Rakyat Indonesia, Partai
Rakyat Jelata dan lain-lain menolak “Perjanjian
Linggarjati” tersebut, karena merugikan Indonesia.
Perjanjian Linggarjati — dengan alasan sepihak — dilanggar
oleh Belanda. Belanda menyerbu Indonesia
(Agresi Militer Belanda I) pada 21 Juli 1947.. Campur tangan internasional—Dewan Keramanan (DK-PPB), menyebabkan diadakan-nya
perundingan antara Indonesia dengan Belanda
di kapal perang Amerika Serikat—USS
Renville, di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 ditengah
oleh Komisi
Tiga Negara (KTN)—Committee of Good Offices for Indonesia, terdiri
dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Perundingan tersebut menghasilkan “Perjanjian
Renville” yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian Renville tersebut kembali
merugikan Indonesia.
Taktik pemerintahan St
Syahrir berunding dengan Belanda—tanpa
Belanda mengakui terlebih dahuhu eksistensi Republik Indonesia (Republik
Proklamasi ’45)—dipandang sangat lemah dan merugikan Indonesia. Persatuan
Perjuangan menentang kebijakan berunding pemerintahan St Syahrir tersebut. Persatuan
Perjuangan adalah organisasi yang dipelopori oleh Tan Malaka, dibentuk di Purwokerto
awal tahun 1946, serta didukung oleh 141
organisasi politik, laskar,
dan partai politik
seperti Masyumi dan PNI.
Perjanjian Renvillei juga dilanggar
oleh Belanda, Belanda melakukan Agresi
Militer II tanggal 19 Desember 1948. Belanda berhasil : menduduki ibukota RI (Yogyakarta) ; menahan Presiden RI (Sukarno) dan Wakil
Presiden Ri (Moh Hatta) ; serta menduduki hampir seluruh wilayah Indonesia lainnya. Agresi
Militer Belanda II ini hampir melenyapkan Republik Indonesia dari muka bumi.
Berkat perlawanan TNI
(Jend Sudirman), dan pemerintahan sementara RI di Sumatra (Syafrudin
Prawiranegara) yang didukung oleh segenap rakyat Indonesia, Belanda terpaksa
berunding dengan Indonesia. Pada 7
Mei
1949
ditanda tangani Perjanjian Roem-Roijen, yang dimaksudkan untuk mengantar
perundingan Belanda - Indonesia di Konferensi Meja Bundar
di Den Haag. Tentara Belanda pada 9 Juni 1949 meninggalkan
Yogyakarta. Sikap pemerintah Republik Indonesia yang lembek dalam Konperensi
Meja Bundar di Den Haag (ibukota kerajaan Belanda) dari 23 Agustus s/d 2 November 1949 menyebabkan
terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1945.
Republik Indonesia menjadi negara bagian dari RIS, dan sederajat dengan -negara
boneka NIT (Negara Indonesia Timur), Negara Jawa Timur, Negara Pasundan dan
lain-lain. Namun berkat perjuangan yang gigih dari rakyat diseluruh pelosok
Indonesia yang menuntut pembubaraan RIS, maka pada 17 Agustus 1950 Republik Indonesia
eksis kembali (tanpa Irian Barat), dan RIS (Republik Indonesia Serikat) bubar.
(1)
Partai politik pada Pemilihan Umum
1955.
Seperti diketahui undang-undang
dasar sementara (UUDS 1950) diberlakukan sejak 17 Agustus tahun 1950. Hal itu menimbulkan
isu politik mengenai urgensi membentuk
Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI)—bukan sementara, menggantikan
UUDS RI 1950 tersebut. Menanggapi isu tersebut, Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap (Partai Masyumi) menyelenggrakan pemilihan umum pada tahun 1955. Pemilu
1955 tersebut dibagi menjadi dua tahap :
- Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan ;
- Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante (15 Desember 1955).
Konstituante tersebut
dimaksudkan untuk merumuskan Undang-undang Dasar Republik Indonesia menggantikan UUDS RI 1950.
Pemilu 1955 diikuti oleh
29 partai politik dan individu, jumlah yang diperebutkan adalah 260 kursi DPR, dan
jumlah 520 kursi Konstituante (dua kali
lipat kursi DPR). Adapun hasil Pemilu 1955 dapat digambarkan sbb:
- Lima besar Pemilu 1955 ini adalah : Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen) ; Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen) ; Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen) ; Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen) ; dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen) ;
- Partai-partai yang mendapat kursi di bawah 10 adalah : PSII (8) ; Parkindo (8), Partai Katolik (6) ; Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti) ; Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPP:RI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi.stituante tersebut dimaksudkan untuk merumuskan Undang-undang Dasar
- Hasil Pemilu 1955 tersebut menunjukkan jumlah partai politik di Indonesia sangat banyak (hampir 30 partai), dan tidak ada satupun partai politik yang memperoleh 50 % suara. Hal itu menyebabkan :
- Sidang-sidang Konstituante menjadi berkepanjangan dan tanpa suatu keputusan, karena perbedaan pandangan yang tidak dapat dipertemukan antara partai yang menghendaki Pancasila (nasionalisme) dan partai yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.
- Kabinet sering berganti-ganti, karena sukar membentuk koalisi partai pendukung pemerintah di DPR yang kuat dan permanen.
Partai Murba mengusulkan jalan tengah dengan mengusulkan penggunaan kembali UUD
RI 1945—18 - !945 ditolak, dan dipandang kuno. Konstituante telah gagal menyusun
Undang-Undang Dasar Negara (yang baru) pengganti UUDS 1950 , karena qorum untuk mengambil
suatu keputusan tidak pernah tercapai.
Keadaan dimana konstituante
gagal menyusun Undang-Undang Dasar Negara, serta kabinet sering berganti-ganti menyebabkan tokoh-tokoh
Angkatan Darat (mis : Jend. AH. Nasution) dan Angkatan ’45 (mis :
Sukarni) mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan
“Dekrit” guna mengatasi hal itu.
Pada 5 Juli 1959, Presiden
Sukarno memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu pada dasarnya : memberlakukan kembali Undang-Undang
Dasar 1945—18 Agustus 1945 ; membubarkan DPR dan Konstituante hasil
Pemilu 1955 dan masing-masing diganti dengan DPR-GR (Gotong-Royong) dan MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Sebagai tindak-lanjut
(follow up) Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut dilakukan pula penyederhanaan
partai-partai politik. Berdasarkan
Penetapan Presiden
No.7 Tahun 1959 ditetapkan hal-hal seperti :
- Partai adalah organisasi golongan rakyat berdasarkan persamaan kehendak di dalam Negara untuk memperjuangkan bersama-sama tercapainya tujuan rakyat yang tersusun dalam bentuk Negara ;
- Anggaran dasar partai harus menegaskan bahwa partai menerima dan mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ;
- Program kerja partai harus berdasarkan MANIPOL yang telah ditetapkan menjadi haluan negara. Dapat dijelaskan bahwa MANIPOL adalah singkatan dari Manifesto Politik, yang intinya adalah : Undang-Undang Dasar 1945 ; Sosialisme Indonesia ; Demokrasi Terpimpin ; Ekonomi Terpimpin ; dan Kepribadian Indonesia.
Disamping itu dalam
Anggaran Dasar itu harus ada ketentuan bahwa partai yang bersangkutan harus mencantumkan:
- Organisasi-organisasi yang berada dibawah perlindungan atau naungan partai ;
- Pernyataan bahwa partai dalam perjuangannya akan menggunakan jalan damai dan demokratis.
Presiden juga mencanangkan
apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin, dimana Presiden (Sukarno) berhak :
mengawasi secara preventip maupun represip kegiatan partai; memeriksa tatausaha
dan harta milik partai ; melarang dan membubarkan partai ; dan lain-lain.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, partai politik yang diakui oleh pemerintah adalah : 1. PNI; 2. PKI; 3. NU;
4. PSII; 5.Perti; 6. Partai Katolik; 7. Parkindo; 8. Murba; 9. Partindo; dan 10.
IPKI. Kiranya perlu pula dikemukakan bahwa PSI dan MASJUMI dinyatakan sebagai
partai terlarang karena terlibat pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia) dan PERMESTA (Piagam Perjuangan Semesta); serta sejak 1- 6 - 1965 MURBA (termasuk lembaga-lembaga dibawahnya)
dibekukan sementara karena diduga akan menggulingkan pemerintahan Sukarno.
Berdasarkan
Penetapan Presiden
No.13 Tahun 1959 dibentuk Front Nasional.
Front Nasional merupakan sebuah gabungan organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi
dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala
bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan dan
menyelesaikan Revolusi Nasional
Indonesia. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno dan
seorang Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
Front Nasional—dalam
banyak hal—didominasi oleh pandangan PKI yang pro komunis China. Angkatan Darat
dan sejumlah organisasi massa yang berlandaskan kekaryaan pada 20 Oktober
1964 membentuk sekretariat bersama Golongan
Karya (SekBer Golkar). SekBer Golkar
plus kekaryaan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kemudian menjadi
Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan sosial politik mendampingi
partai-partai politik anti PKI (komunisme).
Ada 3 (tiga) isu politik yang
menonjol di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sbb:
- Melaksanakan Pembangunan ; Sesuai Tap MPRS No.II Tahun 1960, maka pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun : 1961 - 1969 mulai dilaksanakan.
- Mengembalikan Irian Barat ; Indonesia melancarkan operasi MANDALA untuk merebut Irian Barat dipimpin Jend Suharto. Sementara itu melalui diplomasi yang panjang pada tahun 1962 ditanda tangani perjanjian Indonesia – Belanda, yang prinsipnya Irian Barat kembali ke Republik Indonesia, namun Indonesia (1969) harus menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) mengenai Irian Barat. Hasil Pepera ; Irian Barat menjadi bagian Republik Indonesia.
- Menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia.
Isu-isu politik tersebut
berada pada keadaan dunia internasional yang sedang dilanda perang-dingin
antara blok Amerika Serikat dan blok Uni Soviet, disamping itu terjadi konflik
ideologi antara komunis Rusia dan komunis China. Isu “Menyelesaikan Revolusi Nasional Indonesia” itu menimbulkan :
- konfrontasi Indonesia dengan Malaysia ;
- poros Jakarta – Peking - Pyongyang.
Indonesia — Sukarno — berusaha
mengerahkan segenap kekuatan politik yang ada di DPR-GR, di Front Nasional, dan
di forum-forum lain guna penyelesaian isu “Menyelesaikan Revolusi Nasional
Indonesia” ; namun gagal. Peristiwa kudeta G30S-PKI pada 1 Oktober 1965, 7
jenderal TNI AD terbunuh ; sebelum Revolusi Nasional Indonesia selesai.
Peristiwa kudeta G30S-PKI
menyebabkan PKI jatuh dari kedudukannya yang terkemuka. PKI sejak 1 Oktober
1965 hilang dari permukaan, dan pada 12
Maret 1966 — berdasar surat perintah Presiden Sukarno, SP 11 Maret 1966 —
dinyatakan sebagai partai terlarang. Partai-partai lain a.l PNI juga mengalami
perpecahan internal selama beberapa waktu, sebagai dampak G30S-PKI.
Peristiwa kudeta
G30S-PKI secara tidak langsung juga
menyebabkan lengsernya Sukarno. Sejumlah kalangan anti komunis dan mahasiswa
didukung oleh TNI Angkatan Darat menginginkan
pembubaran PKI. Mahasiswa secara terus-menerus melakukan demonstrasi
menuntut agar Sukarno membubarkan PKI. Namun karena PKI tidak kunjung dibubarkan,
maka kemudian para demonstran juga menuntut agar Sukarno lengser. Sukarno akhirnya lengser dan kekuasaannya
diserahkan kepada Jend Suharto. Setelah Sukarno lengser pada 1967 ;
Front Nasional di bubarkan oleh
Suharto ; Golkar tetap dipertahankan bahkan diperkuat, karena Suharto tidak mempercayai sikap
partai-partai politik. Undang-Undang Dasar 1945—18 Agustus 1945 tetap diberlakukan. Berdasar ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966, Pemerintah
bersama-sama dengan DPRGR mengatur kepartaian, keormasan, dan kekaryaan menuju pada penyederhanaan.
Untuk mendapatkan legitimasi
yang kuat dari rakyat, maka pemerintahan Suharto—Orde Baru menyelenggarakan pemilihan
umum pada tahun 1971. Dapat dikemukakan disini bahwa secara keseluruhan Pemilihan
Umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 10 kali yaitu tahun 1955, kemudian
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilihan umum
1955 dilaksanakan berdasar UUDS RI 1950.
(2)
Partai politik pada Pemilihan Umum 1971.
Setelah Sukarno lengser pada 1967, Suharto menjadi Pejabat Presiden RI (1967 –
1968). Sidang
Umum MPRS Maret 1968 (SU MPRS 1968) mengukuhkan
Suharto sebagai Presiden RI, sampai dengan terpilihnya Presiden RI hasil pemilihan
umum (Pemilu). Pengukuhan Suharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden RI pada
tahun 1968 tersebut adalah pada tanggal 11
Maret dan pelantikannya pada 27 Maret
1968. Lebih-kurang 3 (tiga) tahun kemudian 5 Juli 1971, Suharto
menyelenggarakan Pemilu 1971.
Pemilu
1971 ini adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peserta Pemilu 1971 tersebut adalah 9
(sembilan) partai politik dan 1 (satu) organisasi masyarakat (Golkar) sbb :
1.Partai Katolik, 2. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), 3. Partai
Nahdlatul Ulama (NU), 4. Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), 5. Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), 6. Partai
Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), 7. Partai Nasional Indonesia (PNI), 8. Partai
Islam (Perti), 9. Partai Pendukung Kemerdekaan Indonersia (IPKI), dan 10 . Golongan
Karya (Golkar). Calon-calon peserta Pemilu 1971 diseleksi terlebih dahulu, sejumlah
calon dari PNI, NU, dan Parmusi yang tidak lolos. Pemilu 1971 ini dikenal sebagai
pemilu pertama pada masa Orde Baru.
Pemenang
Pemilu 1971 adalah Golkar, dikuti oleh PNI dan NU. Di beberapa tempat telah terjadi
bentrokan antara para pendukung peserta pemilu (a.l Golkar dengan NU di Jawa
Timur) sewaktu mereka melakukan kampanye. Kampanye pemilu dilakukan dengan
pemasangan poster, penyebaran pamlet, mengumpulkan massa di lapangan, pawai massa
di jalan-jalan dsb.
Dari
hasil Pemilu 1971 tersebut terbentuk Lembaga-lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara : MPR, DPR, MA, BPK, dan DPA menurut UUD 1945—18
Agustus 1945 ; lembaga-lembaga tersebut
kini tidak lagi menyandang predikat sementara. DPR
beranggotakan 360 orang hasil Pemilu 1971, sementara itu MPR beranggotakan anggota DPR ditambah dengan Utusan Golongan dan Utusan
Daerah yang ditunjuk (75 ABRI dan 25 non ABRI). Sidang Umum MPR tahun 1973
menunjuk Suharto sebagai Presiden RI
periode 1973 - 1978, pada waktu itu Ketua MPR adalah Idham Chalid dari partai
NU.
(3)
Partai politik pada Pemilihan Umum
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Suharto—sebagai
Presiden RI—telah menyelenggarakan pemilihan Pemilu 1971, yang diikuti oleh 9
partai politik dan golongan karya (Golkar). Suharto memandang bahwa jumlah 9 (sembilan)
partai politik yang ada pada waktu itu terlalu banyak ; Suharto juga berpendapat
bahwa kehidupan ekonomi, ketertiban, dan keamanan masyarakat masih harus ditingkatkan.
Isu
politik utama pada masa setelah satu dasa warsa pemberontakan G30S-PKI tahun
1965 adalah :
- Penataan sistem politik khususnya partai-partai ;
- Peningkatan kehidupan ekonomi ;
- Peningkatan ketertiban dan keamanan.
Bermodalkan
jasa-jasanya dalam menertibkan dan mengamankan keadaan setelah pemberontakan
G30S-PKI, serta mandat yang diperolehnya setelah Pemilu 1971 ; maka Suharto
melakukan penataan sistem politik dengan menyederhanakan jumlah partai politik di
Indonesia.
Pada
tahun 1973 ; Parmusi, Partai NU dan
partai Islam lainnya digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ; dan
PNI, Murba, Parkindo, Partai Katolik digabung menjadi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Dengan demikian jumlah partai politik yang semula 10 partai menjadi
hanya 3 partai politik ; Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ditambah dengan
Golongan Karya (Golkar). Melalui Golongan Karya (Golkar) dan ABRI ;
Suharto setapak demi setapak dapat mendominasi eksekutip (birokrasi
pemerintahan) dan lembaga-lembaga seperti MPR, DPR dan lain-lain. Praktis
seluruh penyelenggaraan negara berada dalam tangan Suharto seorang diri, tanpa
ada yang dapat melakukan koreksi secara berarti. Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) aktivitas politiknya juga berada dibawah kendali Suharto.
Suharto sebagai Presiden
RI menyelenggarakan pemilihan umum tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Terhitung
dari tahun 1972 secara berturut-turut (6 kali) Suharto diangkat sebagai
Presiden RI oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Pada masa jabatan yang
terakhir (1998 – 2003), Suharto mengundurkan diri sebelum masa jabatan-nya
berakhir. Pemerintahan Suharto selama lebih dari 30 tahun lazim disebut sebagai
pemerintahan Orde Baru. Pada dekade pertama pemerintahan Orde Baru, perekonomian
Indonesia tumbuh sangat mengesankan. Namun
pada dekade terakhir pemerintahannya
muncul isu-isu politik yang negatip sbb :
- Pertumbuhan ekonomi Indonesia disertai dengan membengkaknya hutang luar negeri ;
- Beroperasinya modal asing beroperasi di segala sektor kegiatan ekonomi, tanpa memberi dampak yang berarti bagi rakyat ;
- Praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ;
Isu-isu
tersebut khususnya isu praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menimbulkan
tekanan terhadap pemerintah Orde Baru, terutama dari pemuda dan mahasiswa yang
menghendaki adanya reformasi. Golkar dan ABRI, pendukung utama Suharto, tidak
mampu menangkal isu-isu tersebut. Suharto dalam pertemuan-nya dengan tokoh-tokoh
masyarakat (mis : GusDur, Nurcholish Majid, KH Alie Yafie, Prof Malik Fajar
dll) mencoba menawarkan suatu reformasi tandingan dengan membentuk Komisi
Reformasi.
Namun
pemerintahan Suharto tidak mampu melaksanakan reformasi tandingan tersebut, karena penolakan
dari masyarakat (mis : Amien Rais) bahkan dari para pembantunya (mis: Ginanjar
Kartsasmita). Hal itu utamanya karena selama pemerintahannya, Suharto tidak
menjalankan Good Corporate Governance . Sebelum masa jabatannya berakhir. Suharto lengser dari
jabatan presiden RI (21 Mei 1998), peristiwa itu bertepatan pula dengan krisis
ekonomi yang melanda Asia sejak tahun 1997. Presiden Suharto digantikan oleh Wakil Presiden BJ.
Habibie.
(4)
Partai politik pada Pemilihan
Umum 1999.
Suharto lengser bertepatan dengan Indonesia dilanda krisis keuangan yang berat – bank kolaps. nilai tukar rupiah
anjlok, ekspor-impor macet dll – sebagai dampak krisis ekonomi di Asia tahun
1997. Pada saat itu Suharto digantikan oleh Habibie yang sikapnya lebih longgar. Ada beberapa peristiwa penting pada masa pemerintahan Habibie :
a.
Lepasnya Timor
Timur dari Republik Indonesia ;
b.
Pemilihan Umum (Pemilu 1999).
Pemilihan Umum (Pemilu 1999) berlangsung
secara serentak pada tanggal 7 Juni 1999 di seluruh Indonesia untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) periode 1999-2004.
Pemilu
1999 ini diikuti oleh 48 partai politik termasuk Golkar—Habibie membuka pintu berdirinya
partai-partai baru ; dan urutan lima besar perolehan suara pada Pemilu 1999 adalah
:
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 153 kursi ;
- Partai Golongan Karya (Golkar) 120 kursi ;
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 58 kursi ;
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 51 kursi ;
- Partai Amanat Nasional (PAN) 34 kursi.
Habibie adalah
Presiden Republik Indonesia yang ketiga dengan masa jabatan terpendek (lk 1.5
tahun), namun merupakan masa awal perubahan (reformasi) dari pemerintahan
yang sentralistik dan otoriter ke pemerintahan lebih liberal dan
ter-desentralisasi..
Menurut
UUD ’45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1999 ditambah dengan
Utusan Daerah dan Utusan Golongan—yang diangkat merupakan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),
MPR (1999 – 2004) ini —Ketua MPR Amin
Rais (PAN)— melakukan sejumlah perubahan (amandemen) terhadap UUD ’45.
Perubahan (amandemen) tersebut telah mengubah susunan lembaga-lembaga dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. MPR 1999 – 2004 hasil pemilu 1999
tersebut juga telah menghasilkan dua Presiden RI yaitu KH.Abdulrahman
Wahid (20 October 1999 – 23 July 2001) dan Megawati Sukarno
Putri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004).
(5)
Partai politik pada Pemilihan
Umum 2004, dan 2009.
Pemilu
2004, berdasar UUD-RI 1945—setelah amandemen, diselenggarakan pada masa
pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri. Pemilu 2004 terdiri dari :
- Pemilihan Presiden & Wakil Presiden ;
- Pemilihan Anggota Legislatip.
Pemilu
2004 ini adalah pemilu pertama, dimana pasangan Presiden – Wakil
Presiden dipilih langsung oleh rakyat pemilih.
Pada
Pemilihan Presiden & Wakil Presiden, ada 5 pasangan calon Presiden &
Wakil RI yang dicalonkan oleh partai-partai
pada Pemilu 2004 ini :
- Prof Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (Partai Amanat Nasional) ;
- Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar M.Sc (Partai Persatuan Pembangunan) ;
- Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Achmad Hasyim Muzadi (Partai Dermokrasi Indonesia-Perjuangan) ;
- H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H Muhammad Jusuf Kalla (Partai Demokrat) ;
- H. Wiranto dan Ir. H. Salahuddin Wahid (Partai Golongan Karya).
Pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden & Wakil RI
melalui dua kali putaran pemilihan mengalahkan pasangan Megawati - Hasyim Muzadi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Presiden Keenam Republik Indonesia.
Pada
Pemilihan Anggota Legislatip, ada 24 partai yang menjadi peserta pada Pemilu
2004 tersebut. Lima besar partai menurut perolehan kursi di DPR RI pada Pemilu
Legislatip tahun 2004 adalah :
- Partai Golongan Karya (Golkar), 128 kursi ;
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 109 kursi ;
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 58 kursi ;
- Partai Demokrat (PD), 57 kursi ;
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 52 kursi.
Kursi
Partai Demokrat di
DPR RI relatip rendah (57 kursi) atau pada posisi keempat setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), namun calon
Presiden & Wakil Presiden yang diusungnya (Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf
Kalla) memperoleh kemenangan dalam Pilpres 2004. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan
suatu partai tidak tercermin dalam pemilihan Presiden & Wakil Presiden.
Pemilu
2009 diselenggarakan pada masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla (SBY – JK), namun pada Pemilu
2009 tersebut Susilo Bambang Yudhoyono tidak maju sebagai calon berpasangan dengan
Jusuf Kalla. Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Budiono maju sebagai calon Presiden & Wakil RI yang didukung
oleh Partai Demokrat dkk.
Pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono - Budiono pada Pilpres 2009
dapat mengalahkan :
- Pasangan Megawati Soekarno Putri - Prabowo Subianto (PDI-P dan Gerindra) ;
- Pasangan Muhammad Jusuf Kalla – Wiranto (Golkar dan Hanura).
Lima
besar partai menurut perolehan kursi di DPR RI pada Pemilu Legislatip tahun
2009 adalah :
- Partai Demokrat (PD), 150 kursi ;
- Partai Golongan Karya (Golkar), 107 kursi ;
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 95 kursi ;
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 57 kursi ;
- Partai Amanat Nasional (PAN), 43 kursi.
Perolehan
Partai Demokrat di DPR hanya mencapai 150
kursi atau sekitar 20 % dari kursi DPR yang diperebutkan. Namun perolehan suara
pasangan Yudhoyono-Budiono pada Pilpres 2009 sangat mengesankan yaitu lebih
dari 60 % suara pemilih. Hal ini
sekali lagi menunjukkan bahwa kekuatan suatu partai tidak tercermin secara
proporsional dalam pemilihan Presiden & Wakil Presiden dengan anggota
Legeslatip. Phenomena ini menarik untuk dicermati.
Dapat dikemukakan secara singkat, bahwa partai politik Indonesia memiliki andil
yang sangat besar dalam membawa ke Indonesia Merdeka (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) yang di-proklamasi-kan pada
17 Agustus 1945. Andil mengusung Indonesia Merdeka tersebut kemudian sedikit
demi sedikit didesak oleh kekuatan sosial politik militer (cq. TNI AD) antara lain karena perbedaan
pandangan antara partai-partai mengenai dasar negara yang tidak dapat
dipertemukan khususnya di Konstituante (1956), serta keterlibatan partai-partai
PSI dan Masyumi dalam pemberontakan
PRRI-Permesta (1957). Pada periode
setelah dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 sampai terbentuknya Orde Baru (1966) andil
militer sebagai kekuatan sosial politik semakin dominan akibat keterlibatan partai
komunis PKI dalam kudeta G30S tanggal 1 Oktober 1965. Dan selama masa Orde Baru
sampai dengan munculnya gerakan reformasi (1998), andil partai politik di
Indonesia dalam membangun kebijakan negara Indonesia Merdeka (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) ada pada titik terendah.
V.
Peran
partai politik.
Prof.Dr Ichlasul Amal MA dari
Universitas Gajah Mada dalam suatu ceramah-nya di Lembaga Pertahanan Nasional
(Lemhanas) pada tahun 1980-an antara lain menyatakan bahwa partai politik
memiliki peran atau fungsi sbb :
- Sosialisasi politik ;
- Pendidikan politik ;
- Rekrutmen politik ;
- Partisipasi politik ;
- Komunikasi politik ;
- Artikulasi & agregasi kepentingan.
Peran atau fungsi partai politik di suatu negara secara singkat diuraikan
sebagai berikut :
- Sosialisasi politik ; partai politik dalam hal ini berperan menyebarkan kebijakan tertentu yang diusung oleh partai politik tersebut dan kebijakan yang diusung oleh pemerintah kepada masyarakat atau warganegara negara tersebut.
- Pendidikan politik ; partai politik dalam hal ini berperan mengajarkan kebijakan tertentu yang diusung oleh partai politik tersebut dan kebijakan yang diusung oleh pemerintah kepada masyarakat atau warganegara negara tersebut.
- Rekruitmen politik ; partai politik dalam hal ini berperan melakukan seleksi (pemilihan), penempatan dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang (pengikut atau simpatisan partai tersebut) untuk menjalankan peran dalam lembaga-lembaga partai, negara/pemerintah, dan lain-lain.
- Partisipasi politik ; partai politik dalam hal ini berperan sebagai sarana anggota masyarakat ikut serta dalam proses politik seperti memilih pemimpin, membuat kebijakan, mendukung kebijakan, menolak kebijakan dan lain-lain.
- Komunikasi politik ; partai politik dalam hal ini berperan meng-informasi-kan berbagai sikap politik masyarakat kepada pemerintah (lembaga-lembaga negara) maupun sebaliknya.
- Artikulasi & agregasi kepentingan; partai politik dalam hal ini berperan merumuskan kepentingan masyarakat yang tercermin dari aspirasi-aspirasi, pendapat-pendapat, dan lain lain; kemudian memadukannya menjadi suatu tuntutan politik masyarakat kepada negara/pemerintah (lembaga-lembaga negara).
Semua peran tersebut
diatas dilakukan oleh partai politik bagi kepentingan umum (publik), namun
tidak dapat dipungkiri juga bagi kepentingan partai politik itu sendiri.
Dari uraian singkat
tentang peran partai politik tersebut tampak bahwa masing-masing peran memiliki
bobot yang tidak sama pada setiap keadaan. Bobot-nya tergantung pada tantangan
yang dihadapi oleh partai yang bersangkutan. Untuk memperoleh gambaran tentang hal
itu kiranya dapat dilihat dari contoh-contoh sbb :
- Di Amerika Serikat ; Pada saat Halmiton dan kawan-kawan membentuk partai politik pertama di Amerika Serikat (Partai Federal) tahun 1787, maka kiranya “peran artikulasi & agregasi kepentingan” memiliki bobot dominan dalam Partai Federal. Pengusaha utara, para bankir dan pedagang menjadi pendukung partai Federal yang baru didirikan tersebut.Namun pada saat partai Federal mencalonkan John Adams sebagai presiden Amerika Serikat beberapa tahun kemudian, maka yang memiliki bobot dominan adalah “peran partisipasi politik”. John Adams terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat Kedua (1797–1801).
- Di Republik Indonesia ;Pada saat Susilo Bambang Yudhoyono dan kawan-kawan membentuk partai politik (Partai Demokrat) 2001 menjelang Pemilu, mungkin “peran partisipasi politik” adalah yang memiliki bobot dominan dalam Partai Demokrat. Partai Demokrat yang relatip baru, , pada Pemilihan Anggota Legislatip 2004 dapat memperoleh 57 kursi di DPR (nomor 5).Namun pada saat Partai Demokrat mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono – Yusuf Kala sebagai Presiden & Wakil Presiden Republik Indonesia (2004 – 2009), maka yang memiliki bobot dominan adalah “peran rekruitman politik”. Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden & Wakil Presiden Republik Indonesia dan banyak anggota Partai Demokrat menjadi Menteri.
VI. Penutup.
Sebagai penutup dari bahasan
dan renungan tentang partai politik ini ingin dikemukakan hal-hal sbb:
- Partai politik disini di-definisi-kan kelompok orang-orang terorganisasi yang mengusung suatu kebijakan bagi kepentingan umum. Dalam hal ini partai politik dapat mendukung (setuju), menentang (oposisi) atau memberi alternatip terhadap kebijakan yang diusung oleh pemerintah juga demi kepentingan umum ;
- Awal adanya partai politik, hampir di semua negara, memiliki ciri-ciri yang serupa. Umumnya adanya partai politik didahului oleh terbentuknya kelompok orang-orang yang memiliki kesamaan kepentingan—resan minyak ke minyak, resan air ke air ;
- Sekitar abad ke-7 (sebelum Masehi) dikenal adanya suatu majelis (assembly, the the Council of Five Hundred) yang merupakan badan pemerintahan di negara kota Athena (Yunani). Anggota-anggota majelis tersebut adalah orang-orang terpandang yang mewakili kelompok orang-orang dari negara tersebut ;
- Pada awal abad ke-1 Masehi di Romawi diketahui ada majelis (assembly) seperti di Athena, beberapa abad kemudian ada di negara-negara Eropa lainnya. Anggota-anggota majelis adalah orang-orang terpandang, mereka berhak ikut serta dalam menyusun kebijakan-kebijakan pemerintah. Orang-orang terpandang tersebut mewakili kelompok orang-orang dengan kepentingan yang sama. Kelompok tersebut membentuk suatu organisasi, organisasi itu kemudian disebut sebagai partai politik ;
- Pada masa kini dalam suatu negara ada partai politik yang mendukung dan ada yang menentang (oposisi) kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Dalam keadaan tertentu ada partai politik yang berada ditengah antara pendukung dan penentang. Partai politik yang berada di tengah disebut partai penyeimbang atau pemberi alternatip (third parties) ;
- Negara yang memiliki lebih dari satu partai pendukung dan lebih dari satu penentang (oposisi) adalah negara yang menganut sistem banyak partai (multi partai) seperti Kerajaan Belanda, Republik Jerman, Malaysia dan lain-lain ;
- Sementara itu ada negara yang hanya memiliki satu partai pendukung dan satu penentang (oposisi). Negara itu disebut negara yang menganut sistem dua partai (dwi Partai) seperti : Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, Philipina dan lain-lain ;
- Rusia (Uni Soviet) menganut sistem satu partai (partai tunggal). Partai politik yang diizinkan hanyalah satu yaitu Partai Komunis Rusia. Selama pemerintahan Partai Komunis, Rusia menjalankan demokrasi dalam panggung tertutup di rapat-rapat internal Partai Komunis (mis ; dalam rapat Politbiro, konggres Partai dll). Negara-negara demokrasi barat (Amerika Serikat, Inggris dll) menjalankan demokrasi dalam panggung terbuka melalui Pemilihan Umum yang diikuti oleh seluruh partai pendukung, penentang (oposisi) dll - diikuti oleh segenap warganegara - secara terbuka. Sistem satu partai (partai tunggal) antara lain dianut oleh China, Cuba, dan Korea Utara ;
- Partai-partai politik di negara jajahan pada umumnya adalah partai yang menentang (oposisi) kebijakan pemerintah penjajahan. Partai-partai politik di Indonesia timbul pada awal abad ke-20, karena adanya kesadaran pribumi terhadap kebijakan tidak adil dari kaum penjajah (kolonialis). Timbulnya partai-partai politik di negara jajahan dipicu :
- konflik antara negara-negara kolonialis di Eropa menjelang Perang Dunia I dan Perang Dunia II ;
- kemenangan kaum sosialis (bolshevik) dalam revolusi Rusia 1917, yang mengakibatkan menyebarnya faham sosialisme revolusioner ke tubuh partai-partai di negara-negara jajahan ;
- kemenangan tentara Jepang dalam Perang Rusia-Jepang tahun 1905 .
- Partai politik di Indonesia sampai dengan proklamasi kemerdekaan tgl 17 Agustus 1945 memiliki andil yang sangat signifikan dalam membawa ke Indonesia Merdeka (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Namun setelah tgl 17 Agustus 1945 karena perbedaan pandangan dari partai-partai politik mengenai dasar negara yang tidak dapat dipertemukan khususnya di Konstituante (1956) serta keterlibatan partai PSI dan Masyumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta (1957), maka andil partai-partai politik terhadap Indonesia Merdeka sedikit demi sedikit didesak oleh kekuatan sosial politik militer (TNI) ;
- Setelah dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 sampai terbentuknya Orde Baru (1966) andil kekuatan sosial politik TNI semakin dominan, karena akibat keterlibatan kaum komunis PKI dalam kudeta G30S Oktober 1965 dan adanya perpecahan di kalangan partai-partai politik. Bahkan selama masa Orde Baru sampai munculnya gerakan reformasi (1998), andil partai politik dlm menyusun kebijakan pemerintah di titik terendah ;
- Setelah Suharto lengser (berakhirnya Orde Baru) dan munculnya gerakan reformasi mengakibatkan militer (TNI) dalam kegiatan sosial-politik menjadi sangat terbatas, kalau tidak dikatakan hilang sama sekali. Dengan demikian partai politik di Indonesia memiliki kesempatan sangat luas dalam memberikan andilnya bagi Indonesia Merdeka di bidang politik, ekonomi, dan budaya, namun kini partai politik di Indonesia harus menghadapi tantangan yang lebih berat daripada sebelumnya seperti :
- tuntutan publik yang terus semakin meningkat ;
- harus mampu bekerja sebagai organisasi partai modern dalam mengelola sumberdaya ;
- harus mampu menghadapi neo-kolonialisme, neo-imperialisme, dan globalisasi dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
Demikianlah bahasan dan
renungan singkat tentang partai politik. Kritik dan koreksi dari semua fihak
sangat diharapkan.
Semoga bermanfaat !
*
However (polital parties) may now and then answer popular ends, they are likely in the course of time and things, to become potent engines, by which cunning, ambitious, and unprincipled men will be enabled to subvert the power of the people and to usurp for themselves the reins of government, destroying afterward the very engines which have lifted them to unjust dominion (George Washington)
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar