Ngunandiko. 101
Kartini
Kartini |
Pada kesempatan merayakan “Hari Kartini” tanggal 21 April, 2016 ini, “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkannya secara singkat tokoh wanita Kartini tersebut.
Sebagaimana diketahui perjuangan Kartini kini telah memberi arti terhadap kedudukan wanita di Indonesia, hal itu utamanya karena keadaan sbb :
- Pada masa Kartini memasuki usia remaja—pada akhir abad ke-19, keadaan wanita di Indonesia adalah masih sangat buruk. Sebagian besar wanita Indonesia tidak berpendidikan, buta huruf, dan sering diperlakukan sebagai layaknya benda, hal seperti itu terlihat dalam contoh yang digambarkan oleh Tan Malaka seperti berikut ini . . . . . . . “Bahwa pada masa itu, jika seseorang (mis : petani) meminjam uang dari seorang rentenier (misal : seorang tuan tanah Arab, namakan saja sebagai tuan Halal bin Fulus) ; maka si petani itu perlu mengagungkan sesuatu yang menjadi miliknya seperti tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dan saat ia tidak bisa melunaskan hutangnya; sedangkan hutang dan bunganya makin lama bertambah yang mesti dibayarnya. Kalau kebetulan si petani mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tidak suka si perawan, karena si petani kebuntuan jalan, perkara hutang dapat dihabiskan dengan suatu perdamaian diantara tuan Fulus dengan si petani itu berdua saja—si perawan diserahkan ke tuan Fulus. Namun kalau si petani hanya punya anak bujang (lelaki) saja, maka disini timbullah percecokan. Tuan Fulus marah dan pergi mengadu ke Pengadilan. Dan dalam keadaan seperti itu hampir pasti Pengadilan memenangkan si tuan Fulus “. . . . . . . Begitulah kira-kira keadaan masyarakat pada waktu itu, wanita pada posisi yang sangat rawan dan sering menjadi korban. Dengan demikian apa yang diperjuangkan Kartini secara diam-diam maupun secara terbuka mendapat tempat di hati wanita.
- Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia menyadari bahwa keadaan wanita Indonesia yang buruk itu perlu diperbaiki sejalan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945. Pemerintah RI melihat bahwa Kartini telah berjuang bagi wanita Indonesia agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Presiden Pertama Republik Indonesia, Sukarno mengetahui bahwa Kartini selagi remaja telah banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan perjuangan wanita a.l buku “Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta” karya Multatuli ; “De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)” karya Louis Coperus ; “Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata)” karya Berta Von Suttner ; dan penulis-penulis lain seperti Augusta_de_Wit ; Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek. Oleh karena itu Sukarno menghargai apa yang telah dilakukan oleh Kartini. Disamping itu Kartini juga telah melakukan komunikasi dan dialog dengan berbagai kalangan tentang faham-faham baru dan kedudukan wanita. Hal itu telah menyebabkan Kartini mempunyai pandangan yang luas dan maju tentang peranan wanita dalam kehidupan ini. Dan hal itu juga diperjuangkan oleh Kartini dengan aksi yang nyata.
- Perjuangan yang dilakukan oleh Kartini itu telah bergema dalam masyarakat Indonesia—sejalan dengan bangkitnya semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal itu antar lain tampak dari kiprahnya wanita-wanita Indonesia seperti SK Trimurti, dimana dia berjuang dengan mengasuh surat kabar untuk menentang penjajahan Belanda. Tidak hanya terbatas pada upaya seperti yang dilakukan SK Trimurti itu, tidak sedikit wanita Indonesia yang dapat merebut posisi terhormat dalam masyarakat—setelah berdirinya Negara Republik Indonesia, sebagai politisi, pengusaha, professional, ilmuwan, ataupun posisi-posisi terhormat lain-nya.
Keluarga Kartini |
Dalam kesempatan ini pula “Ngunandiko” juga ingin menyampaikan secara singkat gambaran tentang diri keluarga Kartini sbb:
- Ayah Kartini adalah R.M Sosroningrat putera Ario Tjondronegoro IV , Ario Tjondronegoro IV adalah seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati Jepara ;
- Ibu kandung Kartini adalah M.A Ngasirah puteri seorang Kiai (guru agama) dari Telukawur (Jepara) ;
- M.A Ngasirah adalah rakyat biasa (bukan keturunan bangsawan), namun konon dari garis ayah Kartini masih keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, dan masih memiliki hubungan darah dengan para bangsawan kerajaan Majapahit.
- Ayah Kartini (bupati Jepara), selain menikah dengan Ngasirah, juga menikah dengan Raden Ajeng Woerjan seorang puteri bangsawan keturunan Raja Madura ;
- Kartini memiliki saudara sebanyak 11 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Kartini merupakan anak ke -5, namun merupakan anak wanita tertua.
- Sebagai anak bangsawan Kartini berhak memperoleh pendidikan (sekolah). Kartini disekolahkan oleh ayahnya di ELS (Eropese Lagere School) sampai berumur 12 tahun, dan Kartini mampu menguasai bahasa Belanda dengan baik.
- Setelah berumur 12 tahun, Kartini tinggal dirumah saja (dipingit). Meskipun berada di rumah saja, Kartini aktip melakukan korespondensi (dengan bahasa Belanda) dengan teman-temannya di negeri Belanda. Akibat korespondensi tersebut, Kartini mulai tertarik akan faham-faham yang mulai berkembang di Eropa (cq.Belanda). Sejak saat itu, Kartini pun mulai berpikir untuk memajukan kedudukan wanita pribumi yang dianggapnya masih terbelakang.
Demikianlah bahasan dan renungan singkat tentang Kartini, seorang wanita yang menyandang salah satu gelar pahlawan nasional Indonesia. Semoga bermanfaat.
*
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar