Ngunandiko.26
Tinggal di rumah pondokan
(rumah kost)
Pada tahun 1950-an saya tinggal di rumah pondokan (rumah-kost) di kota
Yogyakarta. Penghuni rumah-kost tersebut terdiri dari pemilik rumah suami &
isteri, seorang anak bungsu-nya, dua orang pembantu, dan kami anak kost sebanyak 5 (lima) orang. Keadaan
rumah kost di Yogyakarta pada waktu itu berbeda dengan waktu sekarang (tahun 2000-an).
Pada waktu itu kami anak pondokan (anak kost) dianggap oleh pemilik rumah
sebagai keluarga ; makan, minum, cuci pakaian lain-lain
diperlakukan-nya sebagai bagian dari keluarga.
Rumah kost kami terletak dijalan besar di suatu wilayah di kota Yogyakarta,
kami masing-masing anak kost tinggal di kamar yang cukup luas lk 3.5 x 3 m2
; makan, minum, dan cucian telah termasuk dalam
biaya kost. Kami membayar biaya kost setiap bulan Rp 25.00 – umumnya hanya Rp
15.00 s/d Rp 20.00 – harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 10 pada bulan
yang bersangkutan. Seperti diketahui pada waktu ini (2010) biaya kost di Yogya
sekitar Rp 150.000 s/d Rp 250.000 per
bulan per orang per kamar, dan harus dibayar setidaknya per tiga bulan
sekaligus dimuka. Makan, minum, cucian dan lain-lain harus ditanggung oleh anak
kost itu sendiri.
Saya dan putra bungsu pemilik kost masih duduk di kelas tiga SMA ; anak
kost yang lain adalah mahasiswa, salah seorang diantaranya sudah ditingkat
akhir (doktoral). Biasanya hanya putra bungsu pemilik rumah kost yang makan
bersama kami anak-anak kost. Bapak & ibu pemilik kost sekali-kali juga
makan bersama kami, diikuti dengan memberi petuah-petuah layaknya orang tua.
Sebagai anak kost kami memperoleh makan malam,
makan siang dan makan pagi (sarapan). Sarapan biasanya nasi goreng atau roti
berlapis dengan isi daging (sandwich), minumam (air putih, teh manis, dll) . Setiap
hari Senen pagi kami memperoleh tambahan minuman satu gelas “susu sapi murni”
yang telah tersedia di meja makan sejak jam 6.15 sampai jam 8.00 pagi ditempat biasanya kami duduk ; putra bungsu dan anak
kost mendapatkan jatah yang sama masing-masing satu gelas.
Umumnya kami – termasuk putera bungsu – sarapan pagi bersama-sama, karena
jam pelajaran atau jam kuliah kami sama. Namun seringkali kakak kami yang sudah
ditingkat doktoral tersebut terlambat makan pagi, karena jam kuliahnya tidak
selalu pagi. Jika “si doktoral” terlambat makan pagi (sarapan), maka ia selalu
tidak kebagian “susu sapi murni” lagi karena di-sikat (diminum) oleh teman-teman
– maklum kami masih muda-muda sedang doyan-doyannya makan – yang sering jahil.
Pada suatu hari Senen pagi – entah
karena apa – “si doktoral” tergesa-gesa pergi dan tidak sempat sarapan dan
minum , namun rupanya ia ingin “jatah susu sapi murni” untuknya tidak disikat
oleh teman lain, maka dibawah gelas susu tersebut diletakkannya kertas dengan tulisan sudah saya ludahi (mungkin maksud-nya agar jangan disikat seperti
biasanya). Setelah beberapa lama “si
doktoral” pun kembali ke rumah kost dan hendak minum susu sapi murni yang
menjadi jatahnya. Namun ternyata kertas dengan tulisan sudah
saya ludahi tersebut ada tambahan tulisan sudah saya ludahi juga. “Si doktoral” pun terpaksa membatalkan
maksudnya minum susu murni yang menjadi jatahnya. Dan untuk di hari Senen pagi
itu segelas susu sapi murni tidak ada yang meminumnya.
*
Ke-tidakadil-an yang sama-sama dirasakan adalah sama dengan setengah
keadilan
(Nietzsche)
*