Sabtu, 13 Februari 2016

Landreform

Ngunandiko.99

                                                             

Land Reform


The concept of land reform has varied over time according to the range of functions which land itself has performed: as a factor of production, a store of value and wealth, a status symbol, or a source of social and political influence (Encyclopedia Britannica).

Menurut “The New Grolier Webster International Dictionary” landreform adalah program redistribusi tanah pertanian—Land reform, a program, usually, sponsored by a government, to redistribute agricultural land more equitably. Pada akhir tahun 1990-an HCRI (Himpunan Cendekiawan Republik Indonesia) menyelenggarakan diskusi (brainstroming) mengenai    “Land Reform”.  Dan  pada kesempatan ini “Ngunandiko” ingin membahas dan merenungkan kembali hasil diskusi (brainstroming) itu.
Seperti diketahui Lenin (1870 – 1924), di Petrograd pada tanggal 7 Nopember 1917,  telah memerintahkan penghapusan hak milik perorangan atas tanah di Rusia.  Oleh karena itu Lenin dipandang sebagai orang pertama yang mencetuskan gagasan Land Reform ; “land to the tiller” untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita  tekanan dari para landlord, khususnya di Negara-negara blok Rusia.
Sementara itu Michael_Lipton (1937 - . . .) mengatakan bahwa landreform adalah “pengambil-alihan tanah secara paksa, biasanya dilakukan oleh Negara, dari pemilik-pemilik tanah yang luas”. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar manfaat dari hubungan antara manusia dengan tanah dapat lebih merata daripada sebelum pengambil-alihan.
Salah satu akibat dari “landreform” adalah terjadinya perubahan kepemilikan dan penguasaan atas tanah dari orang-orang tertentu yang berjumlah relative kecil (tuan-tuan tanah, perusahaan-perusahaan perkebunan, perternakan dll) ke orang-orang lain yang berjumlah lebih besar. Sudah tentu perubahan kepemilikan atas tanah itu berdampak  pada aspek politik, ekonomi, social dan aspek-aspek lain dari suatu Negara.
Untuk memberi gambaran tentang “landreform”, berikut ini adalah contoh sejumlah peristiwa yang dipandang sebagai aktivitas landreform di suatu wilayah atau Negara di masa-masa yang lalu sbb :

1.   Pada masa Yunani Kuno (sekitar tahun 549 SM), pemerintahan Solon telah melakukan reforma agrarian (landreform) dengan menerbitkan undang-undang agrarian (Seisachtheia). Undang-undang agrarian ini diterbitkan untuk menghadapi kemungkinan pemberontakan “hektemor”.

Solon
Tujuan  undang-undang ini membebaskan para  hektemor  dari hutang, dan sekaligus membebaskannya dari statusnya sebagai budak di bidang pertanian. Hektemor adalah petani miskin penggarap pada tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikannya. Namun ternyata para hektemor tersebut sebagian besar tetap tidak mampu menebus kembali tanahnya atau mengembalikan hutangnya, sehingga mereka menjadi semacam budak dari si pemegang gadai (petani kaya, pemilik uang). Usaha Solon ini kemudian dilanjutkan oleh Peisistratus yang melakukan reformasi agrarian melalui program redistribusi land to the tiller dan land to the landless. Petani juga diberi fasilitas perkreditan dan lain-lain.


2.    Di Romawi Kuno, Tiberius-Gracchus (169 – 133 SM) ; anggota Tribune of The Roman Republic, berhasil meng-goal-kan Undang-undang Agraria yang intinya penetapan batas maksimum penguasaan atas tanah. Tanah kelebihan (yaitu kelebihan dari batas maksimum) harus diserahkan kepada Negara—dengan ganti rugi, kemudian dibagikan kembali ke para petani kecil ataupun petani tanpa tanah. Undang-undang Agraria (reforma agrarian) tersebut bertujuan mencegah terjadinya  pemberontakan di Roma.

3.    “Enclosure Movement” di Inggris ; Gerakan ini berlangsung kira-kira pada abad ke-12 s/d abad ke-14.   Enclosure movement merupakan suatu proses peng-kapling-an tanah-tanah pertanian dan padang penggembalaan—yang semula dapat disewa oleh umum menjadi tanah-tanah individu. Hal ini utamanya dilakukan oleh tuan-tuan tanah yang karena tekanan pasar lalu mengalihkan usahanya dari pertanian ke peternakan sehingga memerlukan tanah-tanah peternakan sendiri.  

4.    Revolusi Perancis (1789 – 1799) ; salah satu sisi dari Revolusi Perancis adalah gerakan reformasi agrarian besar-besaran, yang pertama kali terjadi pada jaman modern. Sistem penguasaan tanah feudal dihancurkan. Tanah dibagikan kepada petani dan petani budak yang baru saja dibebaskan. Revolusi Perancis dalam hal reforma agrarian  merupakan suatu pembaharuan sbb :
  • membebaskan petani dari ikatan “tuan – budak” (serfdom) dari system feudal ;
  • melembagakan usaha tani keluarga yang kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal.
Gagasan ideal reforma agrarian di Perancis ini telah membawa pengaruh luas ke seluruh Eropa terutama Eropa Barat dan Utara. John Stuart Mill (1806 – 1873) pada tahun 1870 membentuk “Land Tenure Reform Association” yang banyak mendorong dilakukannya pembaharuan di Inggris, dimana feodalisme digantikan dengan system penyekapan (tenancy).

5.  Bulgaria adalah salah satu negara yang telah melakukan pembaharuan agraria di sekitar tahun 1880-an.  Pembaharuan itu merupakan pembaharuan yang komprehensif, bukan saja redistributive landreform, tetapi mencakup pula secara terpadu program-program penunjangnya seperti :
  • koperasi kredit;
  • pusat tabungan untuk kepentingan usaha pengolahan tanah;
  • pengemasan (kalengan) hasil-hasil pertanian ; 
  • pembinaan usaha tani intensif dll.

6.    Meksiko ; Pada tahun 1859, Benito-Juarez (1806 – 1872) telah menyita tanah-tanah gereja dan membagikannya ke petani-petani, namun usaha itu baru berhasil melakukan perubahan besar-besaran  pada tahun 1910. Setelah peristiwa perubahan besar-besaran itu, yang dikenal sebagai “Revolusi 1911”, maka pada konstitusi Meksiko tahun 1917 telah dicantumkan adanya reformasi kepemilikan tanah (dan juga reformasi perburuhan). Hal itu berarti bahwa kepemilikan tanah-pribadi menjadi subordinasi dari kepentingan umum, sehingga memungkinkan pemerintah (Negara) melakukan ambil-alih ladang-ladang dan nasionalisasi sumberdaya alam dibawah tanah (mis : minyak dan gas bumi dll).


Namun semasa pemerintahan liberal presiden Porfirio Díaz (1830 - 1915), situasi kepemilikan tanah di Meksiko menjadi sangat buruk.  Boom ekonomi di akhir abad ke-19 berakibat haciendas (pemilik kebun, tambang dll yang luas) memperluas dan  aktif menggusur para penghuni yang tanahnya tidak sepenuhnya digunakannya.
Pada akhir pemerintahan presiden Porfirio Díaz hampir semua (l.k 95%) desa telah kehilangan tanah mereka. Ekspansi kebun-kebun tebu (gula) telah  memicu protes para petani terhadap rezim Díaz, dan merupakan salah satu penyebab utama  terjadinya “Revolusi Meksiko 1910 – 1920”.
Selama presiden Alvaro Obregon (1920-1924)., Meksiko mulai berkonsentrasi pada reformasi agrarian. Reformasi agrarian ini adalah  untuk melakukan redistribusi tanah sebagai bagian dari proses nasionalisasi dan "Mexicanization". Proses  itu telah mempengaruhi  pemilik tanah asing dan pemilik tanah besar (hacendas). Walaupun proses ini sangat lambat, namun antara tahun 1915 s/d 1928, lebih dari 50.000 sqkm tanah telah dapat didistribusikan ke lebih dari 500.000 penerima di lebih kurang 1.500 tempat. Sampai tahun 1930,  kepemilikan tanah komunal hanya merupakan lk 6,0% dari properti nasional pertanian (berdasarkan wilayah) atau lk 9,0% (berdasarkan nilai).
Sejak pemerintahan Miguel Alemán (1946-1952), langkah-langkah reformasi tanah di Meksiko telah berubah arah. Pemerintahan Alemán  membolehkan pengusaha menyewa lahan petani. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai "neo latifundismo,"—tanah yang tidak dimiliki oleh pemilik tunggal tetapi oleh perusahaan misalnya “Del Valle” atau “Del Monte”, dimana pemilik tanah membangun a.l peternakan swasta skala besar dan usaha-usaha lain.
Dengan berjalannya waktu arah reformasi agrarian di Meksiko telah berubah-uabah sesuai dengan fungsi tanah tersebut bagi kekuatan politik yang sedang berkuasa. The concept of land reform has varied over time according to the range of functions which land itself has performed: as a factor of production, a store of value and wealth, a status symbol, or a source of social and political influence.

7.    Di Rusia pada periode 1906 – 1911 telah lahir pembaharuan (reform) yang dikenal sebagai “Stollpin Reform” . Inti dari reform tersebut adalah para petani dibebaskan dari komune-komune dan menjadi pemilik tanah secara bebas. Kebebasan itu mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang tajam antara petani kaya (kulak) dan petani tanpa tanah.
Dengan berhasilnya kaum komunis (Bolsjewiki) merebut kekuasaan di Rusia melalui “Revolusi 1917”, maka Lenin a.l telah memutuskan untuk menghapuskan hak milik perorangan atas tanah di Rusia. Hal itu telah memberi ciri radikal pada reforma agrarian di Uni Soviet tersebut sbb :
  • Hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan ;
  • Tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya)  dilarang ;
  • Penguasaan tanah absentee dilarang ;
  • Hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas dasar criteria luas seorang petani telah benar-benar menggarap tanah itu ; dan
  • Menggunakan buruh upahan dilarang.
Reformasi agrarian di Uni Soviet ini diikuti oleh banyak Negara terutama Negara-negara blok Uni Soviet.

8.    Pada pasca Perang Dunia II, telah di-deklarasi-kan The Peasants’ Charter ; Berdasarkan deklarasi tersebut, telah dilancarkan  reforma agraria  di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan dibawah pengawasan tentara “Sekutu”. Reforma agrarian  itu kemudian  berkembang ke berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, terutama pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an. Setiap negara memiliki ciri sendiri dalam melakukan reforma agraria.
Sementara itu pada bulan Juli tahun 1979 di Roma diselenggarakan oleh   “Perserikatan Bangsa-bangsa (Food and Agriculture Organization of the United Nations)”  konperensi dunia mengenai reforma agraria dan pembangunan pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development). Konperensi ini berhasil merumuskan suatu deklarasi tentang prinsip-prinsip dan program kegiatan (declaration of principles and programe of action), yang disebut piagam petani (the peasents’ charter).

. . . . . .  “piagam petani” ini berorientasi lapisan masyarakat pedesaan. Hal itu berarti bahwa sesungguhnya ditingkat dunia telah ada ketentuan  mengenai perlunya program reforma agraria  sebagai dasar pembangunan.

Dalam piagam petani itu dinyatakan bahwa tujuan reforma agraria dan pembangunan pedesaan adalah transformasi kehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua aspek-nya yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya, kelembagaan, lingkungan dan kemanusiaan.
Sasaran dan strategi untuk mencapai tujuan itu haruslah dipusatkan pada penghapusan kemiskinan, dan dikendalikan oleh kebijaksanaan yang berusaha mencapai pertumbuhan, pemerataan, redistribusi penguasaan ekonomi, redistribusi penguasaan  politik serta partisipasi rakyat.
Inti dari piagam petani itu adalah bahwa program reforma agraria dan pembangunan pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang dan tiga tingkat yang saling berkaitan yaitu :
  • tingkat desa—mengikutsertakan lembaga pedesaan ;
  • tingkat nasional—reorientasi kebijakan pembangunan ;
  • tingkat internasional—mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata ekonomi internasional baru.

Isi “piagam petani” ini berorientasi kepada lapisan masyarakat pedesaan. Hal itu berarti bahwa sesungguhnya ditingkat dunia telah ada ketentuan  mengenai perlunya program reforma agraria  sebagai dasar pembangunan.

9.    Di Zimbabwe land-reform secara resmi di mulai pada tahun 1980 sebagai kelanjutan  ditanda tanganinya “Lancaster House Agreement” (agreement Desember 1979 tentang konstitusi, pengaturan pra-kemerdekaan, dan gencatan senjata). Land-reform tersebut adalah usaha untuk membagi tanah secara lebih adil antara petani kulit hitam dan petani kulit putih.
Sebagaimana diketahui petani kulit putih (white Zimbabweans of European ancestry), pada masa kolonialisme, memiliki status (politik, ekonomi, dan social) yang lebih tinggi daripada petani kulit hitam. Land reform yang ditujukan untuk menghilangkan ketidak adilan dalam kepemilikan tanah di Zimbabwe tersebut tidak mudah dilaksanakan karena :
  • populasi kulit hitam yang meledak—setelah Zimbabwe merdeka sehingga membutuhkan tanah (land hunger) yang luas; dan
  • sector ekonomi —  a.l penyedia : lapangan kerja; komoditi ekspor (kopi, gula, kapas, tembakau dll); dan makanan khususnya daging –  dapat terganggu, dimana sector ekonomi tersebut masih di dominasi oleh kulit putih.
  • pemerintah Zimbabwe tidak memiliki dana yang cukup untuk dapat melaksanakan landreform tersebut.

10.Reforma agrarian di Indonesia : Seperti diketahui sejahtera atau tidaknya rakyat disuatu Negara sangat ditentukan oleh pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah (agrarian). Dengan perkataan lain kemajuan suatu Negara umumnya didahului oleh perombakan stuktur agrarian Negara tersebut menjadi struktur agrarian yang lebih adil dan lebih efisien daripada sebelumnya. Sebagai gambaran tampak dari peristiwa-peristiwa di Perancis, Amerika Serikat, Rusia dan lain-lain seperti yang telah diuraikan diatas.
Indonesia (setelah proklamasi 17 Agustus 1945) secara resmi melakukan reforma agrarian pada 24 September 1960 ; Indonesia  tampaknya menyadari pentingnya reforma agrarian tersebut, namun karena perbedaan pandangan dari kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia—dan sangat mungkin juga karena pengaruh dari luar, Indonesia baru dapat menetapkan suatu UU sebagai sikap politik agraria nasional pada tanggal 24 September 1960. UU itu dikenal sebagai UU No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (disingkat UUPA).
UUPA tersebut sangat penting dalam hukum Nasional Indonesia terutama dalam hal pembaruan agraria yaitu ketentuan-ketentuan mengenai Landreform seperti :
  • ketentuan-ketentuan mengenai luas maksimun-minimum hak milik atas tanah (pasal 7 dan 17ayat (1) UUPA); dan
  • pembagian tanah kepada petani tak bertanah (Pasal 17 ayat (3) UUPA).
Sementara itu pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan-ketentuan dalam Landreform (UUPA) tersebut adalah :
  • UU No.56 Prp 1960 tentang Penetapan Luar Tanah Pertanian (lebih dikenal dengan UU landreform); dan
  • PP no.224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Tujuan landreform ini adalah untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
UUPA dalam pelaksanaannya banyak menghadapi hambatan, termasuk pro-kontra tentang substansialnya dan kecurigaan terhadap penyusupan paham komunis di dalamnya. Akibat kendala-kendala itu, maka landreform yang begitu krusial sempat tidak berjalan dalam waktu yang lama.
Sejak awal pelaksanaan landreform di Indonesia sekitar tahun 1961 sampai dengan tahun 2002 setidak-tidaknya sebanyak lk 850.000 hak tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada lk 1,5 juta  keluarga petani yang tersebar diseluruh Indonesia.  Ladejinsky yang diundang oleh Presiden Soekarno (tahun 1960-an) untuk membantu melakukan evaluasi program landreform di Indonesia  berpendapat bahwa program landreform ini tidak akan berhasil. Hal itu karena sangat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk membeli atau menguasai tanah-tanah luas yang akan dibagikan.
Pada kunjungannya yang pertama (1961), Ladeijensky  mengatakan bahwa keadaan tanah di Jawa  dan penduduknya yang sangat banyak, maka  luas tanah yang akan dibagikan (maksimum bahkan minimum), tidak mungkin dapat tersedia. Namun jika konsistensi pemantau batas pemilikan tanah  dapat terus dijaga (batas maksimal maupun minimal), maka tentu masalah  keadilan dibidang pertanahan tidak akan merebak.
Pelaksanaan landreform dari sekitar tahun 1961 sampai dengan tahun 2002, setidak-tidaknya hampir 1 juta hak atas tanah yang telah tecatat—walaupun belum tercatat secara sempurna. Hal ini mengakibatkan luas  tanah obyek landreform yang akan  dibagikan menjadi tidak tepat.  Kelemahan ini sangat rawan dan membuka peluang bagi penyelenggara landreform untuk melakukan penyimpangan dan penyelewengan.
Dalam keadaan seperti itu (tanah belum tercatat dengan sempurna) dan kebijakan ekonomi pemerintah yang condong pada pertumbuhan ketimbang pemerataan, maka pemilik modal lebih diuntungkan. Data sensus pertanian tahun 1983 dan 1993 misalnya menyebutkan ternyata hampir 2 (dua) juta petani di Jawa telah tergusur dan melorot statusnya menjadi buruh tani, karena lahan-lahan mereka digunakan untuk pembangunan prasarana ekonomi, kawasan industri dan perumahan tanpa konpensasi yang memadai.
Reformasi agrarian di Indonesia ini berjalan sangat lambat, kalau tidak dapat dikatakan sebagai macet. Keadaan macet ini memiliki potensi besar menimbulkan berbagai kekacauan.

. . . . . . reformasi agrarian dapat tampak berbeda antara yang diumumkan oleh para pembaharu (pemerintah/Negara) dengan tujuan yang sesungguhnya. Perbedaan tersebut  dapat sangat signifikan.

Dari contoh-contoh diatas, terlihat bahwa untuk keperluan menyelesaikan atau mencegah krisis ekonomi, sosial, dan politik,  reformasi agrarian telah sejak lama dilakukan di berbagai wilayah dan Negara.  Hal itu karena pemilikan dan penguasaan tanah sangat berpengaruh terhadap masalah-masalah ekonomi, social, dan politik di suatu wilayah atau Negara.
Seperti juga terlihat dari contoh-contoh diatas, reformasi agrarian dari waktu ke waktu mengalami perubahan, terutama karena berubahnya  hubungan antar manusia dan berubahnya cara-cara manusia berproduksi.
Reformasi agrarian biasanya dilakukan atas inisiatif pemerintah/Negara, serta dianggap sebagai suatu mekanisme pemecahan masalah. Reformasi agrarian sering digunakan untuk menyelesaikan atau mencegah krisis ekonomi, sosial, dan politik dll—yang disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal di suatu wilayah atau Negara.  
Jka reformasi tersebut tidak didukung secara bulat oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di wilayah atau Negara itu, maka tujuan reformasi dapat tampak berbeda antara yang diumumkan oleh para pembaharu (pemerintah/Negara) dengan tujuan yang sesungguhnya. Perbedaan tersebut dapat sangat signifikan. Para pembaharu (pemerintah/Negara) hanya memberitahukan hal-hal tertentu yang  menguntungkan seperti dapat : (1). menenangkan gejolak masyarakat; (2) memperoleh dukungan para petani; (3). melemahkan kekuatan oposisi; (4). memenangkan dukungan internasional; (5). memenangkan PEMILU; dan lain-lain.
Seperti diketahui reformasi agrarian di hampir semua Negara pada dasarnya adalah untuk :
  • meningkatkan pembagian kepemilikan dan penguasaan tanah secara lebih adil daripada sebelumnya ;
  • meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemakaian tanah.
Dengan perkataan lain reformasi agrarian tersebut ditujukan agar hubungan antara manusia dengan tanah  lebih produktif, adil dan merata.  Jika dilihat dari aspek ekonomi a.l adalah untuk meningkatkan produktivitas seperti terlihat di Inggris dan Zimbabwe, dan dari aspek social politik a.l adalah untuk mencegah pemberontakan) seperti terlihat di Yunani kuno dan Romawi kuno. Disamping itu agar reformasi agrarian berlangsung dengan baik, maka berbagai fasilitas juga disediakan seperti fasilitas kredit dan lain-lain untuk pengolahan tanah dan hasil-hasilnya (mis : di Bulgaria).

Sementara itu di tingkat dunia telah ada ketentuan  mengenai perlunya program reforma agraria  sebagai dasar pembangunan. Intinya adalah bahwa program reforma agraria dan pembangunan pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang dan tiga tingkat yg saling berkaitan yaitu :
  • tingkat desa—mengikutsertakan lembaga pedesaan ;
  • tingkat nasional—reorientasi kebijakan pembangunan ;
  • tingkat internasional—mendorong terlaksananya prinsip-prinsip tata-ekonomi-internasional-baru.

Demikianlah secara singkat bahasan dan renungan tentang reformasi agraria, semoga bermanfaat.
*
Each generation doubtless feels called upon to reform the world. Mine knows that it will not reform it, but its task is perhaps even greater. It consists in preventing the world from destroying itself (Albert-Camus).

*