Ngunandiko.99
Land
Reform
The
concept of land reform has varied over time according to the range of functions
which land itself has performed:
as a factor of production, a store of value and wealth, a status symbol, or a
source of social and political influence (Encyclopedia
Britannica).
Menurut “The New Grolier Webster International
Dictionary” landreform adalah program redistribusi tanah pertanian—Land reform, a program, usually, sponsored
by a government, to redistribute agricultural land more equitably. Pada akhir tahun 1990-an HCRI (Himpunan Cendekiawan Republik
Indonesia) menyelenggarakan diskusi (brainstroming) mengenai “Land Reform”. Dan pada
kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan kembali hasil
diskusi (brainstroming) itu.
Seperti diketahui Lenin
(1870 – 1924), di Petrograd pada tanggal 7 Nopember 1917, telah memerintahkan penghapusan hak milik
perorangan atas tanah di Rusia. Oleh
karena itu Lenin dipandang sebagai orang pertama yang mencetuskan gagasan Land
Reform ; “land to the tiller” untuk
memikat hati rakyat dan petani yang menderita
tekanan dari para landlord, khususnya di Negara-negara blok Rusia.
Sementara itu Michael_Lipton (1937 - . . .) mengatakan bahwa landreform
adalah “pengambil-alihan tanah secara
paksa, biasanya dilakukan oleh Negara, dari pemilik-pemilik tanah yang luas”.
Hal itu dilakukan dengan tujuan agar manfaat dari hubungan antara manusia
dengan tanah dapat lebih merata daripada sebelum pengambil-alihan.
Salah satu akibat
dari “landreform” adalah terjadinya perubahan kepemilikan dan penguasaan atas
tanah dari orang-orang tertentu yang berjumlah relative kecil (tuan-tuan tanah, perusahaan-perusahaan
perkebunan, perternakan dll) ke orang-orang lain yang berjumlah lebih
besar. Sudah tentu perubahan kepemilikan atas tanah itu berdampak pada aspek politik, ekonomi, social dan
aspek-aspek lain dari suatu Negara.
Untuk memberi
gambaran tentang “landreform”, berikut ini adalah contoh sejumlah peristiwa
yang dipandang sebagai aktivitas landreform di suatu wilayah atau Negara di
masa-masa yang lalu sbb :
1. Pada masa Yunani Kuno (sekitar tahun
549 SM), pemerintahan Solon telah melakukan reforma agrarian (landreform)
dengan menerbitkan undang-undang agrarian (Seisachtheia). Undang-undang agrarian
ini diterbitkan untuk menghadapi kemungkinan pemberontakan “hektemor”.
Solon |
2. Di Romawi Kuno, Tiberius-Gracchus (169 – 133 SM) ; anggota Tribune of The Roman Republic, berhasil meng-goal-kan Undang-undang Agraria yang intinya penetapan batas maksimum penguasaan atas tanah. Tanah kelebihan (yaitu kelebihan dari batas maksimum) harus diserahkan kepada Negara—dengan ganti rugi, kemudian dibagikan kembali ke para petani kecil ataupun petani tanpa tanah. Undang-undang Agraria (reforma agrarian) tersebut bertujuan mencegah terjadinya pemberontakan di Roma.
3.
“Enclosure Movement” di Inggris ;
Gerakan ini berlangsung kira-kira pada abad ke-12 s/d abad ke-14. Enclosure
movement merupakan suatu proses peng-kapling-an tanah-tanah pertanian dan
padang penggembalaan—yang semula dapat
disewa oleh umum menjadi tanah-tanah individu. Hal ini utamanya dilakukan
oleh tuan-tuan tanah yang karena tekanan pasar lalu mengalihkan usahanya dari pertanian
ke peternakan sehingga memerlukan tanah-tanah peternakan sendiri.
4.
Revolusi Perancis (1789 – 1799) ; salah
satu sisi dari Revolusi Perancis adalah gerakan reformasi agrarian
besar-besaran, yang pertama kali terjadi pada jaman modern. Sistem penguasaan
tanah feudal dihancurkan. Tanah dibagikan kepada petani dan petani budak yang baru
saja dibebaskan. Revolusi Perancis dalam hal reforma agrarian merupakan suatu pembaharuan sbb :
- membebaskan petani dari ikatan “tuan – budak” (serfdom) dari system feudal ;
- melembagakan usaha tani keluarga yang kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal.
Gagasan ideal reforma agrarian di Perancis ini telah membawa
pengaruh luas ke seluruh Eropa terutama Eropa Barat dan Utara. John Stuart Mill
(1806 – 1873) pada tahun 1870 membentuk “Land Tenure Reform Association” yang
banyak mendorong dilakukannya pembaharuan di Inggris, dimana feodalisme
digantikan dengan system penyekapan (tenancy).
5. Bulgaria adalah salah satu negara yang
telah melakukan pembaharuan agraria di sekitar tahun 1880-an. Pembaharuan itu merupakan pembaharuan yang
komprehensif, bukan saja redistributive landreform, tetapi mencakup pula secara
terpadu program-program penunjangnya seperti :
- koperasi kredit;
- pusat tabungan untuk kepentingan usaha pengolahan tanah;
- pengemasan (kalengan) hasil-hasil pertanian ;
- pembinaan usaha tani intensif dll.
6.
Meksiko ; Pada tahun 1859, Benito-Juarez (1806 – 1872) telah menyita tanah-tanah gereja dan
membagikannya ke petani-petani, namun usaha itu baru berhasil melakukan
perubahan besar-besaran pada tahun 1910.
Setelah peristiwa perubahan besar-besaran itu, yang dikenal sebagai “Revolusi
1911”, maka pada konstitusi Meksiko tahun 1917 telah dicantumkan adanya
reformasi kepemilikan tanah (dan juga
reformasi perburuhan). Hal itu berarti bahwa kepemilikan tanah-pribadi
menjadi subordinasi dari kepentingan umum, sehingga memungkinkan pemerintah
(Negara) melakukan ambil-alih ladang-ladang dan nasionalisasi sumberdaya alam
dibawah tanah (mis : minyak dan gas bumi dll).
Namun
semasa pemerintahan liberal presiden Porfirio Díaz (1830 - 1915), situasi
kepemilikan tanah di Meksiko menjadi sangat buruk. Boom ekonomi di akhir abad ke-19 berakibat
haciendas (pemilik kebun, tambang dll
yang luas) memperluas dan aktif
menggusur para penghuni yang tanahnya tidak sepenuhnya digunakannya.
Pada
akhir pemerintahan presiden Porfirio Díaz hampir semua (l.k 95%) desa telah kehilangan
tanah mereka. Ekspansi kebun-kebun tebu (gula) telah memicu protes para petani terhadap rezim
Díaz, dan merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya “Revolusi Meksiko 1910 – 1920”.
Selama
presiden Alvaro Obregon (1920-1924)., Meksiko mulai berkonsentrasi pada
reformasi agrarian. Reformasi agrarian ini adalah untuk melakukan redistribusi tanah sebagai
bagian dari proses nasionalisasi dan "Mexicanization". Proses itu telah mempengaruhi pemilik tanah asing dan pemilik tanah besar
(hacendas). Walaupun proses ini sangat lambat, namun antara tahun 1915 s/d
1928, lebih dari 50.000 sqkm tanah telah dapat didistribusikan ke lebih dari
500.000 penerima di lebih kurang 1.500 tempat. Sampai tahun 1930, kepemilikan tanah komunal hanya merupakan lk
6,0% dari properti nasional pertanian (berdasarkan wilayah) atau lk 9,0%
(berdasarkan nilai).
Sejak
pemerintahan Miguel Alemán (1946-1952), langkah-langkah reformasi tanah di Meksiko
telah berubah arah. Pemerintahan Alemán
membolehkan pengusaha menyewa lahan petani. Fenomena ini kemudian
dikenal sebagai "neo latifundismo,"—tanah yang tidak dimiliki oleh pemilik tunggal tetapi oleh perusahaan
misalnya “Del Valle” atau “Del Monte”, dimana pemilik tanah membangun a.l peternakan
swasta skala besar dan usaha-usaha lain.
Dengan
berjalannya waktu arah reformasi agrarian di Meksiko telah berubah-uabah sesuai
dengan fungsi tanah tersebut bagi kekuatan politik yang sedang berkuasa. The concept of land reform has varied over time
according to the range of functions which land itself has performed: as a factor of production, a store of
value and wealth, a status symbol, or a source of social and political
influence.
7.
Di Rusia pada periode 1906 – 1911 telah
lahir pembaharuan (reform) yang dikenal sebagai “Stollpin Reform” . Inti dari
reform tersebut adalah para petani dibebaskan dari komune-komune dan menjadi
pemilik tanah secara bebas. Kebebasan itu mengakibatkan terjadinya kesenjangan
yang tajam antara petani kaya (kulak) dan petani tanpa tanah.
Dengan berhasilnya kaum komunis (Bolsjewiki)
merebut kekuasaan di Rusia melalui “Revolusi 1917”, maka Lenin a.l telah memutuskan untuk menghapuskan hak milik perorangan
atas tanah di Rusia. Hal itu telah memberi ciri radikal pada
reforma agrarian di Uni Soviet tersebut sbb :
- Hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan ;
- Tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya) dilarang ;
- Penguasaan tanah absentee dilarang ;
- Hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas dasar criteria luas seorang petani telah benar-benar menggarap tanah itu ; dan
- Menggunakan buruh upahan dilarang.
Reformasi agrarian di Uni Soviet ini
diikuti oleh banyak Negara terutama Negara-negara blok Uni Soviet.
8. Pada
pasca Perang Dunia II, telah di-deklarasi-kan The Peasants’ Charter ; Berdasarkan
deklarasi tersebut, telah dilancarkan reforma agraria di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan dibawah
pengawasan tentara “Sekutu”. Reforma agrarian
itu kemudian berkembang ke berbagai
negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, terutama pada tahun-tahun 1950-an
dan 1960-an. Setiap negara memiliki ciri sendiri dalam melakukan reforma
agraria.
Sementara
itu pada bulan Juli tahun 1979 di Roma diselenggarakan oleh “Perserikatan
Bangsa-bangsa (Food and Agriculture Organization of the United Nations)” konperensi dunia mengenai reforma agraria dan
pembangunan pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural
Development). Konperensi ini berhasil merumuskan suatu deklarasi tentang prinsip-prinsip
dan program kegiatan (declaration of
principles and programe of action), yang disebut piagam petani (the
peasents’ charter).
. . . . . . “piagam petani” ini berorientasi lapisan
masyarakat pedesaan. Hal itu berarti bahwa sesungguhnya ditingkat dunia telah
ada ketentuan mengenai perlunya program
reforma agraria sebagai dasar
pembangunan.
Dalam
piagam petani itu dinyatakan bahwa tujuan reforma agraria dan pembangunan
pedesaan adalah transformasi kehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua aspek-nya
yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, kelembagaan, lingkungan dan
kemanusiaan.
Sasaran
dan strategi untuk mencapai tujuan itu haruslah dipusatkan pada penghapusan
kemiskinan, dan dikendalikan oleh kebijaksanaan yang berusaha mencapai
pertumbuhan, pemerataan, redistribusi penguasaan ekonomi, redistribusi
penguasaan politik serta partisipasi
rakyat.
Inti
dari piagam petani itu adalah bahwa program reforma agraria dan pembangunan
pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang dan tiga
tingkat yang saling berkaitan yaitu :
- tingkat desa—mengikutsertakan lembaga pedesaan ;
- tingkat nasional—reorientasi kebijakan pembangunan ;
- tingkat internasional—mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata ekonomi internasional baru.
Isi
“piagam petani” ini berorientasi kepada lapisan masyarakat pedesaan. Hal itu
berarti bahwa sesungguhnya ditingkat dunia telah ada ketentuan mengenai perlunya program reforma agraria sebagai dasar pembangunan.
9.
Di Zimbabwe land-reform secara resmi di
mulai pada tahun 1980 sebagai kelanjutan ditanda tanganinya “Lancaster House Agreement”
(agreement Desember 1979 tentang
konstitusi, pengaturan pra-kemerdekaan, dan gencatan senjata). Land-reform
tersebut adalah usaha untuk membagi tanah secara lebih adil antara petani kulit
hitam dan petani kulit putih.
Sebagaimana
diketahui petani kulit putih (white
Zimbabweans of European ancestry), pada masa kolonialisme, memiliki status (politik,
ekonomi, dan social) yang lebih tinggi daripada petani kulit hitam. Land reform
yang ditujukan untuk menghilangkan ketidak adilan dalam kepemilikan tanah di
Zimbabwe tersebut tidak mudah dilaksanakan karena :
- populasi kulit hitam yang meledak—setelah Zimbabwe merdeka sehingga membutuhkan tanah (land hunger) yang luas; dan
- sector ekonomi — a.l penyedia : lapangan kerja; komoditi ekspor (kopi, gula, kapas, tembakau dll); dan makanan khususnya daging – dapat terganggu, dimana sector ekonomi tersebut masih di dominasi oleh kulit putih.
- pemerintah Zimbabwe tidak memiliki dana yang cukup untuk dapat melaksanakan landreform tersebut.
10.Reforma
agrarian di Indonesia : Seperti diketahui sejahtera atau tidaknya rakyat
disuatu Negara sangat ditentukan oleh pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah
(agrarian). Dengan perkataan lain kemajuan suatu Negara umumnya didahului oleh
perombakan stuktur agrarian Negara tersebut menjadi struktur agrarian yang
lebih adil dan lebih efisien daripada sebelumnya. Sebagai gambaran tampak dari
peristiwa-peristiwa di Perancis, Amerika Serikat, Rusia dan lain-lain seperti
yang telah diuraikan diatas.
Indonesia (setelah proklamasi 17
Agustus 1945) secara resmi melakukan reforma agrarian pada 24 September 1960 ;
Indonesia tampaknya menyadari pentingnya
reforma agrarian tersebut, namun karena perbedaan pandangan dari kekuatan-kekuatan
politik yang ada di Indonesia—dan sangat
mungkin juga karena pengaruh dari luar, Indonesia baru dapat menetapkan
suatu UU sebagai sikap politik agraria nasional pada tanggal 24 September 1960.
UU itu dikenal sebagai UU No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (disingkat UUPA).
UUPA
tersebut sangat penting dalam hukum Nasional Indonesia terutama dalam hal pembaruan
agraria yaitu ketentuan-ketentuan mengenai Landreform seperti :
- ketentuan-ketentuan mengenai luas maksimun-minimum hak milik atas tanah (pasal 7 dan 17ayat (1) UUPA); dan
- pembagian tanah kepada petani tak bertanah (Pasal 17 ayat (3) UUPA).
Sementara
itu pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan-ketentuan dalam Landreform (UUPA)
tersebut adalah :
- UU No.56 Prp 1960 tentang Penetapan Luar Tanah Pertanian (lebih dikenal dengan UU landreform); dan
- PP no.224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Tujuan
landreform ini adalah untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani
penggarap, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan
ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
UUPA
dalam pelaksanaannya banyak menghadapi hambatan, termasuk pro-kontra tentang substansialnya
dan kecurigaan terhadap penyusupan paham komunis di dalamnya. Akibat
kendala-kendala itu, maka landreform yang begitu krusial sempat tidak berjalan dalam
waktu yang lama.
Sejak
awal pelaksanaan landreform di Indonesia sekitar tahun 1961 sampai dengan tahun
2002 setidak-tidaknya sebanyak lk 850.000 hak tanah obyek landreform sudah
didistribusikan kepada lk 1,5 juta
keluarga petani yang tersebar diseluruh Indonesia. Ladejinsky yang diundang oleh Presiden Soekarno
(tahun 1960-an) untuk membantu
melakukan evaluasi program landreform di Indonesia berpendapat bahwa program landreform ini tidak
akan berhasil. Hal itu karena sangat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk membeli
atau menguasai tanah-tanah luas yang akan dibagikan.
Pada
kunjungannya yang pertama (1961), Ladeijensky
mengatakan bahwa keadaan tanah di Jawa
dan penduduknya yang sangat banyak, maka
luas tanah yang akan dibagikan (maksimum
bahkan minimum), tidak mungkin dapat tersedia. Namun jika konsistensi
pemantau batas pemilikan tanah dapat terus
dijaga (batas maksimal maupun minimal), maka tentu masalah keadilan dibidang pertanahan tidak akan
merebak.
Pelaksanaan
landreform dari sekitar tahun 1961 sampai dengan tahun 2002, setidak-tidaknya hampir
1 juta hak atas tanah yang telah tecatat—walaupun
belum tercatat secara sempurna. Hal ini mengakibatkan luas tanah obyek landreform yang akan dibagikan menjadi tidak tepat. Kelemahan ini sangat rawan dan membuka
peluang bagi penyelenggara landreform untuk melakukan penyimpangan dan
penyelewengan.
Dalam
keadaan seperti itu (tanah belum tercatat
dengan sempurna) dan kebijakan ekonomi pemerintah yang condong pada
pertumbuhan ketimbang pemerataan, maka pemilik modal lebih diuntungkan. Data
sensus pertanian tahun 1983 dan 1993 misalnya menyebutkan ternyata hampir 2
(dua) juta petani di Jawa telah tergusur dan melorot statusnya menjadi buruh
tani, karena lahan-lahan mereka digunakan untuk pembangunan prasarana ekonomi,
kawasan industri dan perumahan tanpa konpensasi yang memadai.
Reformasi
agrarian di Indonesia ini berjalan sangat lambat, kalau tidak dapat dikatakan
sebagai macet. Keadaan macet ini memiliki potensi besar menimbulkan berbagai kekacauan.
. . . . . . reformasi
agrarian dapat tampak berbeda antara yang diumumkan oleh para pembaharu
(pemerintah/Negara) dengan tujuan yang sesungguhnya. Perbedaan tersebut dapat sangat signifikan.
Dari contoh-contoh diatas,
terlihat bahwa untuk keperluan menyelesaikan atau mencegah krisis ekonomi, sosial,
dan politik, reformasi agrarian telah sejak
lama dilakukan di berbagai wilayah dan Negara. Hal itu karena pemilikan dan penguasaan tanah sangat
berpengaruh terhadap masalah-masalah ekonomi, social, dan politik di suatu
wilayah atau Negara.
Seperti juga terlihat dari
contoh-contoh diatas, reformasi agrarian dari waktu ke waktu mengalami
perubahan, terutama karena berubahnya
hubungan antar manusia dan berubahnya cara-cara manusia berproduksi.
Reformasi agrarian biasanya
dilakukan atas inisiatif pemerintah/Negara, serta dianggap sebagai suatu mekanisme
pemecahan masalah. Reformasi agrarian sering digunakan untuk menyelesaikan atau
mencegah krisis ekonomi, sosial, dan politik dll—yang disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal di
suatu wilayah atau Negara.
Jka reformasi tersebut
tidak didukung secara bulat oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di wilayah
atau Negara itu, maka tujuan reformasi dapat tampak berbeda antara yang
diumumkan oleh para pembaharu (pemerintah/Negara) dengan tujuan yang
sesungguhnya. Perbedaan tersebut dapat
sangat signifikan. Para pembaharu (pemerintah/Negara) hanya memberitahukan hal-hal tertentu yang menguntungkan seperti dapat : (1). menenangkan gejolak
masyarakat; (2) memperoleh dukungan para petani; (3). melemahkan kekuatan oposisi; (4). memenangkan dukungan internasional; (5). memenangkan
PEMILU; dan lain-lain.
Seperti diketahui reformasi
agrarian di hampir semua Negara pada dasarnya adalah untuk :
- meningkatkan pembagian kepemilikan dan penguasaan tanah secara lebih adil daripada sebelumnya ;
- meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemakaian tanah.
Sementara itu di tingkat
dunia telah ada ketentuan mengenai
perlunya program reforma agraria sebagai
dasar pembangunan. Intinya adalah bahwa program reforma agraria dan pembangunan
pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang dan tiga
tingkat yg saling berkaitan yaitu :
- tingkat desa—mengikutsertakan lembaga pedesaan ;
- tingkat nasional—reorientasi kebijakan pembangunan ;
- tingkat internasional—mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata-ekonomi-internasional-baru.
Demikianlah secara singkat
bahasan dan renungan tentang reformasi agraria, semoga bermanfaat.
*
Each generation doubtless
feels called upon to reform the world. Mine knows that it will not reform it,
but its task is perhaps even greater. It consists in preventing the world from
destroying itself (Albert-Camus).
*
Bung Wahyudi ! "Ngunandiko" tdk tau persis siapa yg menguasai dan memiliki sebagian besar tanah-tanah di JABOTABEK, tapi tanah-tanah di lokasi strategis telah dikuasai oleh beberapa pengembang (perusahaan).
BalasHapusBung Wahyudi ! Sumber-sumber yg di kutip "Ngunandiko" selalu diusahakan "link"-nya, termasuk tulisan "Landreform" ini.
BalasHapusBung Wahyudi !
BalasHapusMasalah penyerobotan ruang (tanah) di Jabotabek pada waktu ini dalam garis besarnya dapat dibagi dua :
(1) yg diserobot oleh orang-orang kaya (pengembang) yaitu tanah di pantai dan pulau-pulau. Ruang itu diserobot dari nelayan dan pelaut tradisional yang sejak dahulu menggunakannya. Ruang (tanah) diurug (reklamasi) oleh orang-orang kaya (pengembang) untuk usaha guna menambah kekayaannya. Semuanya itu legal karena dilegalisir oleh pemda tingkat atas (gubernur) ;
(2) yg diserobot oleh orang-orang miskin yaitu tanah di bantaran sungai, tanah kosong milik BUMN/BUMD dll untuk tempat tinggal dan berdagang guna menompang hidupnya. Semuanya itu dianggap liar (illegal), karena hanya dilegalisir oleh pemda tingkat bawah (lurah atau bawahannya). Celakanya dengan kedok penertiban dan pembangunan, mereka itu banyak yang digusur dengan semena-mena.
Jika masalah tersebut diatas maju ke pengadilan, dapat dipastikan orang-orang kaya (pengembang) itu memenangkannya, namun orang-orang miskin itu pasti mengalami kekalahan.
Bung Wahyudi ! Tulisan ini ada hubungannya dg "landreform" saya kutip dari "TIRTO" : Kamis 17 November 2016, seratusan petani Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menggelar aksi untuk menolak proses pengukuran lahan pertanian yang akan disulap menjadi Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Warga mengaku tak ada kesepakatan sebelumnya.
BalasHapusSelain menembaki petani dengan gas air mata, polisi juga menangkap tujuh orang petani. Serangan polisi terhadap massa aksi itu mengakibatkan tanaman di sekitar 70 hektare sawah dan dua saung milik petani rusak.
Apa yang terjadi di Sukamulya bukanlah satu-satunya konflik agraria yang disebabkan oleh proyek pembangunan infrastruktur. Sejak 2013, pembangunan infrastruktur kerap jadi biang kerok konflik lahan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 105 konflik agraria yang disebabkan proyek infrastruktur. Tahun 2014, angkanya melonjak dua kali lipat lebih, menyentuh 215 konflik.